Minggu, 28 Juni 2015

Eyes Voice [Citra Novy] Part 8

Pengarang: Novy Citra
@CitraNovy
FP: Citra's Slide.

Just repost. No bully.

~

“Eyes Voice”
Part 8
_______

“Apa?!”
“Kenapa?”
Bastian kini membalikan tubuhnya mendengar pekikan Iqbaal yang sepertinya terdengar sangat kaget.
“Obat nyamuknya lo pake? Abis?”
“Iya. Kenapa sih? Obat nyamuknya emang buat di pake kan? Wajar kan gue pake? Lo gak ada niat buat minum obat nyamuk kan, Baal? Otak lo udah gak waras kalo sampe lo ada niat buat ngelakuin itu.”
***
“Mungkin ini terlalu terburu-buru. Banyak hal yang harus aku beresin sebelum aku pergi nemuin kamu sepertinya. Kerjaan, kuliah, keluarga, temen, dan... (namakamu). Aku harus beresin semuanya satu-satu.”
Kedua tangan Iqbaal bertopang pada westafle putih di dalam kamar mandinya. Setelah selesai menyikat gigi, Iqbaal bergumam sendiri. Tidak sendiri sebenarnya, ada Bella. “Aku janji, hari ini aku beresin semuanya.”
Bastian benar-benar menginap di kosannya semalam. Dan pagi ini, Bastian sama sekali belum bangkit dari tidurnya. Masih mendengkur di atas tempat tidur. Dan itu mengharuskan Iqbaal berbicara dengan Bella di dalam kamar mandi seperti ini, agar Bastian tidak melihat tingkah anehnya.
“Kamu jangan takut. Bukan maksud aku menunda semuanya. Tapi... Aku harus pergi dalam keadaan baik-baik kan? Seengaknya.. Pamit(?)”
Iqbaal menatap Bella, menatap tubuh Bella yang kembali setengah utuh. Kakinya sudah kembali, walaupun belum utuh.
“Tapi aku mohon, jangan ganggu (namakamu). Aku bersumpah gak ada niat sama sekali untuk mendekati dia lagi. Aku mohon,” ujar Iqbaal. Tanpa sadar ucapannya itu kembali membuat mata Bella memerah.
*
“Nah! Gue juga mulai curiga ketika buka laptopnya, ada artikel tentang 'bahaya obat anti serangga jika diminum'. Dan di atas tempat tidurnya emang ada obat nyamuk. Ya udah gue habisin aja, gue semprot ke sembarang tempat sampe habis.”
Bastian yang tengah menyelubungi tubuhnya dengan selimut, diam-diam menempelkan telepon pada telinga kirinya. Berucap pada seseorang di seberang telepon dengan suara berbisik.
'Untung lo keburu dateng, Bass. Gue juga udah curiga waktu dia bilang suruh jaga (namakamu). Ternyata bener kan? Dia bakal ngelakuin hal itu lagi.'
“Iya. Gak kebayang gue, kalau gue dateng mulut dia udah berbuih. Gila! Gue sama sekali gak nyangka Iqbaal-”
“Lo mau sampai kapan tidur?!”
Tiba-tiba suara itu mengagetkan Bastian yang tengah diam-diam menelepon Aldi. Bastian segera menaruh ponselnya di balik Bantal, tidak menghiraukan Aldi di seberang sana yang keheranan karena suaranya tiba-tiba lenyap tidak terdengar lagi.
“Bass! Lo gak akan kuliah?! Ini udah jam berapa?” omelan Iqbaal yang baru saja keluar dari kamar mandi ternyata tidak jauh dengan omelan Ibu Bastian di rumah. 'Bass! Kamu gak akan kuliah?! Ini udah jam berapa?' Sama persis.
Bastian membuka selimut yang menutupi wajahnya. Mengucek pelan dan mengerjap-ngerjapkan matanya seolah baru saja terbangun. Akting. “Kuliah kan jam 10. Lo ribet banget kayak emak-emak! Masih pagi juga!” rutuk Bastian. Menatap Iqbaal yang kini tengah mematut dirinya di hadapan cermin menggunakan kemeja.
“Lo mau kemana?” tanya Bastian. Pakaian Iqbaal yang kini sudah rapi membuatnya sedikit terkaget. Jangan bilang kalau ada kuliah mendadak pagi ini!
“Kantor,” jawab Iqbaal singkat. Lalu beranjak menghampiri rak sepatu di belakang pintu. “Kalau mau keluar, kuncinya lo bawa aja. Nanti dari kantor, gue langsung ke kampus,” ucap Iqbaal. Lalu setelah itu keluar dari dalam kamarnya.
“Al?”
Bastian kembali meraih ponsel yang ia sembunyikan di balik bantal.
'Lo kemana sih! Gue panggil-panggil dari tadi!'
Aldi mengomel tidak jelas.
“Tadi ada Iqbaal.”
'Terus sekarang dia kemana?'
“Kantor. Gue berharap dia gak akan bunuh diri dengan cara nabrakin diri selama di perjalanan ke kantornya.”
'Ikutin dia, Bass!' perintah Aldi dengan nada otoriter.
“Ahhh... Malesss. Gue masih ngantuk. Lagian Iqbaal gak mungkin ngelakuin hal segila itu!”
'Gak mungkin?! Gak mungkin lo bilang?! Kemarin aja-'
Tut... Tut... Tut...
Bastian memutuskan sambungan telepon. Melepaskan baterai ponselnya. Agar Aldi tidak kembali menghubunginya. Menarik kembali selimut tebal itu untuk menyelubungi tubuhnya. Masih jam 7. Masih ada waktu untuk tertidur sebelum masuk kuliah, pikirnya.
***
“... Gue bakal cari penggantinya. Secepatnya, Bang.”
Iqbaal duduk di hadapan Rizky. Seniornya selama bekerja di kantor surat kabar.
Rizky--Kiky, memijit-mijit keningnya. Tidak berhenti melepaskan nafas beratnya. “Lo dapet kerjaan yang honornya lebih besar?”
kiky menatap Iqbaal.
Iqbaal menggeleng, “gak, Bang. Gue gak mungkin lakuin itu.”
“Terus?”
Kiky berhenti melakukan gerakan memijit kepalanya, kali ini kedua tangannya menjambak rambutnya kencang.
“Gue... Mau fokus kuliah,” jawab Iqbaal disertai senyum hambarnya. Ia tahu alasannya itu jelas-jelas tidak masuk akal. Iqbaal bukan mahasiswa tingkat akhir yang sibuk dengan skripsi. Malah dulu Iqbaal yang bersikeras meminta pada Kiky untuk membantunya menjadi pegawai tetap. Dan sekarang...
“Chhh...”
Kiky tersenyum miring, menatap Iqbaal dengan tatapan menyipit. “Bocah kayak lo mau bohongin gue?” umpat Kiky.
“Ada alasan lain, yang gak bisa gue ceritain, Bang. Gue bakal secepatnya cari pengganti. Dan nyiapin surat resign.”
Iqbaal menggantungkan tas ransel pada pundaknya. Lalu lengannya terulur, “makasih, Bang. Selama ini lo udah sabar ngajarin gue.”
“Makasih? Lo harusnya minta maaf juga sama gue. Susah payah gue ngajarin lo dari nol. Dan sekarang lo keluar? Nyari pengganti? Dan gue harus ngajarin dari nol lagi? Bagus ya lo.”
Iqbaal tersenyum. Setelah Kiky membalas jabatan tangannya, ia melangkahkan kakinya keluar ruangan.
***
“Mau mati aja ribet banget!” rutuknya seraya menggaruk-garuk kencang kepalanya. Siapa orang yang bisa ia berikan pada Kiky untuk menggantikan posisinya?
Aldi? Tidak! Tidak! Orang tua Aldi sangat melarang keras Aldi untuk bekerja. Sekalipun Aldi meminta sampai mengeluarkan tangisan darah, orang tuanya tidak akan mengizinkan.
Bastian? Oh Tuhan. Selama masih ada orang waras di sekelilingnya, ia tidak akan pernah memberikan Bastian posisi di tempat kerjanya.
Lalu siapa? Langkah Iqbaal terayun lamban. Menyusuri koridor kampus ramai. Sangat ramai, namun terkesan sepi bagi Iqbaal. Iqbaal seolah memiliki dunia sendiri untuk saat ini.
“Baru datang?”
Tiba-tiba langkah Iqbaal terputus. Fokus pikirannya juga terpecah. Ada gadis yang kini memotong langkahnya, (namakamu). Ya, gadis itu menghalangi langkah Iqbaal, bertanya seraya memasang senyum tipisnya.
'Gue kangen.'
Iqbaal tiba-tiba mendengar itu. (namakamu) masih mendekatinya? (namakamu) masih bisa merasa 'kangen'? Padahal Iqbaal kemarin sudah berusaha bersikap tidak perduli. Iqbaal menunduk. Cukup, ia tidak mau lagi mendengar semua yang keluar dari mata (namakamu). Ia tidak mau tahu lagi semua yang (namakamu) rasakan. Mendengar semua itu hanya membuatnya merasa bersalah.
“Baal?”
(namakamu) meraih lengan Iqbaal, berharap Iqbaal mengangkat wajahnya dan kembali menatap mata (namakamu). Berharap Iqbaal bisa mengetahui apa yang ada di dalam pikiran (namakamu) saat ini. Berharap (namakamu) bisa mengeluarkan semua pertanyaan dan uneg-unegnya pada Iqbaal tanpa harus berbicara.
Iqbaal menepis tangan (namakamu), tatapannya masih menunduk. Sepertinya, benar-benar tidak mau menatap mata (namakamu) sedikitpun.
“Gue punya salah sama lo?” tanya (namakamu). Iqbaal sudah kembali berubah menjadi orang asing. Dan menjadikan (namakamu) seperti orang asing. Ada apa? (namakamu) benar-benar ingin bertanya ada apa? Diperlakukan seperti ini dalam keadaan sama sekali tidak tahu apapun, itu membuat (namakamu) tidak karuan.
Iqbaal menggeleng. Tanpa berkata apapun, langkahnya kembali terayun. Meninggalkan (namakamu) yang kini merasakan dadanya teremas kencang. Iqbaal? Laki-laki itu kembali menjadi sosok aneh.
***
“...Lo mau ya? Lo kan mau banget kerja di surat kabar. Ya kan? Lo gantiin posisi gue.”
Iqbaal membuntuti Karrel. Mengekor kemanapun gerakan Karrel. Terus-menerus memohon agar Karrel mau menggantikannya.
“Emang lo mau kemana?”
Karrel menghentikan gerakannya, duduk di sebuah bangku yang berada di dalam ruangan HIMA dan disusul oleh Iqbaal yang duduk di sampingnya.
“Gue--pokoknya lo mau kan?”
Iqbaal benar-benar tidak mau menjawab pertanyaan Karrel.
Karrel mengangguk, anggukan Karrel saat ini seperti tabung gas oksigen ketika Iqbaal sedang merasakan sekarat. “Tapi, pasti harus tes dulu kan?” tanya Karrel dengan nada suara tidak yakin.
“Tenang! Tesnya gampang, kok. Lo cuma... Ehmmm.”
Iqbaal sejenak memejamkan matanya. Mencoba mengingat-ingat tes yang pernah ia lakukan. Hhhh... Tidak ada. Iqbaal terpilih menjadi karyawan tetap tanpa tes, melainkan dengan bantuan Kiky. “Pokoknya tesnya gampang!” seru Iqbaal, membuat Karrel sedikit berjengit.
“Ok?”
Iqbaal kembali memastikan. Karena kini Karrel tengah menatapnya, tatapan penuh keraguan. Namun ternyata Karrel mengangguk, menyetujui permintaan Iqbaal.
“Tapi itu juga kalau gue masuk ya? Kan belum tentu-”
“Lo pasti masuk!” sela Iqbaal menepuk-nepuk pundak Karrel. Meyakinkan Karrel, walaupun sebenarnya ia sendiri tidak yakin dengan apa yang ia katakan.
***
“... Iya, Bunda.”
“Iya.”
“Ok, Bun.”
“Iya, Iqbaal ngerti.”
“Hmmm.”
“Bunda jaga diri juga di sana. Salam buat Ayah ya.”
“Iya. Iqbaal tahu.”
“Iya. Iqbaal udah gak keseringan makan mie instan lagi kok.”
Iqbaal melirik isi kantung kresek yang menggantung di atas pantry. Berjejal bungkusan-bungkusan mie instan yang ia seduh setiap malam, ketika bergadang mengerjakan tugas atau menonton pertandingan bola. Iqbaal meringis. Benar-benar anak durhaka.
“Iya. Wa'alaikum salam.”
Iqbaal mengakhiri sambungan teleponnya. Melepaskan nafas sesaknya. Selama berbicara dengan ibunya di telepon tadi, beberapa kali Iqbaal merasakan tenggorokannya tercekat. Terlebih ketika ibunya membeberkan nasihat-nasihat panjang. Iqbaal hanya bisa menanggapinya dengan jawaban-jawaban singkat.
Apakah ibunya akan kecewa jika Iqbaal mati bunuh diri nanti? Ya! Jawabannya ya! Jelas saja. Orang tua mana yang merelakan anaknya mati begitu saja, apalagi dengan cara bunuh diri. Bunuh diri karena depresi kehilangan kekasihnya. Bodoh.
Iqbaal menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Menatap seisi kamarnya. Kamar yang ia huni selama 3 tahun. Selama menjadi mahasiswa. Kini langit-langit kamar itu sudah terhiasi oleh sebuah tali yang menggantung membentuk lingkaran di bagian bawahnya. Iqbaal sepertinya sudah siap menggantungkan lehernya di sana. Tuhan... Ini mengerikan. Menatap tali itu membuat bulu-bulu tipis Iqbaal meremang. Dan saat ini ia lebih memilih untuk memejamkan matanya.
“Kerjaan udah,” gumamnya. Iqbaal menganggap urusannya dengan Kiky akan segera selesai, karena saat ini ada Karrel yang bersedia menggantikan posisinya. Walaupun belum jelas Karrel akan diterima atau tidak. Yang jelas, Iqbaal sudah mencarikan penggantinya.
“Kuliah?”
Iqbaal menggeleng. Urusan kuliah itu tidak ada yang perlu dibereskan. Tidak mungkin Iqbaal menghadap staff jurusan untuk memberhentikan diri. Dengan alasan apa? Berhenti kuliah dengan alasan akan bunuh diri? Konyol! Jika Iqbaal mati nanti, maka namanya akan ter-blacklist secara otomatis kan?
“Temen? Bastian? Aldi?”
Hhhh... Jika Iqbaal berpamitan pada kedua sahabatnya itu. Maka mereka akan menelusuri sampai akar. Mereka akan bertanya terus menerus jika Iqbaal berpamitan seolah akan meninggalkan mereka. Maka dari itu, lupakan. Yang terpenting, Iqbaal sudah menitipkan (namakamu) pada Aldi. (namakamu)? Ya, gadis itu.
“(namakamu)...”
Mata Iqbaal seketika terbuka. Mengingat nama itu. Sama sekali Iqbaal belum membereskan urusannya dengan (namakamu). Sikap Iqbaal kemarin--sikap manis Iqbaal ketika mendekati (namakamu). Dan saat ini, Iqbaal kembali berusaha mengacuhkan (namakamu). Pasti gadis itu merasa dipermainkan. Iqbaal seolah menarik-ulur layang-layang yang tengah terbang tinggi, dan kali ini... Iqbaal memutuskan untuk melepaskan layang-layang itu. Membiarkan layang-layang itu terbang menjauh.
Kling... Layar ponsel Iqbaal menampilkan 1 pesan baru. “(namakamu)?” gumamnya. Baru saja ia memikirkan gadis itu, tiba-tiba saja gadis itu ada menghubunginya.
'Seandainya lo tahu perasaan gue sekarang kayak gimana.'
Iqbaal langsung mengeluarkan tampilan pesan, tanpa membalas. Kali ini lengan Iqbaal menekan tombol panggilan. Hanya selang beberapa detik, tiba-tiba.
“Tunggu gue di depan rumah lo.”
Hanya itu kalimat yang keluar dari mulut Iqbaal sebelum mengakhiri sambungan telepon. Iqbaal bangkit dari sofa, hendak meraih jaket yang menggantung di balik pintu kamar. Namun langkahnya terhenti,
“Aku cuma mau selesain semua.”
Iqbaal menatap Bella yang kini berdiri di hadapannya. Lebih tepatnya, melayang di hadapannya. Setengah kaki Bella telah kembali, hampir utuh.
“Aku janji. Setelah semua urusan aku selesai. Aku janji.”
Tanpa kata apapun lagi, Iqbaal bergegas menarik jaketnya, menyambar kunci motor yang tergeletak di atas meja.
***
Iqbaal mengeratkan jaket yang ia kenakan. Angin malam yang berhembus kencang ternyata mampu membuat tubuhnya merinding. Sudah 5 menit Iqbaal mondar-mandir di samping motornya. Menunggu (namakamu) untuk keluar dari balik pintu pagar rumahnya. Malam ini Iqbaal harus membereskan semuanya. Harus. Terlebih masalahnya dengan (namakamu).
“Baal?”
(namakamu) keluar dari balik pintu pagar dengan menggunakan kaos abu-abu yang dibalut sweater berwarna senada, dan celana pendek cokelat. Rambut panjangnya tergerai, beterbangan terhempas angin kencang. Membuat gadis itu sesekali merapikan rambutnya.
Sejenak Iqbaal terdiam. Apakah ia yakin akan mengungkapkan kata-kata yang sudah ia rancang sebelum pergi? Sepertinya begitu.
“Lo mau ikut gue?” tanya Iqbaal, sama sekali tanpa menatap (namakamu) sekilaspun. Kini Iqbaal sibuk memasukan kunci motor, Iqbaal sudah duduk di atas motornya lagi.
Sebenarnya itu bukan pertanyaan, melainkan ajakan. Karena jika Iqbaal bertanya pada (namakamu). Sebaiknya Iqbaal tunggu ketika (namakamu) menjawab pertanyaannya lalu ia menaiki motornya. Tapi saat ini, tidak.
(namakamu) tidak menjawab. Karena sepertinya Iqbaal tidak membutuhkan jawaban 'tidak'. (namakamu) hanya perlu menghampiri Iqbaal dan duduk di belakang Iqbaal dengan manis.
“Kita kemana?” tanya (namakamu) ketika Iqbaal menarik gas motornya.
“Nanti juga lo tahu.”
(namakamu) memutuskan untuk tidak bertanya lagi. Sekarang sudah pukul 8 malam. Tidak mungkin Iqbaal akan membawanya ke suatu tempat yang membutuhkan waktu tempuh lama. (namakamu) saat ini sibuk menarik kedua sisi sweaternya agar tertutup. Memeluk dirinya sendiri. Tidak mungkin (namakamu) berani menyentuh Iqbaal lagi pasca kejadian kemarin. Dan... Tadi siang. Iqbaal menyingkirkan lengan (namakamu) walaupun terkesan lembut, (namakamu) tidak mau menyakiti dirinya sendiri.
Motor Iqbaal terhenti. Hanya berselang 15 menit kini mereka sudah sampai di Taman Kota. Taman dengan lantai yang tersusun dari batu cetak yang sempat menjebak high heels (namakamu). (namakamu) turun terlebih dahulu, di susul dengan Iqbaal yang kini mulai melangkah bersamaan.
(namakamu) menatap sekeliling. Taman yang tidak terlalu ramai ternyata. Dalam suasana malam seperti ini hanya terlihat orang-orang dewasa berpasangan berkeliaran di sini, termasuk (namakamu) dan Iqbaal.
Iqbaal duduk pada sebuah bangku taman. Bangku besi yang hampir berembun karena terpaan angin malam yang lembab. (namakamu) hanya mengekor, dan saat ini gadis itu ikut duduk di samping Iqbaal.
Lima belas lampu taman yang tempo hari terpecah secara tiba-tiba, saat ini sudah kembali menyala dengan baik. Sepertinya sudah diperbaiki. Dan semoga untuk malam ini kejadian itu tidak terulang lagi, (namakamu) tersenyum tipis menatap lampu taman berwarna kuning mendung itu menyala berjejer.
“Lampunya udah dibenerin ya?”
Iqbaal mengikuti tatapan (namakamu) saat ini. Menatap 15 lampu taman yang kini sudah kembali menyala.
“Mmmm...”
(namakamu) hanya bergumam. Tatapannya masih terarah pada lampu taman yang sempat pecah mengenai keningnya. Kejadian aneh itu. Hening...
“Tadinya gue gak terlalu percaya sama cinta, tapi setelah gue ketemu sama dia, gue baru sadar setiap orang bisa memberikan segalanya demi orang yang dia cintai.”
Ucapan Iqbaal itu membuat (namakamu) menoleh, apa maksudnya? Dia? Siapa dia yang Iqbaal maksud? Bella?
“Rasanya sakit ketika gue bisa lihat dia tanpa bisa miliki dia. Sakit ketika dia ada di sini. Sakit saat dia tersenyum buat gue. Sakit ketika dia memanggil nama gue dan gue gak bisa menghampiri dia. Selama gue gak menghilang dari dunia ini, kayaknya gue bakalan tetap sakit.”
Iqbaal kembali mengeluarkan kalimat-kalimat yang jelas tidak dimengerti oleh (namakamu). (namakamu) benar-benar ingin bertanya saat ini. Ketidakmengertiannya benar-benar membuatnya tersiksa sendiri.
“Hhhh... Lupakan! Sok mellow banget gue malam ini.” Iqbaal terkekeh sendiri.
“Lo suka sama gue?”
Pertanyaan Iqbaal kali ini berhasil membuat leher (namakamu) seakan tertusuk. Iqbaal masih bertanya? Bukankah ia tahu pasti jawabannya? “Gue pikir... Ketika lo suka sama gue, gue bakalan suka juga sama lo. Tapi-”
Lagi-lagi Iqbaal harus melepaskan nafas berat ketika hendak melanjutkan kalimatnya.
“Gue berusaha suka sama lo karena gue tahu lo suka sama gue. Tapi, ternyata rasa suka gue sama lo itu gak sebesar rasa suka lo sama gue. Maka dari itu... Jauhin gue.”
(namakamu) yang sedari tadi sama sekali belum mengeluarkan suaranya, merasakan lehernya tertusuk lagi, bahkan tercabik. Memaksakan bulir-bulir air mata memenuhi sudut matanya. Berjejal untuk segera turun menyusuri pipinya.
“Gue berusaha mencintai lo. Semakin sering gue lihat mata lo, gue semakin tahu sebesar apa rasa sayang lo sama gue, rasa cinta lo sama gue. Dan ketika gue berusaha buat membalas itu semua, ternyata gue gak bisa. Gue gak mau lo dapetin laki-laki yang mencintai lo karena terpaksa. Terpaksa karena gue tahu semua perasaan lo. Maaf.”
(namakamu) sudah menangkupkan telapak tangan kanan untuk menyangga isak tangisnya. Semua yang ia dengar ternyata sanggup meluluh lantahkan hatinya. (namakamu) menatap Iqbaal, laki-laki yang kini duduk di sampingnya tengah menatap (namakamu) dengan tatapan bersalahnya.
'Jangan ulangi kata-kata itu lagi.'
“Cari laki-laki lain yang bisa sayang sama lo sebesar rasa sayang lo sama dia.”
Iqbaal mendengar semua ungkapan yang (namakamu) keluarkan dari matanya. Gadis itu tidak mampu berkata apapun, hanya isaknya kini yang terdengar, dan suara dari matanya yang mampu Iqbaal dengar.
'Gue sayang sama lo.'
“Bukan gue orang yang harus lo sayang, (namakamu).”
(namakamu) menggeleng. 'Gue berharap itu lo.'
“Hapus harapan lo sama gue. Ok?”
(namakamu) merasakan sakit yang luar biasa. Semua tubuhnya seakan terlumpuhkan, harapannya yang terlalu melambung tinggi terhempas kencang dengan tidak tanggung. 'Ini terlalu sakit, Baal.'
“Maaf gue bikin lo kayak gini. Maaf.”
Tangan Iqbaal terangkat, hendak mengusap wajah (namakamu). Namun sesaat gerakannya terhenti. Cukup. Ia tidak mau membuat (namakamu) lebih menderita dari perasaannya saat ini.
“Ketika lo merasakan sakit yang luar biasa, maka suatu saat lo akan merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Karena kebahagiaan akan datang sebanyak kesakitan yang kita rasakan.”
Iqbaal mencondongkan wajahnya, menatap (namakamu) yang masih sibuk meremas kencang dadanya. Menahan isak tangis yang kini berubah menjadi erangan-erangan tertahan. 'Aku cuma bisa bahagia, kalau ada kamu.'
“Jika semua terlalu sakit, anggap aja semua ini mimpi. Dan ketika besok pagi lo bangun. Maka perasaan lo akan kembali seperti semula. Lo gak akan merasa sakit lagi. Percaya sama gue.”
Iqbaal tersenyum, seiring dengan isi dadanya yang seolah semakin mendesak ingin keluar dan meneriakan kejujuran di dalamnya.
“Lo cantik. Bahkan keliatan lebih cantik kalau lo lagi senyum. Berhenti untuk nangis, (namakamu).”
Iqbaal mencoba menggoda (namakamu) seraya tersenyum tipis.
Gadis itu masih bertahan untuk menumpahkan semua air matanya. Akhirnya. Ini jawaban Iqbaal? Mengapa Iqbaal berlaku pura-pura tidak tahu atas perasaan (namakamu) terhadapnya, itu karena Iqbaal tidak bisa membalas rasa suka (namakamu) untuknya. Jawaban yang (namakamu) tunggu. Jika memang ini jawaban sebenarnya, maka (namakamu) tidak akan menunggu dan berharap Iqbaal untuk menjawab semuanya. Ini... Menyakitkan.
***
Iqbaal menelusuri lorong kamar kos yang ternyata masih ramai. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Namun ternyata, debum-debum suara hentakan musik yang keluar dari speaker dengan volume kencang masih jelas terdengar dari jejeran kamar yang Iqbaal lalui. Mungkin mahasiswa-mahasiswa itu tengah bergadang mengerjakan tugas makalah, atau hanya bergadang sekedar mengobrol dengan teman sebelah kamarnya.
Iqbaal berjalan linglung, benar-benar merasakan kakinya tidak menapak pada lantai. Merasakan kakinya, bahkan seluruh tubuhnya mati rasa. Udara dingin yang menggigit tubuhnya sama sekali tidak ia rasakan. Jaket tebalnya sudah ia berikan untuk (namakamu) kenakan tadi. Dan selama diperjalanan tadi, Iqbaal hanya mengenakan kaos pendeknya.
Tubuhnya mungkin sudah mati rasa. Rasa sakit yang luar biasa setelah ia menyatakan kebohongan di depan (namakamu) tadi seakan seperti hendak membunuhnya. Terlebih ketika menatap (namakamu) yang menangis bahkan mengerang kesakitan di hadapannya.
Jika saja (namakamu) tahu, bahwa Iqbaal merasakan sakit berkali-kali lipat dari sakit yang (namakamu) rasakan ketika menatap (namakamu) seperti itu. Keadaan tadi benar-benar seperti mencekik lehernya sampai ia merasakan sesak yang luar biasa.
Rasa bersalah yang Iqbaal buahkan dari hasil kebohongannya pada (namakamu), membuat tubuh dan nyawanya saat ini seakan terpisah. Terlalu sikap Iqbaal tadi terlalu menyakiti (namakamu)? Sampai-sampai ketika (namakamu) menangis, mengerang kesakitan Iqbaal sama sekali tidak menyentuhnya. Tidak mendekap, mencoba menenangkannya. Iqbaal membiarkan (namakamu) menikmati rasa sakitnya sendiri. Dan membiarkan dirinya menikmati rasa sakitnya sendiri.
Tiba-tiba ponsel di dalam saku celana Iqbaal bergetar. Bergetar lagi, karena getaran itu sudah Iqbaal rasakan dari setengah jam yang lalu, ketika ia tengah mengendarai motor tadi. Kali ini, Iqbaal menghentikan langkahnya, merogoh isi saku celana. Walaupun tangannya seolah tidak mampu bergerak meraih ponsel ringan itu,
“Hallo?”
'Lo kemana aja sih? Gue telepon lo dari tadi!'
Omelan itu terdengar kencang, sehingga Iqbaal harus menjauhkan speaker telepon sekitar 15 cm dari telinganya.
“Ada apa, Bang?”
'Gue gak bisa terima Karrel.'
“Apa? Kenapa?”
Suara lemas Iqbaal terdengar, bahkan untuk menggambarkan ekspresi kagetpun ia tidak mampu. Tenaganya terkuras habis oleh perasaan bersalahnya pada (namakamu) tadi.
'Karrel terlalu... Hmmm... Apa ya? Bingung gue jelasinnya. Pokoknya, Karrel belum bisa diterima. Jadi besok lo harus tetep masuk kerja kayak biasa.'
“Tapi, Bang-”
Tut... Tut... Tut...
Menyebalkan. Kiky memang selalu bertindak otoriter, seenaknya. Iqbaal kembali melangkah menuju pintu kosnya. Besok kerja? Jika Tuhan membiarkan Iqbaal untuk tetap hidup, maka Iqbaal mungkin masih bisa kerja untuk hari esok. Jika tidak... Sudahlah.
Clek... Iqbaal mendorong pintu kamarnya yang sudah tidak terkunci. Bagaimana pintu kamarnya ia biarkan tidak terkunci? Mungkin Iqbaal lupa mengunci pintu kamar ketika hendak berangkat tadi. Bodoh! Bagaimana jika ada perampok masuk dan membabad habis semua barangnya? Tidak ada yang berharga memang, namun di dalam masih menyisakan laptop dengan ratusan data kuliah dan data pekerjaan penting. Bagaimana jika itu semua hilang? Tidak apa, toh ia akan segera meninggalkan semuanya malam ini kan?
Nafas Iqbaal tertahan kini. Ketika memasuki kamarnya, mendapati sosok itu. “Bass!!!”
Tenaga Iqbaal yang bersisa 2,5 persen itu, ia pergunakan untuk berteriak. Bastian, pemuda itu kini ada di dalam kamar Iqbaal. Sedang apa?
“Baal? Kamar lo tadi gak di kunci. Jadi gue bisa masuk,” ucapnya dengan wajah datar.
Arrggghhh... Iqbaal tidak perduli! Sama sekali tidak perduli bagaimana cara Bastian untuk masuk kedalam kamarnya. Namun yang Iqbaal perdulikan saat ini adalah, apa yang tengah Bastian lakukan di dalam kamarnya?
“Cucian gue gak kering, Baal. Lo kan tahu di kosan gue gak ada tempat buat jemur kalau malem. Jadi gue ikut jemur di sini ya?”
Bastian nyengir, dengan tampangnya yang... Demi Tuhan, kali ini bisa saja Iqbaal membunuhnya.
“Lo dapet ide dari mana gantungin tali disini, Baal? Lo punya cucian basah juga? Sini sekalian gue jemurin.”
Tali yang sudah Iqbaal gantung dengan rapi melingkar di atas langit-langit kamarnya, kini Bastian bentangkan dan Bastian ikat pada teralis jendela kamar Iqbaal, membentuk sebuah segmen tali. Dan Bastian menggunakan tali panjang itu untuk menjemur cuciannya yang belum kering, cucian-cucian lembab itu telah berbaris tersusun rapi pada tali yang akan Iqbaal gunakan untuk... Hhhh... Iqbaal menjatuhkan tubuhnya di lantai. Duduk bersila. Apakah ada yang bersedia untuk menyodorkan pisau daging di hadapan Iqbaal saat ini? Maka dengan senang hati Iqbaal akan menggunakan sisa tenaganya untuk mencabik habis Bastian.

Bersambung..
Kepagian ga? Engga ya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar