Pengarang : @CitraNovy
FP: Citra's Slide
Just repost. No bully please.
~
“Eyes Voice”
Part 4
_______
Srttt... Srttt... Suara itu kembali terdengar mengerikan. Namun kali ini disertai dengan bayangan hitam yang menghampiri (namakamu). Bayangan itu semakin terlihat membesar, dan... Mendekat... Mendekat...
“Aaaaa!!!”
Brak... Pintu terbuka. Namun lutut (namakamu) sudah melemas dan duduk terjatuh bersimpuh di ambang pintu seraya menutupi permukaan wajahnya.
“(namakamu)?!”
Iqbaal menatap (namakamu) yang kini terkulai lemas. Bella? Iqbaal merasakan keberadaan Bella disini. Apakah ini semua ulah Bella? Iqbaal hendak menghampiri (namakamu), tapi...
“(namakamu)?!”
Teriakan itu terdengar dari arah belakang. Iqbaal menoleh, mendapati Aldi yang baru saja turun dari motornya. Langkah rusuhnya kini terayun mendahului Iqbaal.
“(namakamu)? Lo kenapa?”
Aldi berjongkok meraih tubuh (namakamu). “Lo ngapain diem aja!” bentak Aldi pada Iqbaal yang masih bergeming menatap kepanikan Aldi.
***
“Aku udah janji sama kamu! Aku gak akan lupa sama janji aku!”
Iqbaal membanting tas ranselnya. Membuka kancing kemejanya dengan kasar.
“(namakamu) gak tahu apa-apa.”
Iqbaal menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur. Duduk, menopang kening dengan kedua tangan. “Dia gak pernah tahu apa-apa, jangan ganggu dia lagi,” ucap Iqbaal seraya meremas kasar rambutnya.
“Dia cuma cewek yang suka sama aku. Dia gak salah. Kalau kamu mau marah. Marah sama aku.”
Iqbaal mengangkat wajahnya, menatap mata Bella yang mulai memerah.
Brak... Lampu tidur Iqbaal terjatuh menghantam lantai. Menjadi belahan-belahan kaca yang berserakan. Diikuti dengan buku-buku serta barang-barang lain yang mulai berjatuhan.
Iqbaal masih bergeming. Menatap 20% dari seluruh bendanya sudah berserakan di lantai. Bella marah? Karena Iqbaal seharian ini bersama gadis itu?
“Kamu marah sama aku? Aku juga berhak marah sama kamu,” ujar Iqbaal, menatap tajam mata Bella. Tanpa menghiraukannya lagi Iqbaal berlalu meraih handuk dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi.
***
(namakamu) merasakan tubuhnya berkeringat hebat. Berlari dari lantai dasar untuk menuju lantai 2. Kuliah pertama, kuliah Bu Silma. Ck! Ternyata sudah satu minggu sejak Bu Silma memberikan tugas. Bagaimana ini? Belum ada artikel yang bisa (namakamu) tembuskan di surat kabar.
Ditambah lagi dengan kondisi (namakamu) yang hari ini sepertinya tidak sedang baik-baik saja. Kejadian semalam, masih melekat benar dalam benak (namakamu). Sepertinya mulai saat ini (namakamu) akan sangat paranoid ketika memasuki rumah.
Ketika pagi hari (namakamu) membuka matanya, (namakamu) menemukan sosok Aldi yang tertidur di sofa kamarnya. Mengapa Aldi? Bukan Iqbaal? Bukan berarti (namakamu) tidak mengharapkan Aldi. Bukan! Tapi, sebelum tadi malam (namakamu) benar-benar merasakan tidak sadarkan diri, laki-laki yang terakhir (namakamu) lihat adalah Iqbaal, bukan Aldi. Tapi... Hhhh... Sudahlah.
Trap... Dengan wajah pucat dan berkeringat, (namakamu) mencapai batas pintu kelas. Tangan kanannya menopang kusen pintu. Menatap meja dosen yang belum berpenghuni. Bagus lah, Bu Silma belum memasuki kelas ternyata. (namakamu) kembali melangkah, menghampiri Salsha yang kini tengah mengelap kacamatanya dengan tissue.
“Lo sakit ya? Aldi bilang-”
“Gue gak apa-apa.”
(namakamu) tersenyum, menarik selembar tissue dari meja Salsha untuk menepis keringat dikeningnya.
“Lo kebanyakan mikirin tugas dari Bu Silma-- Mampus! Sekarang kan mata kuliah dia ya? Gimana dong?”
Salsha terlihat panik, mewakili kepanikan (namakamu) sepertinya.
(namakamu) menggeleng, “gue nanti minta waktu lagi sama Bu Silma.”
Sastra Jurnalisme, seperti biasa selama mata kuliah berlangsung, Bu Silma terus-menerus menggencarkan pertanyaan-pertanyaan sadisnya, dan apabila ada mahasiswa yang tidak bisa menjawab, maka akan bernasib sama dengan yang dialami (namakamu).
“Satu minggu lagi Bu, saya janji.”
(namakamu) menyejajarkan langkahnya dengan langkah Bu Silma, menyusuri koridor ramai, sehingga (namakamu) harus sedikit mengeraskan volume suaranya.
“Mungkin kamu masih betah ikut mata kuliah saya,” balas Bu Silma santai.
(namakamu) menggeleng cepat, tanpa sadar, “enggak Bu. Saya mohon satu minggu bu.”
“Lima hari,” jawab Bu Silma, tatapannya lurus sama sekali tidak menatap (namakamu) yang berjalan miring di sampingnya.
“Satu minggu.”
(namakamu) memelas.
“Ok. Empat hari.”
(namakamu) mengibas-ngibaskan tangannya. “Saya mohon, Bu.”
“Tiga hari.”
Bu Silma menghentikan langkahnya. “Saya kasih kamu waktu tiga hari.”
Tanpa perkataan apapun lagi Bu Silma meninggalkan (namakamu).
(namakamu) mendesah. Tiga hari? Apa yang bisa ia lakukan dalam waktu 3 hari?
Tiba-tiba ponsel yang berada dalam genggamannya bergetar.
'Jam 2 siang ke kantor gue. Tiga hari? Itu gampang.'
“Hm?”
(namakamu) memutar lehernya, mencari Iqbaal. Apakah Iqbaal menguntitnya? Bagaimana Iqbaal tahu bahwa (namakamu) hanya diberi waktu 3 hari?
***
“Sore Bang?”
(namakamu) menyapa Kiky yang baru saja akan keluar dari ruangan kerjanya.
“Sore?”
Kiky melihat jam tangannya. “Jam 2, masih siang,” ujar Kiky seraya tersenyum.
(namakamu) meringis, “iya ya?”
“Iqbaal ada di dalem,” ujar Kiky sebelum meninggalkan ruangannya.
(namakamu) mengangguk, lalu langkahnya menerobos masuk melewati batas pintu. Menatap Iqbaal yang kini tengah menatap layar komputernya dengan serius. Mulutnya menggigit ujung tutup bolpoin. Tiga buah kancing kemejanya terbuka, atau sengaja ia buka, memperlihatkan kaos putih yang ia kenakan di dalamnya, mungkin Iqbaal kegerahan. Kegerahan? AC yang sudah menyala dengan suhu 6 derajat, ia masih kegerahan?
“Efek berpikir keras mungkin,” gumam (namakamu) seraya menarik sebuah kursi bundar.
Iqbaal sempat menoleh, sejenak bangun dari duduknya. Menukarkan kursi miliknya dengan kursi yang baru saja (namakamu) tarik.
“Nih.”
Iqbaal menyerahkan selembas kertas A4 dan sebuah bolpoin.
(namakamu) duduk pada kusi yang sudah Iqbaal tukarkan. Lalu... diam, bingung.
“Lo udah selesai baca artikel-artikelnya kan?”
(namakamu) mengangguk.
“Tulis apapun yang mau lo tulis, kalau lo butuh referensi tentang buku, thesis, ataupun disertasi, nanti gue cariin di sini.”
Iqbaal menunjuk komputernya.
Untuk kedua kalinya (namakamu) mengangguk. Tangannya meraih bolpoin. Setelah melepaskan nafasnya yang berisi beban berat, (namakamu) mulai menuliskan kata demi kata yang ada di kepalanya. Sesekali Iqbaal menatap (namakamu), gadis itu serius mengerjakan tugasnya. Tidak ada sesuatu menarik yang bisa Iqbaal dengar untuk saat ini, isi kepala (namakamu) berjejal tugas-tugasnya.
Sempat hening, beberapa detik, menit, jam sebelum akhirnya (namakamu) terpaksa mengganggu pekerjaan Iqbaal untuk meminta tolong mencarikan referensi. Kertas A4 nya kini berisi coretan penuh, kali ini tidak ia remukan atau ia gulung seperti kemarin. Karena... Ia rasa tulisannya saat ini cukup layak. Sedikit layak.
Iqbaal meraih kertas yang berisi tulisan amatir (namakamu). Tulisan yang memuat tentang pelecehan seksual pada anak di bawah umur. Sempat membuat merinding membaca tema tersebut, mengemukakan protesnya. Mengapa harus judul itu yang (namakamu) ambil? Mengerikan. Tapi...
“Lo bilang harus yang lagi hangat dibicarain sama masyarakat kan?”
(namakamu) menatap wajah Iqbaal yang tidak mengenakan ketika membaca paragraf pertama tulisannya.
Iqbaal manggut-manggut. Lalu kembali fokus membaca. Sesekali mencoret atau menambahkan tulisan pada kertas itu. Tidak menyadari (namakamu) yang kini tengah menatapnya lekat-lekat.
“Bagus.”
Iqbaal tersenyum, mengakhiri paragraf terakhir yang ia baca.
“Oh ya?”
(namakamu) menepuk-nepuk telapak tangannya, kegirangan mendapat komentar dari Iqbaal.
Iqbaal mengangguk. “Tinggal diketik. Terus kirim lewat e-mail.”
“Lewat e-mail?”
Iqbaal mengangguk. “Iya, lo mau masukin ini ke surat kabar gue kan? Tetep harus lewatin prosedur.”
(namakamu) mengangguk lesu. Ternyata, perjuangannya belum berakhir. Bagaimana jika artikelnya ditolak? Tidak tembus? Tidak termuat? Hhhh... Membayangkan wajah menyeramkan Bu Silma pada semester depan, bagaikan mengalami mimpi buruk.
“Ya udah, gue aja yang ketik.”
Iqbaal meletakan kertas di hadapannya, membuka worksheet baru pada layar komputer.
“Gue aja yang ngetik,” ujar (namakamu). Sepertinya (namakamu) tidak mau terlalu banyak merepotkan Iqbaal.
“Hm, Ok.”
Iqbaal menarik kencang kursi (namakamu). Menghadapkan gadis itu di depan monitor komputer. Sempat membuat (namakamu) tersentak dan tak elak Iqbaal terkekeh ketika melihat wajah (namakamu) yang terkejut atas tingkahnya.
Kini mereka berdua bertukar posisi. (namakamu) sudah mulai menggerakan jarinya. Memindahkan isi kertasnya ke dalam worksheet yang sudah Iqbaal buka tadi. Sesekali (namakamu) menunduk, lalu mengangkat wajahnya. Menyelipkan rambut ke telinga yang menghalangi tatapannya pada monitor.
Iqbaal menikmati pemandangan itu. Pemandangan saat (namakamu) mengangkat wajahnya, menyelipkan rambutnya, membuat pipi kiri (namakamu) ter-ekspose dengan jelas. Manis. (namakamu) terlihat manis saat ini. Tiba-tiba,
'Gue tahu lo lagi liatin gue. Jangan liatin gue kayak gitu! Gue deg-degan!'
Iqbaal terkekeh pelan mendengar suara itu, tatapannya masih tidak lepas menatap wajah (namakamu) seraya bertopang dagu.
'Tuh kan! Ketikan gue banyak yang salah. Ahelah! Lo pergi kek! Gak usah di sini dulu! Gue grogi!'
Untuk kali ini kekehan Iqbaal sedikit agak keras.
“Kenapa?”
(namakamu) menoleh.
Iqbaal menggeleng, “Lo ketik dulu. Gue beli makan keluar.”
“Ok.”
(namakamu) menjawab dengan antusias seraya tersenyum lebar. Untuk saat ini ia bisa bebas tanpa tatapan mendebarkan itu.
Iqbaal membalas senyum (namakamu), lalu melangkahkan kakinya keluar dari meja kerja. Ruangan kerja itu masih banyak penghuni. Dari 20 meja kerja yang ada, sekitar 10 meja yang terisi, termasuk meja kerja Iqbaal. Semua masih sibuk menggerakan tangannya di atas keyboard, jadi Iqbaal tidak khawatir untuk meninggalkan (namakamu).
Selang 15 menit, “Udah selesai?”
Tiba-tiba Iqbaal sudah berada di samping (namakamu). Lagi-lagi membuat (namakamu) sedikit tersentak.
“Udah. Cuma lagi ngedit aja, takut ada ketikan yang salah,” jawab (namakamu). Tatapannya masih tertuju pada monitor, tangan kanannya menggenggam mouse.
“Makan dulu.”
Iqbaal membuka kotak kemasan sterofom yang ia bawa.
'Cuma satu?'
(namakamu) menatap Iqbaal.
“Udah abis, cuma ada satu porsi. Gue cari-cari makanan lagi sekitar sini, gak ada, udah malem kali. Lo aja yang makan, gue gampang.”
Iqbaal menggeser kotak makanan itu.
(namakamu) menggeleng. “Makan berdua aja.”
(namakamu) tersenyum. Menggeser kursinya agar jaraknya lebih dekat dengan Iqbaal.
“Hah? Gak usah lo aja, gu-”
Ucapan Iqbaal terhenti karena kini (namakamu) menatapnya.
“Lo masih inget gak, waktu ulang tahun Bastian? Bastian traktir kita nasi padang. Tapi cuma satu bungkus. Akhirnya, satu bungkus nasi kita makan berlima.”
(namakamu) terkekeh, seraya menggeserkan kotak makanannya.
Iqbaal ikut terkekeh. Ya, kejadian itu, terjadi satu tahun lalu. “Iya, terus akhirnya gue beli 4 bungkus lagi karena masih pada laper, kan?”
(namakamu) terbahak, “Bastian yang ulang tahun, tapi ujungnya lo yang traktir.”
Ternyata tawa (namakamu) disertai oleh Iqbaal. Iqbaal ikut tertawa bersama (namakamu), “Bastian sialan,” umpatnya masih sesekali terkekeh.
(namakamu) menghentikan tawanya, 'gue pengen lo kayak gini terus. Ketawa lagi bareng gue, jadi Iqbaal yang cerewet lagi. Gue kangen.'
“Makan,” ucap Iqbaal. Laki-laki segera mengalihkan pandangannya, mendengar suara itu kerongkongannya sedikit tercekat. Separah itu kah sikap Iqbaal 3 bulan ke belakang ini hingga membuat (namakamu) merasakan hal itu?
***
(namakamu) melangkahkan kakinya dengan girang memasuki ruang tamu. Ia lupa dengan kejadian tadi malam? Sepertinya begitu. Lupakan kejadian mengerikan kemarin itu, karena kini (namakamu) tengah merasakan hatinya berat terbebani kebahagiaan.
Seharian ini sikap Iqbaal begitu manis, tidak ada sedikitpun yang membuat (namakamu) harus merasakan keheranan dari tingkahnya. Iqbaal sudah berani tersenyum dan banyak bicara. Iqbaal juga mengantarnya pulang tadi, walaupun (namakamu) belum berani berpegangan, karena Iqbaal tidak menyuruhnya untuk berpegangan. Tapi, itu sudah lebih dari cukup. Ia yakin esok hari. Iqbaal akan menjadi Iqbaal yang benar-benar 'Iqbaal'.
(namakamu) baru saja bangkit dari sofa, melepas sepatu yang ia kenakan.
Prak... Vas bunga yang terpajang di atas meja telepon tiba-tiba terjatuh. (namakamu) mengerutkan keningnya. Bukankah ia menaruh vas bunga tepat di tengah meja? Angin? Bukan saatnya menyalahkan angin, karena sama sekali tidak ada angin kencang yang masuk.
(namakamu) menghampiri pecahan vas bunga itu. Berjongkok menatap pecahan-pecahan yang sudah berserakan di lantai. (namakamu) mendengus, lalu beranjak menuju dapur untuk mengambil sebuah kantung kresek.
Prang... Prang...
Terdengar suara beberapa piring terjatuh. Dengan cepat (namakamu) berlari menuju dapur. Sepertinya 4 buah piring kini sudah terhempas menjadi pecahan beling.
(namakamu) menelan ludahnya dengan susah payah. Mungkin kah tikus yang menjatuhkan itu semua? Tapi kenapa saat ini (namakamu) merasakan bulu-bulu tipisnya meremang.
Srttt... Srttt...
Suara itu terdengar lagi. Dimana suara itu berasal? Tatapan (namakamu) mengedar. Ia tidak menemukan apapun, selain pecahan beling yang berserakan di dapurnya.
(namakamu) melangkah mundur. Suara itu semakin mendekat. Keringat mulai membasahi permukaan wajahnya, sekuat mungkin (namakamu) menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa takut yang seakan hendak meledak.
Srttt... Srttt...
Tanpa sadar ketakutan itu membuat (namakamu) melelehkan air matanya. (namakamu) ingin berteriak namun sulit, suaranya seakan tercekat hebat.
Hhaaaahhhh... Desahan itu terdengar di samping telinga (namakamu), membuat (namakamu) menjerit dan berlari keluar dari dapur. Lampu ruang tamu yang tadi menyala, kini sudah mati.
Brak... (namakamu) menghantamkan tubuhnya pada pintu. Mencoba mengguncang gagang pintu, namun pintu tidak kunjung terbuka. Bayangan hitam itu... Kembali mendekat disertai suara langkah terseret dan desahan mengerikan.
“(namakamu)?!”
Suara di luar sana terdengar panik. Mendengar jeritan serta gebrakan ganas dari balik pintu.
“(namakamu)?! Lo gak apa-apa kan?”
Brak... Pintu terbuka. Tubuh lemas (namakamu) menabrak tubuh pemuda yang kini ada di hadapannya. Nafas (namakamu) terengah-engah, seperti baru saja melalui arena lari 100km, bahkan lebih dari itu.
“Aku takut,” gumam (namakamu) dengan suara bergetar.
“Tenang. Ada aku.”
Tanpa sadar pemuda itu kini mendekap tubuh (namakamu), menenggelamkan gadis itu dalam ketenangan yang berusaha ia ciptakan.
“Aku takut,” gumam (namakamu) lagi disertai isaknya yang kini pecah dalam dekapan pemuda itu.
“Ada aku disini.”
Pemuda itu mengeratkan dekapannya.
***
“Ssshhhh.”
(namakamu) meringis ketika Iqbaal menempelkan kapas basah pada telapak kakinya.
“Sakit ya?”
Raut wajah Iqbaal ikut meringis ketika menempelkan kapas yang sudah ia celupkan pada alkohol.
(namakamu) mengangguk.
'Sakit. Sakit banget. Tapi lebih sakit ketika lo gak pernah sadar sama perasaan gue. ToT'
Telapak kaki kanan (namakamu) terluka, tidak lebar memang, hanya sekitar 2 cm. Namun lukanya cukup dalam, mungkin kaki telanjang (namakamu) tanpa sengaja menginjak pecahan vas bunga ketika ia berusaha keluar tadi.
“Sakit,” ringis (namakamu), ketika untuk kedua kalinya Iqbaal menempelkan kapas pada lukanya.
“Iya, udah kok. Tinggal dibalut perban.”
Iqbaal tersenyum, lalu bangun dari duduknya hendak mengambil perban yang baru saja ia beli ketika di perjalanan tadi.
Iqbaal dan (namakamu) kini berada di kamar kos Iqbaal. Tidak bermaksud apapun, (namakamu) tidak mau menginap dirumahnya untuk malam ini. Jika Iqbaal mengantarkan (namakamu) ke rumah Salsha malam-malam seperti ini, dalam keadaan (namakamu) yang seperti ini pula. Apa kata orang nanti?
Lebih baik Iqbaal membawa (namakamu) ke kamar kosnya. Lingkungan kos-kosan mahasiswa yang bersifat individualis dan tidak begitu perduli dengan urusan satu sama lain mungkin pilihan yang lebih baik.
“Selesai.”
Iqbaal menempelkan plester pada balutan perban di kaki (namakamu). “Mudah-mudahan besok lukanya kering.”
(namakamu) tidak berkomentar, hanya menatap Iqbaal dengan wajah bingung. Iqbaal mengobati lukanya? Menyentuhnya? Bahkan mendekapnya ketika (namakamu) ketakutan tadi. (namakamu) baru tersadar atas semua rentetan kejadian itu.
“Sama-sama (namakamu).”
Iqbaal tersenyum, tepat di hadapan wajah (namakamu).
“Hh? Makasih, Baal,” ucap (namakamu) seraya meringis.
Iqbaal mengangguk, tersenyum tipis, “Lo gak apa-apa kan malem ini tidur di sini dulu? Gue gak akan macem-macem kok, nanti gue tidur di sofa.”
(namakamu) mengangguk tanpa bersuara.
“Tapi lo tahu kan kalau gue suka tidur sambil jalan? Jangan salahin gue kalau tiba-tiba ketika lo bangun, gue ada di samping lo,” ucap Iqbaal dengan tampang datar.
(namakamu) mengepalkan lengannya. Jika saja laki-laki ini tidak banyak berjasa hari ini, maka (namakamu) akan menjedukan kepalan tangannya pada kening Iqbaal.
Iqbaal terkekeh, “Gue becanda! Ganti baju gih. Lo keringetan.”
Iqbaal menutup hidungnya membuat (namakamu) mengendus-endus badannya sendiri.
“Gue gak bau!”
(namakamu) kini sudah membuat ancang-ancang untuk melayangkan kepalan tangannya.
“Emang gue bilang lo bau? Enggak kan?”
(namakamu) bangkit dari duduknya. “Awww.”
Ia lupa keadaan telapak kaki kanannya saat ini.
“Sini.”
Iqbaal meraih lengan kanan (namakamu). Mencoba memapah (namakamu) untuk berjalan, menuju pintu kamar mandi.
'Dada gue gak kenapa-kenapa kan? Dada gue mau meledak.'
'Ya ampun. Deg-degan ini.'
Iqbaal terkekeh sendiri.
“Kenapa?” tanya (namakamu), dalam keadaan seperti ini Iqbaal malah menertawakannya?
Iqbaal menggeleng. “Bisa kan ganti baju sendiri?” tanya Iqbaal ketika langkah (namakamu) sudah mencapai batas pintu kamar mandi. Menyerahkan pakaiannya untuk ia pinjamkan pada (namakamu).
“Bisa lah!” bentak (namakamu) dengan tatapan tidak santai.
“Ya, kalau gak bisa. Gue pegangin tangan lo. Gue temenin lo ganti ba-”
Brak... Pintu kamar mandi tertutup dengan kencang. Mungkin (namakamu) tidak mau mendengarkan perkataan Iqbaal yang membuatnya geli sendiri, dan lebih tepatnya membuat (namakamu) salah tingkah dengan wajah memerah. Iqbaal kembali terkekeh, membalikan tubuhnya untuk melangkah menjauhi pintu kamar mandi.
“Kenapa? Kamu marah?” tanya Iqbaal ketika mendapati Bella yang kini menatap tingkahnya dengan mata memerah. “Kamu marah aku natap mata dia? Senyum sama dia? Kamu marah aku sentuh dia? Aku lebih marah ketika kamu ganggu dia.”
Mata Bella semakin memerah. Bibirnya bergetar. “Ini semua karena kamu kan? Aku gak mungkin bawa dia tidur di sini kalau kamu gak ngelakuin semua itu,” lanjut Iqbaal lagi.
“Aku akan melakukan hal yang lebih dari ini, kalau kamu coba ganggu dia lagi. Jangan kamu pikir aku gak berani buat meniduri dia di depan mata kamu!”
Iqbaal tersenyum miring.
“Aku akan ngelakuin hal itu kalau kamu coba ganggu dia lagi. Ok?”
Iqbaal menatap Bella yang kini menatapnya tajam dengan tangan mengepal. Bella kesal? Marah? Sepertinya begitu. Namun kemarahan Iqbaal melebihi kemarahan Bella untuk saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar