“Eyes Voice”
Part 5
_______
“Aku akan melakukan hal yang lebih dari ini, kalau kamu coba ganggu dia lagi. Jangan kamu pikir aku gak berani buat meniduri dia di depan mata kamu!”
Iqbaal tersenyum miring.
“Aku akan ngelakuin hal itu kalau kamu coba ganggu dia lagi. Ok?”
Iqbaal menatap Bella yang kini menatapnya tajam dengan tangan mengepal. Bella kesal? Marah? Sepertinya begitu. Namun kemarahan Iqbaal melebihi kemarahan Bella untuk saat ini.
***
(namakamu) berjalan melewati koridor yang sudah ramai. Berjalan terpincang-pincang menahan rasa sakit akibat luka di telapak kaki kanannya.
'Awas ya lo Baal!' rutuk (namakamu) sambil melangkah dengan kaki yang tidak seimbang. Sementara Iqbaal berjalan di belakangnya, sama sekali tidak membantu (namakamu) atau memapah (namakamu) untuk berjalan.
Sebenarnya Iqbaal sudah memperingatkan (namakamu) untuk tidak masuk kuliah dulu hari ini, tapi (namakamu) tetap keukeuh, “sayang kalau gak masuk cuma gara-gara sakit gini doang,” ujar (namakamu).
Dan sekarang terbukti kan? Untuk berjalan menuju kelas saja (namakamu) kesulitan. Belum lagi, “Hhhh...”
(namakamu) mendesah ketika menatap puluhan anak tangga yang harus ia lewati untuk menuju kelas di lantai 2.
“Nyesel kan? Gue kan udah bilang, gak usah masuk dulu.”
Iqbaal melipatkan kedua lengannya di dada, menatap (namakamu) yang kini bertopang pada pagar tangga.
(namakamu) mendelik, menatap Iqbaal sebal. 'Bantuin gue kek! T.T'
Iqbaal menggeleng, seolah ia mendengar jeritan hati (namakamu). Bukan Iqbaal tidak mau membantu, atau bersikap tak acuh pada (namakamu). Melainkan... Bella. Ya, Iqbaal merasakan Bella menguntit mereka sedari tadi. Jika Iqbaal memegangi lengan (namakamu) saat ini, apa yang akan Bella lakukan? Iqbaal tidak mau kaca kelas di sepanjang koridor pecah secara tiba-tiba. Tidak lucu jika semua mahasiswa melihat kejadian aneh itu.
(namakamu) sempat menoleh ke arah Iqbaal sekilas, lalu tangan kirinya bertopang pada pagar tangga, sedangkan tangan kanannya kini mengaduk isi tas. Iqbaal tetap bergeming, menatap tingkah (namakamu) saat ini. Menatap (namakamu) yang kini meraih ponselnya dan,
“Al, gue ada di lantai bawah. Lo bisa jemput gue gak? Kaki gue sakit. Lo bisa tolongin gue buat-”
Iqbaal merampas ponsel (namakamu) secara tiba-tiba dan dengan sembarang memutuskan sambungan telepon. (namakamu) sempat melotot, bersiap-siap untuk meledak ketika Iqbaal melakukan tingkah menyebalkan itu, namun ledakannya seketika mereda ketika Iqbaal mengangkat tubuhnya dan membopongnya untuk menaiki anak tangga.
“Baal,” pekik (namakamu). Seketika matanya terpejam. Malu. Karena sebagian mahasiswa yang tengah menaiki dan menuruni anak tangga kini menatap mereka berdua dengan tatapan aneh.
“Lo berat banget sih? Makan mulu sih lo!”
Iqbaal. Gosip mengenai Iqbaal, wanita atau gadis yang Iqbaal sentuh atau tidak sengaja menyentuh Iqbaal maka akan mengalami malapetaka. Malapetaka? Itu berlebihan. Tapi mengingat petugas kesehatan, penjaga perpustakaan, ibu kantin, dan sederet wanita lainnya. Itu sudah menjadi bahan gosip satu fakultas. Dan kali ini? Sulit dipercaya, Iqbaal tidak hanya menyentuh (namakamu), melainkan mengangkat tubuh (namakamu).
“(namakamu)?” pekik Aldi. Di pertengahan anak tangga mereka berpapasan, Aldi bergeming. Menatap Iqbaal yang kini mengangkat (namakamu). Apakah Aldi salah lihat? Haruskah ia menambah minus pada kaca matanya saat ini? Mulut Aldi menganga. Tidak! Ini memang nyata, Iqbaal mengangkat tubuh (namakamu). Tuhan... Apa yang terjadi dengan Iqbaal?
Aldi masih bergeming, menyaksikan Iqbaal yang kini melewatinya dan terus melangkah naik.
***
“Kok bisa gini sih?” tanya Salsha, tangannya memapah (namakamu) menyusuri koridor kampus. Mereka baru saja keluar dari kantin. Satu mata kuliah sudah selesai. Hari ini sebenarnya ada 2 jadwal mata kuliah, namun karena dosen salah satu mata kuliah berhalangan hadir maka saat ini mereka bisa pulang.
“Heh! Ditanya diem aja.”
Salsha sedikit menggoyangkan tangannya sehingga membuat langkah (namakamu) tidak seimbang dan membuat gadis itu meringis. “Maaf, maaf.”
Salsha nyengir, kembali mengeratkan pegangannya pada (namakamu).
“Kalau gue cerita, lo mau percaya?”
(namakamu) malah balik bertanya.
“Percaya lah, lo kan temen gue. Kenapa sih? Lo diapain sama Iqbaal?”
(namakamu) menggeleng, “ini gak ada hubungannya sama Iqbaal. Kemarin, waktu gue pulang kerumah tiba-tiba vas bunga sama piring-piring di dapur gue pecah. Terus, gue ngerasa ada makhluk yang ngikutin gue.”
“Serius lo?” Salsha membenarkan letak kacamatanya sejenak, lalu kembali memegangi lengan (namakamu).
(namakamu) mengangguk, “gue lari, tanpa sadar kaki gue nginjek pecahan vas bunga.”
“Terus kenapa Iqbaal tiba-tiba berubah drastis? Tiba-tiba baik banget sama lo? Apa ada hubungannya sama kejadian itu? Dia merasa bersalah gitu?”
Salsha menatap lekat (namakamu), seolah rasa penasarannya semakin menjadi.
“Ya enggak lah, apa hubungannya Iqbaal sama kejadian di rumah gue?”
(namakamu) menghentikan langkahnya.
Salsha mengangkat kedua bahunya, “siapa tahu, kan?”
(namakamu) hanya menggeleng. Langkah mereka kini sudah keluar dari pintu utama fakultas. Baru saja mereka akan kembali melangkah, tiba-tiba suara langkah cepat--malah terkesan berlari-- terdengar ricuh dari arah belakang, membuat (namakamu) dan Salsha memutar lehernya. Ternyata Aldi dan Bastian yang kini menghampiri mereka.
“Lo gak apa-apa kan?” tanya Aldi, menatap ke bawah--menatap kaki (namakamu).
(namakamu) menggeleng.
“Beneran?” tanya Aldi lagi meyakinkan.
(namakamu) mengangguk.
“Makanya hati-hati kalau jalan! Kayak anak kecil aja gak sengaja nginjek beling.”
Bastian mengacak rambut depan (namakamu), membuat (namakamu) cemberut dan sibuk merapikan kembali rambutnya.
Tin... Suara klakson singkat mengalihkan pandangan keempat mahasiswa itu serentak. Menoleh ke arah sumber suara bersamaan. Seorang laki-laki masih duduk di atas motornya kini membuka helm yang ia gunakan.
“Gue anter pulang,” ucapnya tiba-tiba.
“Gue yang bakal nganter (namakamu) pulang,” sahut Aldi. “Lagian, kalau (namakamu) nebeng pulang sama lo, (namakamu) gak boleh pegangan kan? Nanti dia jatoh lagi,” lanjut Aldi seraya terkekeh menyebalkan. Sementara Bastian dan Salsha malah sibuk saling menatap tanpa keluar suara sedikitpun, begitu juga dengan (namakamu).
“Yuk.”
Aldi menarik pelan lengan (namakamu) sehingga terlepas dari pegangan Salsha. Melingkarkan lengannya pada pinggang gadis itu agar memudahkannya untuk berjalan.
Iqbaal, laki-laki yang duduk di atas motornya itu kini turun, melangkahkan kakinya menghampiri (namakamu) yang sudah berada dalam rangkulan Aldi. “Baju lo yang semalem masih di kosan gue loh,” ucap Iqbaal mengangkat kedua alisnya, membuat (namakamu) melotot kaget.
“(namakamu)!”
Bastian dan Salsha memekik bersamaan. Baju? Di kosan? Semalam? Apa yang mereka lakukan berdua semalam? Pikiran Bastian dan Salsha mulai jauh menjelajah.
(namakamu) mengibas-ngibaskan tangannya tak karuan, “enggak, bukan gitu maksudnya,” tukas (namakamu), mulai kelabakan.
“Terus gimana maksudnya?” tanya Iqbaal seraya mencondongkan wajahnya menatap (namakamu). Iqbaal tahu, ketika menatap (namakamu) dengan cara seperti ini, maka gadis itu akan susah untuk berkutik. Terbukti, mulut (namakamu) kini terkunci. “Gak usah malu (namakamu), mereka kan temen kita. Gak apa-apa kalaupun mereka tahu. Ya kan?”
Iqbaal mengacak-acak rambut (namakamu) seraya tersenyum, benar-benar membuat tubuh (namakamu) seakan mau ambruk.
“Lo?”
Aldi perlahan menggerakan lehernya untuk berputar, menatap (namakamu).
(namakamu) kembali mengibas-ngibaskan tangannya tanpa bersuara. Lalu tatapannya beralih menatap Iqbaal, kesal.
“Kenapa?”
Iqbaal memasang tampang innocent. “Ayo! Baju lo keburu bau loh. Semalem lo keringetan kan?”
Lagi-lagi Iqbaal tersenyum nakal.
“Keringetan?”
Aldi mendesis dengan suara tertahan. Aldi merasakan perkataan Iqbaal tadi berhasil melucuti tulang-tulang rusuknya. Dan itu... Menyakitkan.
Iqbaal menarik lengan (namakamu). Sebelah tangannya lagi menarik pinggang (namakamu). Pegangan Aldi yang mulai melemas kini terlepas. Iqbaal sudah memapah (namakamu) untuk menghampiri motornya.
Iqbaal naik terlebih dahulu, disusul dengan (namakamu) yang kini duduk miring di atas motor Iqbaal, karena rok (namakamu) yang tidak memungkinkan untuk posisi menghadap punggung Iqbaal.
“Pegangan,” ucap Iqbaal.
(namakamu) masih terdiam, belum melakukan reaksi apapun.
“(namakamu)? Pegangan!”
Kali ini suara Iqbaal terdengar lebih keras dari sebelumnya. Namun ternyata usaha Iqbaal sia-sia, (namakamu) masih belum bereaksi.
Dengan paksa Iqbaal menarik kedua lengan (namakamu) untuk melingkar di pinggangnya. Setelah itu, Iqbaal tersenyum menatap Aldi, mengangkat kedua alisnya. Tuhan... Kali ini Iqbaal terlihat amat menyebalkan bagi Aldi sepertinya.
***
(namakamu) sudah menjatuhkan tubuhnya di atas sofa yang terletak di pojok kanan kamar Iqbaal. Sementara Iqbaal melangkah menuju lemari es berukuran kecil di samping sofa.
“Mau minum apa?” tanya Iqbaal, tangannya meraih merogoh isi lemari es.
“Terserah,” jawab (namakamu) seraya mengibas-ngibaskan telapak tangan pada wajahnya.
Iqbaal meraih dua kaleng minuman dingin. Langkahnya terayun menghampiri (namakamu), menyerahkan satu minuman kaleng pada (namakamu).
“Artikel gue udah keterima belum ya? Udah ada balasan belum ya?”
(namakamu) menatap Iqbaal yang kini ikut menjatuhkan tubuhnya di samping kanan (namakamu).
Iqbaal mengangkat kedua bahunya ketika baru saja selesai meminum minuman kalengnya.
(namakamu) menggeser laptop yang berada di atas meja di hadapannya, membuka dan menyalakannya. “Di sini ada wi-fi kan?” tanya (namakamu).
Iqbaal mengangguk, lalu menyerahkan minuman kaleng milik (namakamu) yang tutupnya sudah terbuka.
(namakamu) mengotak-atik laptop milik Iqbaal, mulai membuka alamat e-mailnya. Mengecek inbox, siapa tahu ada kabar baik, walaupun hanya balasan e-mail dari surat kabar tempat Iqbaal bekerja.
“Hhhh...”
(namakamu) mendesah, menjatuhkan punggungnya pada sandaran sofa.
“Kenapa?”
Iqbaal mencondongkan tubuhnya, menatap monitor laptop yang masih menampilkan e-mail (namakamu). Tidak ada inbox baru yang masuk? Lalu Iqbaal menolehkan wajahnya, menatap (namakamu).
“Mungkin artikel gue gak lulus seleksi,” keluh (namakamu) dengan wajah murung. “Mungkin gue harus terima untuk ikut mata kuliah Bu Silma tahun depan.”
Iqbaal tersenyum tipis, “udah nyerah aja. Artikelnya kan baru dikirim kemarin, siapa tahu belum,” hibur Iqbaal, masih menatap wajah (namakamu) yang semakin murung.
“Waktunya kan cuma 3 hari. Kalau besok belum dimuat juga, ya udah. Tamat.”
Iqbaal terkekeh. Lalu kembali mencondongkan tubuhnya menatap monitor 14 inch itu. Tangannya mulai bergerak-gerak di atas keyboard, sesekali terhenti menunggu tulisan loading menghilang berganti dengan halaman yang ia inginkan.
“Pelecehan seksual pada anak di bawah umur mengakibatkan-”
Suara Iqbaal terhenti ketika (namakamu) ikut mencondongkan tubuhnya, ikut menatap monitor laptop. Halaman itu, menampilkan koran online yang Iqbaal buka tadi, dan di dalam koran itu termuat artikel (namakamu).
“Aaaaaa!!!”
(namakamu) menjerit kegirangan, melihat artikelnya sudah berbaris rapi dengan artikel yang lain dalam kolom surat kabar. “Artikel gue masuk, Baal?” tanya (namakamu) dengan suara girang.
Iqbaal mengangguk. Menatap (namakamu) yang kini tengah kegirangan. “Makasih ya.”
(namakamu) mempertontonkan barisan gigi rapinya. Lalu kembali menatap layar laptop, menatap kembali artikelnya yang terpajang di sana.
“Berarti sekarang gue harus beli koran dong, buat buktiin sama Bu Silma kalau artikel gue udah masuk?” tanya (namakamu) dengan wajah berseri-seri.
Iqbaal menggeleng, “gak usah. Lo tunjukin aja alamat web ini sama Bu Silma.”
(namakamu) mengangguk cepat. Lalu tatapannya kembali fokus pada layar laptop di hadapannya, “tunggu!” (namakamu) kini menegakan tubuhnya, kembali menatap Iqbaal, “kok gak ada e-mail balasan dari surat kabarnya ya?” tanya (namakamu).
“Gue males balesnya,” jawab Iqbaal santai, membenahi posisi punggungnya untuk menyandar pada sandaran sofa.
“Apa?”
Kening (namakamu) berkerut, tidak mengerti maksud jawaban Iqbaal.
“Iya, gu-e ma-les ba-les e-mail lo!” ucap Iqbaal mengeja kalimatnya.
“Apa?!”
Mulut (namakamu) terbuka lebar.
Iqbaal mengangguk seraya tersenyum santai.
“Jadi lo yang nyeleksi artikel gue? Lo!”
(namakamu) berucap seolah masih tidak percaya dengan pengakuan Iqbaal.
“Iya. Gue yang dikasih tugas buat nyeleksi artikel yang masuk dan dimuat di kolom artikel.”
“Hoh!!!”
(namakamu) menggeleng. Ingin rasanya (namakamu) menabrakan kepala Iqbaal pada meja di hadapannya saat ini. Jika seperti itu kenyataannya, tidak bisa kah Iqbaal lebih mempermudah semuanya? Mempermudah dari awal? Tidak membuat (namakamu) stress selama berhari-hari.
“Gue kan udah bilang. Gue bukan bantuin lo buat masukin artikel di surat kabar. Tapi... Gue mau bantuin lo bikin artikel yang bener,” ujar Iqbaal seraya tersenyum manis. Sangat manis, sehingga membuat kadar gula darah (namakamu) naik seketika sepertinya.
“Makasih,” ucap (namakamu), entah untuk keberapa kalinya (namakamu) mengucapkan kata itu.
“Boleh disini.”
Iqbaal menunjuk-nunjuk pipi kirinya.
“Apa sih!”
(namakamu) mengusap kasar wajah Iqbaal. Sementara Iqbaal masih terkekeh.
“Oh iya! Gue nemu artikel bagus, loh! Lo harus baca.”
Iqbaal bangun dari tidurnya, melangkahkan kakinya menuju tas ransel yang tergeletak di atas tempat tidur.
“Artikel apa?” tanya (namakamu), namun Iqbaal tidak menjawab. Iqbaal meraih sebuah lipatan kertas kusut dari dalam tasnya, kembali menghampiri (namakamu), kembali duduk di samping (namakamu).
“Gue bacain ya?”
(namakamu) mengangguk, mulaimemperhatikan gerak bibir Iqbaal yang akan membacakan isi kertas dalam genggamannya.
“Ini bukan karena aku mencintai kamu, tapi karena aku 'hanya' mencintai kamu. Jika bukan kamu, aku tidak akan punya siapa-siapa yang aku cintai. Karena ternyata aku hanya mencintai kamu.”
Iqbaal menarik nafasnya perlahan. Sementara (namakamu) memejamkan matanya, sepertinya... (namakamu) mengingat kalimat itu, kata-kata itu...
“Aku tidak tahu kenapa aku berbuat seperti ini. Aku juga tidak tahu kenapa aku bersikap seperti orang bodoh saat ini. Meskipun kamu menghindar, tapi-”
Suara Iqbaal terhenti ketika tangan (namakamu) hendak meraih kertas dalam genggaman Iqbaal, namun tangan Iqbaal dengan cekatan menghindar.
(namakamu) menarik lengan Iqbaal membuat Iqbaal bangkit dari duduknya dan kembali menghindar.
“Siniin gak kertasnya!”
(namakamu) ikut bangkit dari duduknya.
“... tapi aku ternyata tetap mencintai kamu. Tidak peduli apa yang kamu lakukan, aku akan tetap-”
“Iqbaal!!!”
Teriakan (namakamu) terdengar sangat kencang membuat Iqbaal menutup kuping dan menghentikan tingkah konyolnya. “Siniin gak!” (namakamu) semakin brutal mengejar Iqbaal yang kini sudah berlari mendekati tempat tidur.
“Tadi sampai mana bacanya ya?”
Iqbaal memperhatikan paragraf dari tulisan tersebut. Telunjuknya bergerak menelusuri setiap baris.
Brek... Ketika Iqbaal lengah, (namakamu) berhasil merampas kertas itu dari genggamannya dengan ganas. Menatap Iqbaal dengan tatapan seakan hendak membakar Iqbaal hidup-hidup.
“Kenapa?”
Iqbaal bertanya seolah tidak melakukan kesalahan apapun. “Lo tahu siapa yang nulis itu?”
Iqbaal melanjutkan kepura-puraannya.
“Sshhh...”
Gigi (namakamu) bergemertak, saling beradu. Jika saja Iqbaal tidak memiliki banyak kebaikan kepadanya akhir-akhir ini, maka (namakamu) akan mencekik leher Iqbaal tanpa ampun sekarang juga. (namakamu) meremukan kertas yang berada dalam genggamannya, membentuk kertas tersebut menjadi gumpalan bola.
“Gue boleh tahu itu buat siapa?” tanya Iqbaal menghampiri (namakamu).
(namakamu) kini duduk di sisi tempat tidur, wajahnya menunduk. Menggigit kencang bibir bawahnya.
“Gue tanya, tulisan itu buat siapa (namakamu)?”
Iqbaal ikut duduk di samping (namakamu).
“Hey.”
Iqbaal mengusap-usap tengkuk (namakamu), karena saat ini wajah gadis itu masih tertunduk. “Ya udah kalau lo gak mau ngasih tahu, gak apa-apa.”
(namakamu) sedikit mengangkat wajahnya, menatap sekilas mata Iqbaal. 'Buat lo! Itu buat lo! Masa lo gak tahu kalau itu buat lo?'
Iqbaal tersenyum tipis. Tanpa sadar tangannya melingkar memeluk (namakamu) dari samping. Dagunya ia jatuh kan di atas pundak (namakamu).
Hening... Cukup lama keduanya tidak bersuara, bertahan dalam posisi seperti itu.
“Makasih (namakamu). Makasih untuk semuanya.”
Ucapan Iqbaal membuat (namakamu) bergerak sehingga Iqbaal mengangkat wajahnya dari posisi semula.
(namakamu) menolehkan wajahnya, menatap Iqbaal. 'Makasih? Untuk apa?' Mata (namakamu) seolah mengungkapkan pertanyaan itu.
Tangan kanan Iqbaal bergerak memegangi tengkuk (namakamu). Sementara tangan kirinya menarik lengan kanan (namakamu) agar tubuh gadis itu mendekat.
Bibir Iqbaal menyentuh bibir (namakamu) dengan lembut. Hanya menyentuh, lalu beberapa detik kemudian mulai bergerak pelan. Berusaha membuat (namakamu) membalas tingkahnya.
Dan ternyata, hanya butuh waktu 1 menit untuk menunggu (namakamu) ikut menggerakan bibirnya, membalas perlakuan Iqbaal terhadapnya.
Iqbaal mendorong pelan (namakamu), membuat posisi (namakamu) kini tertidur beralaskan lengan kanannya. Iqbaal sejenak melepaskan pagutannya. Bibirnya mengecup lembut kening (namakamu), membuat (namakamu) kembali terpejam. Setelah itu... bibirnya kembali turun, bergerak lembut di atas bibir (namakamu).
Tanpa sadar... Semua benda yang berada di dalam ruangan ini sudah berantakan, berjatuhan, terbanting hingga sebagian besar benda rusak. Namun keduanya sama sekali tidak menyadari. Suara jatuhan benda ringan dan hempasan benda pecah belah seakan tidak terdengar. Telinga keduanya tersumpal oleh perasaan yang kini menggila.
***
“Iqbaal udah balik lagi kayak dulu ya? Buktinya dia udah mau ngobrol sama lo, malah dia udah gak takut lo sentuh lagi.”
Salsha menyejajarkan langkahnya di samping (namakamu). Sementara Bastian mengekor di belakang, ketiganya tengah berjalan di pelataran kampus, menuju... Kantin-_-. Karena menurut informasi, dosen mata kuliah pertama berhalangan hadir.
“Sha, menurut lo. Kalau cowok, nyium cewek. Itu bisa jadi bukti kalau cowok itu suka sama si cewek gak sih?”
“Lo dicium siapa (namakamu)? Ada cowok yang berani cium lo? Sialan! Siapa?”
Bastian yang tengah sibuk membaca komik seraya mengekor langkah (namakamu) dan Salsha, kini tiba-tiba merasa perhatiannya tertarik pada pertanyaan aneh (namakamu).
“Apaan sih, Bas?! Gue cuma nanya!”
(namakamu) menoleh ke arah Bastian yang kini menyejajarkan langkahnya dengan Salsha.
“Sha?”
(namakamu) kembali menatap Salsha.
“Hmmm...”
Bola mata Salsha ditarik ke sudut atas. “Ya suka lah! Kalau tu cowok gak suka, ngapain dia nyium?”
“Gue serius, Sha!”
(namakamu) merasa jawaban Salsha tidak memuaskan.
“Gue juga serius (namakamu)!”
Salsha menghentakan kakinya.
“Menurut lo?”
Tatapan (namakamu) kini teralih pada Bastian.
Bastian manggut-manggut, sok serius. “Suka. Ngapain cowok nyium cewek yang gak dia suka, kan?”
Sama saja. Jawaban Bastian adalah hasil copy-paste dari jawaban Salsha. Hanya susunan kalimatnya saja yang diubah.
Tiba-tiba, suara langkah ricuh di belakang sana terdengar. Suara langkah dua pemuda yang kini mendekat menghampiri mereka.
“Hai!”
Iqbaal nyengir, menyapa ketiga sahabat di hadapannya. Salsha, Bastian, dan (namakamu).
“Gak ada dosen ya? Kantin yuk.”
Aldi tiba-tiba menyerobot lengan (namakamu).
“(namakamu).”
Tubuh Iqbaal kini terselip di antara (namakamu) dan Aldi, “kemarin gue capek banget beresin kamar. Berantakan,” keluh Iqbaal.
“Iya, kok bisa ya?” tanya (namakamu) dengan wajah heran. Mengingat kejadian kemarin. Pasca kejadian itu... Kamar Iqbaal yang terlihat seperti kamar yang baru saja diobrak-abrik oleh satpol-pp.
“Itu karena lo-nya yang hebat, gue sampe kecapean.”
Iqbaal terbahak sendiri seraya mengusap keningnya. Tidak menghiraukan Salsha, Bastian, terlebih Aldi yang merasa kini lehernya tercekik.
“Lo ngomong apa sih, Baal!”
(namakamu) kembali dibuat gemas.
“Jadi. Yang nyium lo-- Iqbaal?”
Wajah Bastian terlihat sangat bodoh saat ini.
“Bas! Apaan sih! Gak ada hubungannya!” bentak (namakamu) dengan intonasi tinggi.
“Jadi Bastian udah tahu, (namakamu)? Wah, berarti gak usah cerita lagi dong.”
Iqbaal nyengir, mempertontonkan sikapnya yang paling menyebalkan di hadapan Aldi.
“Bisa gak, lo gak usah nyengir kayak gitu? Bikin gue pengen bunuh orang tahu gak!”
Aldi melotot menatap Iqbaal.
Bersambung..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar