Haaii! :) Aku cuma Re-post buat yang mau baca aja ya. Ini aku dapat dari FP Citra's Slide. Pembuatnya kak Novy Citra Pratiwi, Twitternya @CitraNovy. Oke? Hepiriding.
~
“Eyes Voice”
Part 1
halooo!!!
_______
Pernah tahu bagaimana rasanya ketika sesorang yang kita cintai meninggalkan kita secara mengenaskan, tepat di samping kita? Dan setelah itu, kita adalah orang yang berkewajiban menceritakan kronologi kejadiannya pada berita di surat kabar? Rasanya itu... Seperti mencekik leher sendiri.
Pekerjaan memang menuntut setiap orang untuk berlaku profesional. Tidak perduli keadaan hati, mood, perasaan, dan lain-lain yang bersifat pribadi. Tidak perduli! Pekerjaan menuntut kita melakukan hal yang memang sudah menjadi kewajiban kita.
Tapi... Tidak ada kah sedikit toleransi pada seseorang yang tengah dilanda rasa berkabung akibat kehilangan seseorang yang amat dicintai?
“Aku yang nyetir.”
Ketika baru saja kami mengayunkan kaki 3 langkah keluar dari pintu kafe. Bella merampas kunci mobil dari tangan ku. Aku hanya menggeleng. Menatap Bella yang kini sudah berlari mendahului ku.
“Kamu masih gak percaya kalau aku udah lulus sekolah menyetir.”
Bella mengeluarkan SIM B dari dalam dompetnya, lalu menempelkan dikeningnya. Aku hanya terkekeh melihat tingkah kekanak-kanakan gadis itu, gadis manja itu baru saja mendapatkan SIM B-nya tadi siang. Selama perjalanan menuju kafe, ia memaksa ku untuk bertukar posisi, meminta agar ia duduk di jok pengemudi dan aku duduk di jok penumpang. Tapi aku tidak mengijinkan, karena... Jujur aku masih meragukan kemampuan menyetirnya yang jelas-jelas masih amatir.
Namun kali ini, ia berhasil merampas kunci mobil dari tangan ku. Hhhh... Apa boleh buat? Mungkin pada pukul 9 malam seperti ini jalanan agak lengang, dan mobil ku yang Bella kendarai nanti tidak akan dihujani klakson mobil dari arah manapun karena ke-amatiran berkendaranya. Semoga.
Aku pasrah, kini aku duduk di sampingnya. Menarik seatbelt yang berada di jok yang aku duduki. Setelah Bella berhasil melajukan mobil dengan kecepatan standar, aku hanya mampu tersenyum. Ternyata Bella memang sudah mampu menyetir, walau kini wajahnya berubah bak anak SD yang menghadapi kertas Ujian Sekolah. Terlihat tegang.
“Santai sayang.”
Aku mendekatkan wajah ku di samping telinga kirinya. Berusaha untuk membuatnya tenang aku lebih mendekatkan wajahku agar aku bisa mengecup pelipisnya.
“Gini cara kamu bikin seorang gadis di samping kamu supaya santai?” tanyanya dengan tatapan yang tetap lurus.
“Mmmm.”
Aku hanya bergumam, karena bibir ku masih menempel pada pelipis kirinya.
“Aku harap kamu cuma berlaku seperti ini sama aku,” ucapnya lagi, dengan tatapan yang masih tegang terarah ke depan.
“Hm? Ya jelas aku seperti ini cuma sama kamu.”
“Oh ya? Gak ada gadis lain yang kamu sentuh selain aku?” tanyanya lagi. Pertanyaannya kali ini membuat kedua alisku merapat. Mungkin Bella saat ini sedang menciptakan perbincangan diantara kami berdua, menghilangkan rasa groginya. Mungkin.
“Ya, gak ada. Cuma kamu gadis yang aku sentuh,” jawabku. Walaupun sebenarnya aku tidak mengerti fokus pembicaraan Bella.
“Selamanya?”
“Iya. Selamanya. Hanya kamu satu-satunya gadis yang aku sentuh.”
“Oh ya?”
“Mmm. Cinta aku sama kamu udah mentok, sampai kapanpun itu. Dan ajalpun sepertinya gak akan pernah bisa memisahkan kita.”
Bela terkekeh, “Love you Iqbaal.”
“Love you too.”
Brak...
Kejadian itu terjadi begitu cepat, hanya selang sepersekian detik setelah aku mengucapkan kalimat janji konyolku itu. Aku merasakan pelipis kiri ku menghantam dashboard.
Selang beberapa menit setelah itu. Dengan persentase kesadaran yang menghampiri nol, aku berusaha membuka mataku. Menatap apa yang ada di hadapanku saat ini. Gadis cantik itu, keningnya kini sudah melumer merah tergeletak di atas setir. Ia tidak memakain seatbelt? Tidak! Bodoh! Aku lupa memakaikannya atau hanya sekedar mengingatkannya memakai seatbelt.
Drt... Drt... Drt...
Ponsel yang berada di saku celana ku bergetar terus menerus. Tangan kanan ku yang bergerak tidak seimbang mencoba meraihnya. Entah apa yang dilakukan oleh tangan kanan ku saat ini. Ponsel ku terjatuh.
'Halo? Baal? Ada dimana lo? Ada kecelakaan di daerah Jalan Taman Pasopati. Kalau bisa lo kesana sekarang. Buat muatan berita di halaman depan besok. Siapa tahu berkat berita ini nilai PKL lo dapet plus, atau mungkin nanti lo diangkat jadi karyawan beneran. Bukan mahasiswa magang lagi. Haha.'
'Halo? Baal? Lo dengerin gue gak sih?'
'Baal?!'
Suara di dalam speaker telepon itu terdengar samar-samar, karena kini suara di luar mobil terdengar begitu bising. Suara orang-orang yang kini terdengar panik melihat keadaanku di dalam sini. Mungkin. Sehingga menggilas suara seseorang yang terdengar dari speaker telepon tadi.
***
Kejadian itu sudah 3 bulan berlalu. Kejadian tragis di mana Iqbaal harus kehilangan gadis pujaannya. Tepat di sampingnya ia melihat gadis itu pergi. Sakit? Jelas. Sedih? Hanya orang yang tidak waras yang tidak merasakan kepedihan yang amat sangat jika mengingat kejadian itu lagi.
Kejadian itu seolah merenggut sosok Iqbaal yang sebenarnya. Iqbaal yang aktif, bahkan hiperaktif. Iqbaal yang selalu mengomentari semua hal, kritis. Iqbaal yang periang, pemecah keheningan. Sosok ketua HIMA yang cerdas. Semua berubah. Berputar setengah putaran jarum jam. Berkat kejadian itu.
Langkah lunglainya seperti biasa, menghiasi ambang pintu kelas. Memasuki mata kuliah di tahun ajaran baru dengan kondisi dan sikapnnya yang juga baru. Pemuda ber-earphone itu mulai menyusuri rongga antar bangku. Melewati jejeran beberapa baris bangku untuk menggapai posisi kedua teman laki-lakinya yang sudah duduk terlebih dahulu.
“Apa dia gak bisa kayak dulu lagi?” tanya seorang gadis seraya menggulung-gulung kertas UTS bertuliskan (namakamu) di pojok kanan atas. Sesekali menatap pemuda ber-earphone dengan jarak terhalang 4 baris bangku di belakangnya. Pemuda yang kini di apit oleh dua pemuda lain. Iqbaal, berada diantara Aldi dan Bastian.
“Hmmm... Gue gak tahu,” jawab gadis berkacamata di hadapan (namakamu). Gadis berambut pirang dengan wajah rupawan itu adalah Salsha, sahabat (namakamu). Sahabat Iqbaal juga, sahabat Aldi, dan Bastian. Jadi mereka bersahabat?-_- mungkin. Sepertinya 3 bulan yang lalu begitu. Namun tidak dengan saat ini.
“Sampai kapan Iqbaal gak mau deket-deket kita berdua? Gak mau duduk deket kita? Gak mau satu meja kantin sama kita? Gak mau pulang bareng kita? Gak mau ngerjain tugas bareng kita? Gak mau-”
Salsha berhasil membungkam mulut (namakamu) dengan telapak tangan kanannya. “Gue gak tahu!”
Salsha berucap lembut namun penuh penekanan.
“Secinta mati itu dia sama Bella? Sampai-sampai dia gak mau sama sekali deket-deket sama cewek manapun. Termasuk kita? Sahabatnya?”
(namakamu) masih saja mendumal, tatapannya sesekali menoleh ke arah belakang. “Sekarang dia sama sekali nganggap kita kayak tumpukan sampah! Seakan jijik, sampai ngobrol aja gak pernah mau liat mata dan minimal harus jaga jarak minimal 1,5 meter. Emang kita-”
“Gak cuma kita. Tapi semua cewek dia perlakukan sama,” potong Salsha, sepertinya ia benar-benar ingin menyumpal mulut (namakamu) saat ini.
“Ya! Semua cewek! Tapi kan kita sahabatnya! Tiga tahun loh Sha kita sahabatan, tapi cuma karena kejadian itu-”
“Cuma? Cuma lo bilang (namakamu)? Cewek dia meninggal tepat di sampingnya lo bilang cuma?”
Perkataan Salsha saat ini mampu membungkam mulut (namakamu), tanpa perlu Salsha menjejalkan kaos kakinya ternyata saat ini ia berhasil membuat (namakamu) terdiam. “Mungkin dia butuh waktu, kita sebagai sahabat cuma bisa mencoba mengerti keadaan dia saat ini kan?”
Walaupun (namakamu) masih merasakan dadanya seakan ingin meledak, namun akhirnya ia mengangguk pelan. Aksi protes yang seharusnya ia gencarkan pada Iqbaal tadi seketika terhenti. Walaupun sebenarnya (namakamu) benar-benar masih tidak mengerti atas perubahan sikap Iqbaal saat ini.
Bagaimana tidak? Laki-laki itu tidak mau sama sekali berbicara dengan lawan bicara perempuan jika benar-benar tidak penting dan tidak mendesak. Namun jika keadaannya memang mendesak dan mengharuskan ia untuk berbicara, ia akan berbicara tanpa menatap mata lawan bicaranya, sedikitpun. Dan itu, aturan itu ia berlakukan juga untuk dua sahabat perempuannya, (namakamu) dan Salsha.
(namakamu) tidak mengerti atas sikap Iqbaal saat ini. Menurutnya, itu keterlaluan. Laki-laki itu tidak pernah mau berdekatan dengan perempuan melebihi jarak 1,5 meter. Jika ada seorang gadis menghampirinya melebihi jarak itu, maka senantiasa ia akan bergerak menjauh. Dan jangan sekali-kali menyentuhnya. Itu akan berakibat fatal.
Pernah suatu ketika, program pemeriksaan kesehatan anti narkoba datang ke poloklinik kampus. Memeriksa setiap mahasiswa untuk melakukan tes anti narkoba, tidak terkecuali Iqbaal. Seorang wanita petugas kesehatan yang akan menusukan jarum pada telunjuk kiri Iqbaal, tiba-tiba mendapatkan mejanya yang berisi alat kesehatan semua terhempas berserakan di lantai poliklinik.
Kasus kedua, seorang wanita penjaga perpustakaan yang akan meminta cap jempol Iqbaal ketika Iqbaal mengembalikan buku ke perpustakaan. Baru saja ia meraih tangan kanan Iqbaal, tiba-tiba rak buku yang terletak di samping kanannya tumpah. Menyebabkan semua buku yang tadinya tersusun rapi tersebut berserakan tidak karuan.
Lalu seorang ibu kantin yang rak piringnya terjengkang menyebabkan semua isinya terhempas. Penjaga lab komputer yang menyatakan satu buah monitor komputernya terjatuh dari atas meja ketika hendak meraih tangan Iqbaal untuk mendapatkan cap tangan.
Hhhh... Itu hanya beberapa kasus, masih banyak kasus lain. Apakah Iqbaal yang melakukan semua aksi perusakan itu? Karena tidak mau disentuh maka ia mengamuk seperti itu? Tapi perlu diketahui, setiap saat kasus itu terjadi maka Iqbaal senantiasa akan mengganti semua kerugian. Aneh bukan? Merugikan diri sendiri. Namun sebenarnya (namakamu) tidak tahu persis tentang rentetan kejadian itu, karena ia hanya mendengar dari desissan dan gosip-gosip mahasiswi sekitar. (namakamu) tidak melihat langsung kronologi kejadiannya, tapi kejadian-kejadian itu cukup gencar dibicarakan. Maka, sejak saat itu semua gadis serempak melakukan aksi jarak 1,5 meter dari Iqbaal.
SATU LAGI!!!
Hhhh... Sepertinya (namakamu) masih ingin mengeluarkan unek-uneknya tentang sikap abnormal Iqbaal. Selama 3 bulan belakangan ini, Iqbaal pernah melakukan 2 kali percobaan bunuh diri. Padahal semua tahu. Laki-laki pintar yang merupakan ketua HIMA dengan IPK tinggi diterima kerja disebuah redaksi koran ternama karena selama magang mendapatkan predikat baik. Tidak sayang kah ia dengan semua yang ia miliki saat ini? Entahlah.
Pertama, Iqbaal pernah mencoba menjatuhkan dirinya di rel kereta sebuah statsiun ketika kereta melaju kencang di hadapannya. Namun aksinya berhasil digagalkan oleh seorang laki-laki paruh baya yang menarik kerah bajunya hingga terjengkang ke belakang sampai Iqbaal tidak sadarkan diri.
Kedua, Iqbaal mencoba mencoba meminum puluhan pil obat penenang. Namun tingkahnya terhenti karena ada Aldi dan Bastian yang secara kebetulan datang mengunjungi kosannya. Aldi dan Bastian menjauhkan Iqbaal dari jangkauan air minum, sehingga Iqbaal sulit menelan jejalan pil dalam mulutnya alhasil semua termuntahkan kembali begitu saja.
Mungkin Tuhan belum mengizinkan Iqbaal untuk mati. Iya kan?
“(namakamu)?”
Salsha menggoyang pundak (namakamu) membuat (namakamu) menoleh dengan wajah 'ada apa?'
“Itu!” desis Salsha, arah matanya tertuju pada kursi dosen.
(namakamu) menoleh. Ternyata, seorang dosen sudah duduk manis di depan sana. Menatap (namakamu) yang kini baru menyadarkan dirinya dari lamunan bodoh tentang laki-laki abnormal itu.
“Gue harus ngapain?” tanya (namakamu) pada Salsha, wajahnya benar-benar sangat terlihat bodoh. Sungguh.
“Anda tidak mendengarkan pertanyaan saya?” tanya dosen wanita bernama Silma. Bu Silma, dosen mata kuliah Jurnalisme Sastra yang hobinya bertanya pada setiap mahasiswa mengenai materi perkuliahan. Mengapa (namakamu) bisa-bisanya tidak sadarkan diri bahwa dosen itu sudah memasuki kelas dan menggencar mahasiswa dengan pertanyaan-pertanyaan menyeramkannya itu? Bodoh!
(namakamu) sedikit melirik ke arah Salsha. Sialan! Wajah Salsha tertunduk. (namakamu) tahu, bukan berarti Salsha tidak mau membantunya, jika Salsha bersikap seperti itu maka itu artinya Salsha tidak mengetahui jawaban atas pertanyaan yang dilemparkan oleh Bu Silma.
Bu Silma berdecak kesal. Melepaskan kacamata minusnya dengan kasar dan mengurut keningnya. Ya, (namakamu) tahu saat ini ia telah membuat dosen paruh baya itu terlihat sangat kesal.
***
“Bisa-bisanya ya lo selama mata kuliah 2 SKS lo ngelamun? Ngelamunin gue ya?”
Bastian menepuk-nepuk pelan kening (namakamu) yang duduk di hadapannya.
“Ngelamunin apaan sih? Jorok ya?”
Aldi menambahkan, berucap dengan tampang fokus pada makanan di hadapannya.
“Omongan lo berdua ya!”
Salsha memoles kening Aldi dan Bastian bergantian, sedangkan (namakamu)? Gadis itu masih sibuk mengedarkan pandangannya.
Iqbaal? Kemana?
Baru saja sejenak (namakamu) bertanya-tanya sendiri, laki-laki itu sudah muncul dari balik kerumunan, dengan earphone yang menggantung sebelah dan dua tangan yang membawa minuman serta makanannya.
“Weeyyy!!!”
Aldi dan Bastian refleks bangkit dari hadapan (namakamu) dan Salsha, membawa makanan dan minuman yang belum mereka habiskan, menuju bangku dimana Iqbaal duduk saat ini.
Selalu, Iqbaal tidak pernah mau duduk semeja dengan (namakamu), Salsha, ataupun perempuan lainnya.
“Tuh kan? Iqbaal mungkin udah menganggap kita seonggok sampah yang baunya tercium kemana-mana, sampe makan pun dia gak pernah mau satu meja sama kita lagi.”
(namakamu) sekilas menoleh ke arah 3 pemuda sahabatnya itu, lalu kembali menatap Salsha.
Salsha hanya mengangkat kedua bahunya. Ia mengerti dengan keanehan yang (namakamu) rasakan saat ini, karena ia juga mengalami hal yang sama. Namun... Harus bagaimana lagi? Salsha tidak bisa memaksa Iqbaal untuk duduk makan di samping mereka berdua kan? Mungkin Iqbaal memang bisa lebih nyaman jika berlaku seperti itu. Ya. Mungkin. Entahlah.
“Dan berkat dia. Gue kena tugas tambahan dari Bu Silma tadi!” ucap (namakamu) lagi dengan tampang kesal.
“Berkat dia?”
Salsha menatap (namakamu) dengan wajah yang penuh pertanyaan. “Jangan bilang selama kuliah tadi, lo ngelamun, mikirin dia?”
“Ha?”
(namakamu) menggeleng, mengibas-ngibaskan tangannya tak karuan.
“Lo masih suka sama Iqbaal?”
Pertanyaan Salsha nyaris membuat (namakamu) menyemburkan minuman kaleng yang baru saja ia teguk. Suka? Masih suka?
“Emangnya gue pernah suka sama Iqbaal?!”
(namakamu) sedikit menggebrak meja kantin yang tengah Salsha topangi.
“Dulu. Sebelum Iqbaal jadian sama Bella? Lo bilang suka? Malah lo sempet mau nembak dia kalau gak gue cegah. Sarap! Lo lupa? Pura-pura lupa?”
Mendengar rentetan pernyataan Salsha saat ini benar-benar membuat (namakamu) kelabakan. Karena... Itu... memang benar. Oh... Tuhan, memalukan. Tapi, “Itu dulu kan! Sebelum gue tahu kalau Iqbaal naksir sama Bella. Sebelum gue tahu kalau besoknya Iqbaal bakal nembak Bella!”
“Yayaya. Lo harusnya berterimakasih sama gue. Berkat gue lo gak jadi nembak dia. Coba kalau lo jadi nembak dia, terus Iqbaal bilang 'maaf (namakamu), besok gue rencananya mau nembak Bella.' Mampus kan malunya kebawa sampe mati!”
Salsha terkikik sendiri, ditonton oleh (namakamu) yang kini merasakan gendok setengah mati.
“Eh, (namakamu)! Tapi kan Bella udah gak ada? Berarti lo masih ada kesempatan untuk-”
Prak... Tiba-tiba gelas minuman Salsha yang masih berisi tiga perempat terjatuh dari atas meja. Sempat membuat (namakamu) dan Salsha tersentak. Membuat sebagian pengunjung kantin sempat menoleh ke arah mereka. Termasuk Aldi, Bastian, dan Iqbaal yang kini menatap ke arah dua gadis itu.
“Lo?”
Salsha menatap (namakamu) dengan wajah heran.
“Bukan gue! Jelas-jelas gelasnya deket sikut lo, masa iya gue yang jatuhin?” tukas (namakamu).
“Emak-emak komplek! Kalau gosip sambil mecah-mecahin gelas!”
Teriakan itu terdengar lantang, jelas dari mulut usil Bastian kini yang membuat hampir seisi kantin terkekeh.
Salsha menatap Bastian dengan mata menyipit. Jari tengahnya mengacung seperti ancaman kematian, tapi malah membuat Bastian dan Aldi terkekeh. Iqbaal? Hanya menatap dengan wajah datar, seolah tidak mau tahu apa yang terjadi.
***
Kejadian 3 bulan lalu. Pasca kejadian maut yang merenggut seorang gadis yang amat Iqbaal cintai, Iqbaal diterima sebagai karyawan di sebuah redaksi koran. Sepersekian jam pasca kejadian itu, Iqbaal satu-satunya seorang jurnalis magang yang mampu memberitakan kronologi kejadian untuk dimuat diberita surat kabar halaman terdepan pada keesokan harinya. Bagaimana tidak? Ia sendiri yang mengalami kejadian itu. Dalam keadaan setengah sadar, ia memaksakan diri untuk menulis semuanya. Sungguh, ini lebih menyakitkan dari percobaan bunuh diri.
Crek...
Ketikan terakhir dilayar monitor baru saja Iqbaal selesaikan. Ruang kerja saat ini mulai sepi, waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Hanya Iqbaal dan beberapa pegawai lain yang masih bertahan.
Setelah men-shutdown komputer kantor, Iqbaal sedikit meregangkan struktur tubuhnya yang menegang. Bangkit dari kursinya, meraih ponsel, tas, dan jaket. Lalu bergegas untuk keluar dari ruang kerja, segera pulang menuju kosannya.
“Kita pulang,” gumamnya ketika keluar dari dalam ruangan. Aneh? Memang.
Sepasang kabel earphone sudah menggantung kembali pada dua telinganya. Tidak mau mendengar apa yang tidak ingin ia dengar. Wajahnya menunduk, menelusuri koridor ruang kerja yang sepi. Tidak mau melihat apa yang tidak ingin ia lihat.
Bagaimana rasanya ketika kita dipaksa untuk mendengar sesuatu yang sama sekali tidak mau kita dengar? Memaksakan diri untuk tidak mendengar, namun suara-suara aneh yang ia dengar ketika melihat mata seseorang itu secara otomatis terputar di samping telinganya. Ya, ketika Iqbaal menatap mata seseorang, walaupun hanya sekilas, maka dengan refleks apa yang sedang dipikirkan oleh orang itu akan Iqbaal dengar, tanpa diperintah.
Bagaimana rasanya ketika kita dipaksa untuk melihat sesuatu yang sama sekali tidak mau kita lihat? Memaksakan diri untuk tidak melihat, namun bagaimanapun caranya, ia mampu melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat kebanyakan orang.
Pasca kejadian 3 bulan itu. Pasca kepalanya terbentur pada dashboard mobilnya, selain nasib pekerjaannya yang membaik, Iqbaal mendapatkan bonus-bonus lain. Kemampuan aneh yang membuat hidupnya menjadi tidak normal. Gila? Mendekati, hampir, bahkan sepertinya sudah. Ia sudah mulai merasa gila dengan semua ini.
Ting... Denting halus pintu lift terdengar. Iqbaal keluar dari dalam lift, menapaki teras lobi yang hanya dihuni oleh 2 orang petugas yang mendapatkan piket malam, dan... Yang lainnya. Makhluk lain. Hhhh... Lupakan. Iqbaal tidak mau mendeskripsikan lebih lanjut.
“Saya duluan Pak,” pamit Iqbaal pada salah satu petugas, seraya menganggukan kepalanya dengan sopan. Langkahnya terayun keluar. Melewati pintu putar lobi.
Bersambung..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar