Pengarang: Novy Citra Pratiwi
@CitraNovy
FP: Citra's Slide
Just repost.
No bully. Please.
~
“Eyes Voice”
Part 6
Kalian gak pada UKK? Nanya cerbung terus kemarin awal UKK, jadi ribet ga next /_\
______
“Bas! Apaan sih! Gak ada hubungannya!” bentak (namakamu) dengan intonasi tinggi.
“Jadi Bastian udah tahu, (namakamu)? Wah, berarti gak usah cerita lagi dong.”
Iqbaal nyengir, berusaha mempertontonkan sikapnya yang paling menyebalkan di hadapan Aldi.
“Bisa gak, lo gak usah nyengir kayak gitu? Bikin gue pengen bunuh orang tahu gak!”
Aldi melotot menatap Iqbaal.
***
Iqbaal menepis keringat yang mulai menyebar dipermukaan wajahnya. Entah untuk keberapa kali, bahkan berapa puluh kali mencoba menyalakan motor dengan menginjak-nginjak kick starter. Sesekali berjongkok di samping motor, mengotak-atik mesin motor membuat kedua telapak tangannya berlumuran oli yang sudah menghitam. Namun percuma, Iqbaal bukan anak otomotif, sentuhan tangannya tidak kunjung membuat motornya menyala.
Starter elektrik yang berada di bagian stang kannanya tidak berfungsi. “Padahal baru minggu kemarin gue servis motor.”
Dengan keringat membanjir Iqbaal sekilas menatap (namakamu) yang berdiri di sampingnya.
“Ya udah. Gak usah Maksain, Baal. Gue masih bisa nganter (namakamu) pulang,” ujar Aldi dengan senyum penuh arti. Sedari tadi Aldi mendampingi (namakamu). Jaga-jaga takut Iqbaal tidak bisa mengantar (namakamu), dan memang itu harapannya agar ia bisa menggantikan Iqbaal untuk mengantar (namakamu) pulang.
Iqbaal tidak menghiraukan perkataan Aldi, kaki kanannya masih terus menekan-nekan kick starter. Sesekali menghela nafas panjang dan menepis keringat yang sudah deras.
'Bella, Bella. Ini gak lucu,' rutuknya dalam hati. Entah apa maksud dari dumalannya, namun ketika Iqbaal mengajak (namakamu) untuk pulang bersama tadi, tiba-tiba motornya tanpa sebab mati seperti ini. Aneh.
Iqbaal pernah berjanji pada (namakamu), jika ia diberi tugas untuk melaksanakan tugas di luar kantor, entah untuk meliput berita atau sekedar mewawancara dan sebagainya, ia akan mengajak (namakamu). Dan hari ini-- pukul 4 sore nanti, Iqbaal diberi tugas untuk memuat berita mengenai seorang tersangka kasus pembunuhan, maka dari itu ia mengajak (namakamu) untuk pergi dengannya. Namun, ternyata malah seperti ini kejadiannya.
“Nih.”
(namakamu) mengulurkan tangannya untuk memberikan selembar tissue yang baru saja ia tarik dari dalam tasnya. “Ambil,” perintah (namakamu), karena Iqbaal masih bergeming.
Iqbaal meraih tissue dengan gerakan lemas. Tatapannya sekilas terarah pada Aldi yang kini menatapnya dengan penuh kemenangan, lalu tatapannya terjatuh pada jam tangan yang melingkar tunggal pada pergelangan tangan kirinya, Iqbaal mendesah, “Udah jam 2. Lo pulang bareng Aldi aja, kapan-kapan gue ajak lo lagi.”
Iqbaal tersenyum, setelah itu lengannya bergerak mengusap permukaan wajahnya.
“Kalau motornya gak nyala kan kita bisa naik bis. Kalau enggak, gue anter lo dorong motor ke bengkel.”
“Kaki lo sakit, nanti tambah sakit kalau kebanyakan jalan.”
Aldi mengingatkan.
(namakamu) menggeleng. “Kaki gue udah gak kenapa-kenapa. Lukanya juga gak gede kok.”
(namakamu) meraih selembar tissue lagi dari dalam tasnya, menyerahkannya lagi pada Iqbaal. Tujuannya untuk membersihkan wajah Iqbaal yang kini dipenuhi noda hitam. Tanpa sadar, gerakan Iqbaal mengusap keringatnya malah memberikan noda baru pada wajahnya.
Iqbaal tersenyum, lalu sekilas menatap Aldi. “Gimana ya, Al? (namakamu) maunya pulang sama gue?”
Tiba-tiba (namakamu) menoyor kening Iqbaal kencang, “bukan gitu! Gue kan mau ngikut lo ke Lapas! Bukan maksudnya mau pulang bareng lo!”
Aldi sempat bergeming, sejenak. Setelah itu melangkahkan kakinya meninggalkan (namakamu) dan Iqbaal tanpa sepatah katapun. Aldi marah?
“Al!” seru (namakamu). Aldi yang merasa namanya terpanggil memutar tubuhnya dengan malas. Menatap (namakamu) dengan tampang 'ada apa?'
“Nanti malem gue telepon.”
Ucapan (namakamu) membuat Aldi tersenyum. Wajah murungnya sudah pudar, berganti slide menjadi cengiran girang. Aldi mengangguk,“Hati-hati ya,” balas Aldi. Langkah pelannya sudah berubah sedikit melompat-lompat girang.
“Telepon?”
Iqbaal memberhentikan gerakan menginjak-injak, menatap (namakamu) yang tengah menatap langkah Aldi.
“Mmm...”
(namakamu) mengangguk.
'Buat apa? Buat apa nelepon Aldi? Kenapa harus nelepon? Emang Aldi siapa?'
Rentetan pertanyaan itu sudah menjalar memenuhi tenggorokan, namun tiba-tiba tercekat ketika (namakamu) menggerakan tangannya mengusap permukaan wajah Iqbaal. “Wajah lo item-item gini.”
Gerakan tangan itu membuat Iqbaal tertegun dan menelan lagi pertanyaan yang baru saja akan keluar. Tidak perduli Aldi, apa yang (namakamu) lakukan untuk Aldi, atau apapun itu.
***
“Aldi suka sama lo,” ucap Iqbaal tanpa basa-basi seraya menyerahkan minuman kalengan yang sudah terbuka pada (namakamu).
“Apa?”
Tangannya meraih minuman yang Iqbaal berikan, namun tatapannya masih tertuju pada mata Iqbaal. Mereka kini tengah berada di sebuah bengkel yang berjarak sekitar 50 meter dari pintu gerbang kampus, (namakamu) menyertai Iqbaal mendorong motor mogoknya untuk mencapai bengkel. Walaupun (namakamu) tidak ikut mendorong, karena Iqbaal melarangnya, itu sudah cukup. Sudah cukup bagi Iqbaal gadis itu menemani penderitaannya. Berkali-kali Iqbaal bertanya, “sakit gak kakinya?” Untuk memastikan (namakamu) baik-baik saja. Namun berkali itu pula (namakamu) menggeleng dan menjawab, “enggak.”
“Aldi suka sama lo. Dia pernah ngaku sama gue.”
Iqbaal duduk di samping (namakamu). Bangku kayu sepanjang 2 meter itu sengaja disediakan bagi pengunjung.
“Gue tahu,” jawab (namakamu), seolah tanpa beban. Tanpa ekspresi yang menggambarkan dirinya kaget mendengar informasi dari Iqbaal. Malah, untuk saat ini Iqbaal yang terkaget mendengar jawaban (namakamu).
“Lo tahu?”
Iqbaal menaruh minuman kaleng yang ia genggam tadi di samping tempat duduknya saat ini, menatap wajah (namakamu) dengan tatapan heran.
(namakamu) mengangguk,“gue tahu,” ulangnya.
“Terus?”
Seolah masih tidak percaya Iqbaal terus menatap wajah (namakamu), benarkah gadis itu tahu bahwa Aldi menyukainya? Ini sulit dipercaya, bagaimana bisa ia menyembunyikannya serapi itu?
“Gue bukan cewek tolol yang gak peka sama sikap terang-terangan Aldi,” jawab (namakamu) lagi, membuat wajah Iqbaal semakin mendekat membentuk ekspresi wajah Iqbaal yang semakin heran.
“Lo tahu? Terus lo-”
Iqbaal tidak melanjutkan kalimatnya. Kalimat yang berbunyi pertanyaan kenapa? Bertanya alasan (namakamu) seolah tidak tahu. Apakah (namakamu) hanya tinggal menunggu Aldi menyatakan cinta? Apakah (namakamu) hanya menunggu menjawab pernyataan cinta Aldi dengan jawaban 'ya'? Tidak! tidak! Iqbaal menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Gue pura-pura gak tahu, gue gak mau nyakitin hati Aldi,” jelas (namakamu), tangannya memutar-mutar kaleng minuman yang ia genggam.
Nyakitin? Ok! Kata itu mulai menimbulkan secercah cahaya dari jawaban (namakamu). Iqbaal mendekatkan jarak duduknya, menatap (namakamu) untuk melanjutkan penjelasannya. Menunggu kalimat (namakamu) selanjutnya.
Hening...
(namakamu) kini malah terdiam. Assshhh... Iqbaal ingin tahu, sampai ingin tahunya kepala Iqbaal seperti hendak meledak.
“Gue...”
(namakamu) menggigit bibir bawahnya.
“Gue gak punya perasaan apa-apa sama Aldi.”
“Apa?”
Iqbaal memekik, kencang. Membuat sebagian montir yang tengah sibuk bekerja menoleh ke arahnya.
“Harus gue ulang ya?”
(namakamu) menatap malas wajah Iqbaal.
Iqbaal tersenyum, menggaruk-garuk kepala belakangnya. Respon apa lagi selain itu yang pantas ia keluarkan memangnya?
“Ketika seseorang tahu, bahwa orang yang didekatnya menyukai dirinya. Alangkah baiknya berlaku pura-pura tidak tahu seandainya dia bisa bisa membalas rasa suka itu. Iya kan?” tanya (namakamu).
Iqbaal mengangguk, senyumnya kini tertahan. Sikap apa yang harus Iqbaal tunjukan saat ini? Terlihat bahagia di atas penderitaan Aldi--laki-laki malang yang sama sekali tidak mengetahui apa-apa? Atau pura-pura berbela sungkawa? Dua-duanya terdengar tidak nyaman. Maka dari itu, untuk saat ini Iqbaal lebih baik terdiam tanpa komentar.
“Selesai, Boss!” teriak salah satu montir, dan itu terarah pada Iqbaal.
Iqbaal bergegas beranjak dari tempat duduknya. Menghampiri kondosi motornya saat ini. Ia harap motornya tidak lagi bermasalah seperti tadi. “Tunggu di sana.”
Kode tangan Iqbaal menunjukan perintah itu ketika menolehkan wajahnya pada (namakamu).
(namakamu) bangun dari duduknya, melangkah keluar dari area berbau mesin itu. Menuju tempat teduh untuk menunggu Iqbaal membawa kembali motornya.
***
Mata-mata itu. Setiap pasang mata yang sangat menggambarkan kelaparan untuk melihat dunia luar, mata yang mendeskripsikan kehausan untuk merasakan atmosfer di luar. Beberapa pasang mata yang menyiratkan penyesalan yang begitu mendalam, seolah meneriakan jeritan hatinya yang penuh luka dengan tatapan mata yang menusuk tajam.
(namakamu) mencengkram kuat lengan Iqbaal saat melewati lorong jeruji. Ketika (namakamu) dan Iqbaal memulai langkah menapaki lorong, semua penghuni dibalik bingkai besi itu menghambur mendekat memegangi besi penghalang, menatap (namakamu), Iqbaal, dan seorang petugas Lapas sebagai penunjuk arah yang kini tengah berjalan.
Iqbaal melepaskan cengkraman (namakamu) yang semakin lama semakin kuat. Kuku-kuku jarinya seakan mulai menancap satu persatu pada lengan Iqbaal. Telapak tangan Iqbaal meraih tangan (namakamu), menyebarkan jemarinya untuk menelusup ke dalam sela jari (namakamu). Bersimpul kuat. Iqbaal tahu (namakamu) saat ini ketakutan. Mata-mata menyeramkan itu membuat (namakamu) menunduk sepanjang lorong, mencengkram Iqbaal, dan merapatkan tubuhnya hingga tidak berjarak pada tubuh Iqbaal.
“Di sana.”
Petugas Lapas, seorang laki-laki berusia kurang lebih 30 tahun berbadan tegap itu menunjukan ruang kunjung yang kini telah di huni oleh dua orang pemuda.
“Terimakasih,” ucap Iqbaal seraya tersenyum ramah.
(namakamu) cukup bisa menghela nafas lega, karena kini ruang kunjung yang mulai mereka injak sudah tidak menampakan tatapan-tatapan menyeramkan itu lagi. Tanpa sadar selama beberapa menit--selama perjalanan di lorong tadi (namakamu) menahan nafasnya. Benar-benar menakutkan, lebih menakutkan ketika setiap malam ia mendengar langkah terseret dan bayangan hitam yang mendekatinya.
“Selamat siang.”
Seorang pemuda berpakaian rapi menyapa (namakamu) dan Iqbaal. Pemuda itu duduk di samping seorang pemuda berbaju seragam orange bertuliskan 'Tahanan Lapas' pada punggungnya.
“Siang,” balas Iqbaal menjabat tangan kedua pemuda sebaya dihadapannya. Tunggu! Wajah pemuda berpakaian rapi layaknya mahasiswa itu dan seorang pemuda berpakaian tahanan. Wajah mereka serupa. Sama sekali tidak ada perbedaan.
“Kami kembar identik,” ujar sang pemuda rapi itu tersenyum ramah ketika melihat raut wajah Iqbaal dan (namakamu) yang keheranan.
“Saya Varo, dan ini,” pemuda berpakaian rapi itu menunjuk seorang pemuda berbaju tahanan di sampingnya, “ini Vero, kakak saya,” lanjutnya.
Iqbaal mengangguk, “saya Iqbaal, dan ini rekan saya (namakamu).”
(namakamu) hanya mengangguk seraya tersenyum, tanpa mengulurkan tangannya untuk mencoba berjabatan. Tidak! (namakamu) belum pernah sebelumnya berjabat tangan dengan seorang tersangka pembunuhan. Dan Iqbaal mengerti itu.
Iqbaal mulai berbasa-basi. Mengobrol ringan, membuat suasana menjadi santai dan akrab, seolah ketiga pemuda itu adalah teman lama yang sudah lama tidak bertemu, hingga sempat mengeluarkan berkali-kali tawa di antara ketiganya. Oh Tuhan, pintarnya Iqbaal berakting seperti itu, seolah Iqbaal bukan seorang wartawan yang tengah mengorek informasi, melainkan seorang teman yang mengunjungi temannya di Lapas.
“... Gue kerja. Adek gue kuliah,” ujar Vero, sang kakak yang saat ini mengenakan seragam Lapas.
“Lo kerja? Lo gak kuliah juga?” tanya Iqbaal santai, saat ini mereka sudah saling menyapa dengan kata 'lo-gue'. Sekali lagi (namakamu) harus bertepuk tangan di dalam hati, memberikan standing aplause untuk Iqbaal.
Vero menggeleng, “gue kerja buat biayain kuliah Varo,” jawabnya. “Ketika pagi-pagi Varo minta duit buat bayaran kuliah, gue bingung. Gue gak punya duit. Tapi di sisi lain, gue gak mau bikin adik gue putus kuliah. Maka dari itu gue ngerampok toko. Dan...”
“Dan tanpa sadar bunuh penjaga toko?”
Iqbaal melanjutkan kalimat Varo dengan santai. Sangat santai, seolah kata 'bunuh' itu tidak asing lagi di telinga Iqbaal. Padahal perkataan itu berhasil membuat bulu-bulu tipis menyeramkan (namakamu) mulai meremang.
Vero mengangguk. Sementara Varo menepuk-nepuk pundak Vero.
“Di rekaman CCTV, lo kelihatan lagi mabuk.”
Iqbaal membenahi posisi duduknya, menatap wajah Vero lekat-lekat.
Vero mengangguk, “saat itu gue lagi stress berat,” jawabnya singkat.
“Lo gak merasa bersalah sama kakak lo?” tanya Iqbaal, kali ini tatapannya beralih pada Varo.
“Jelas merasa bersalah. Ini semua gara-gara gue, karena gue yang bikin kakak gue ngelakuin kesalahan itu,” jawab Varo. Tatapannya masih terarah pada seorang pemuda berseragam orange di sampingnya, yang tidak laina adalah kakaknya.
“Ya, lo harusnya merasa bersalah sama Vero. Pulang kuliah, ke club malam, sama temen-temen, dalam keadaan mabuk lo pulang, rampok toko, bunuh orang. Dan ketika ketangkap rekaman CCTV, kakak lo yang ngaku semuanya.”
Ucapan Iqbaal membuat wajah Vero terangkat, sedangkan Varo mulai mengerutkan keningnya.
“Gue tahu, sebenarnya pelaku pembunuhan itu Varo. Bukan lo, kan?”
Iqbaal mencondongkan tubuhnya, menatap dua saudara kembar di hadapannya. Membuat (namakamu) memekik menggoyang-goyangkan lengan Iqbaal dengan panik. Bisa-bisanya Iqbaal menuduh seperti itu.
“Kakak lo sengaja ngaku semua, karena dia gak mau lo di DO dari kampus lo. Dia pengen tetep lo kuliah, sementara dia yang gantiin posisi lo di tempat menjijikan ini. Karena kalian kembar identik, siapapun gak akan bisa bedain siapa pembunuh yang terekam di dalam CCTV kan? Lo gak ngerasa-”
“Baal?!” pekik (namakamu), kali ini lebih kencang dari sebelumnya. (namakamu) mulai tidak mengerti dengan apa yang Iqbaal katakan, Iqbaal mulai ngawur.
“Lo harus merasa bersalah,” lanjut Iqbaal seraya membereskan ponsel dan alat lainnya.
Bugh... Dalam sekejap kepalan keras tangan Varo sudah menghantam pipi kiri Iqbaal. “Jaga mulut lo!” teriak Varo, dengan mata memerah.
“Ada apa ini?!”
Seorang petugas menghampiri mereka, disusul oleh dua orang petugas lain yang kini memegangi Varo, menghadang pemuda itu untuk tidak kembali menghantam Iqbaal.
“Lo bisa akui semuanya di persidangan. Jangan bertindak bodoh untuk mengakui kesalahan yang gak lo lakuin. Sebelum posisi lo bergeser, jadi terdakwa.”
Iqbaal menepuk-nepuk pundak Vero, setelah itu tangannya menarik pundak (namakamu). Merangkul (namakamu) yang kini memejamkan matanya, berjalan di lantai lorong yang berada di antara bingkai-bingkai besi mengerikan.
***
“Lo apa-apaan sih tadi, hah?!”
(namakamu) kini tengah duduk di samping Iqbaal, duduk di sebuah bangku taman kota. Mengobati memar tulang pipi kiri Iqbaal. Waktu sudah menunjukan pukul 7 malam, namun mereka belum menyempatkan diri untuk pulang. Terlebih (namakamu) yang saat ini benar-benar ingin mencaci Iqbaal atas sikapnya yang seenaknya tadi.
“Gue cuma bilang apa adanya,” jawab Iqbaal dengan tampang meringis karena tangan (namakamu) masih mengoleskan krim pada luka Iqbaal.
“Apa adanya? Dugaan lo tadi sama sekali gak mendasar! Pantes Varo marah kayak tadi.”
“Apa yang gue bilang tadi itu bener.”
(namakamu) berdecak, “Jangan mentang-mentang lo udah ngeliput banyak kasus, terus lo pake feeling lo buat judge orang seenak jidat lo. Lo cuma wartawan surat kabar, bukan Jaksa, Iqbaal!”
“Gue cuma gak mau Vero kayak orang dungu-”
“Iqbaal! Praduga lo belum tentu bener!”
“Apa yang gue omongin tadi itu bener! Gue tahu persis. Gue bisa baca pikiran dia. Gue bisa baca pikiran Varo, Vero.”
Ucapan Iqbaal sempat membuat suasana di antara keduanya hening, sebelum akhirnya tawa (namakamu) meledak memecahkan keheningan.
“Lo bisa baca pikiran mereka? Ok, ok. Untuk saat ini gue berusaha percaya kalau lo keturunan cenayang.”
“Gue serius, gue bisa baca pikiran orang.”
“Oh ya?”
(namakamu) memajukan wajahnya, matanya menatap dalam bola mata Iqbaal. Menusuk lingkaran hitam mata Iqbaal. Sehingga ia bisa melihat wajahnya sendiri pada mata hitam itu.
“Gue serius, (namakamu)! Gue bisa baca pikiran orang ketika gue tatap matanya.”
Iqbaal mencoba meyakinkan (namakamu) yang saat ini masih sesekali terkekeh.
“Oh ya? Kalau gitu, lo tatap mata gue. Lo baca apa yang ada dipikiran gue!”
(namakamu) lebih mencondongkan lagi tubuhnya, menatap mata Iqbaal yang kini menatapnya juga.
Iqbaal sedikit menggeser duduknya untuk mundur. Lalu, “Mata Iqbaal teduh, mata ini yang selalu bikin gue kangen,” ucap Iqbaal mencoba menyuarakan apa yang ia dengar dari mata (namakamu), tatapannya masih terpagut pada bola mata (namakamu).
“Iqbaal natap mata gue. Ya Tuhan, dada gue. Dada gue gak kenapa-kenapa kan. Mata Iqbaal bikin dada gue sakit, jantung gue mukul dada gue kenceng banget. Gue-”
Ucapan Iqbaal terhenti ketika (namakamu) kini memejamkan matanya. Gadis itu terpejam, ketika baru saja Iqbaal memaparkan-- menyuarakan apa yang ada di dalam pikirannya.
“Lo?”
(namakamu) mencoba membuka matanya lagi perlahan. “Lo... Jadi, lo tahu semua?” tanya (namakamu) seolah belum percaya atas apa yang Iqbaal akui. Lalu membuang kembali tatapannya ke sembarang arah.
Iqbaal mengangguk, “Ya, semua,” jawabnya.
“J-jadi. Lo tau kalau...”
'Kalau gue suka sama lo?'
Iqbaal bisa mendengar itu. Walaupun (namakamu) tidak melanjutkan kalimatnya, namun Iqbaal bisa mendengar maksud pertanyaan (namakamu) yang sebenarnya.
“Lo tahu?” tanya (namakamu) lagi.
Iqbaal terdiam. Tatapannya kini terjatuh menunduk, menatap batu cetak berbentuk segienam penyusun lantai taman. Tidak menatap (namakamu) lagi, tidak berusaha membaca apa yang tengah (namakamu) pikirkan. Apakah pengakuannya ini salah? Apakah Iqbaal telah bersikap bodoh mengakui semuanya?
“Lo tahu itu semua, Baal?”
Entah mengapa suara (namakamu) saat ini terdengar bergetar. “Lo tahu semua, tapi lo pura-pura gak tahu?”
(namakamu) merasakan dadanya saat ini sakit.
Iqbaal terdiam, matanya terpejam. Semburat penyesalan tergambar pada wajahnya. Iqbaal menyesal mengakui itu jika akhirnya akan seperti ini. Mengingat pernyataan (namakamu) tadi siang,
'Ketika seseorang tahu, bahwa orang yang didekatnya menyukai dirinya. Alangkah baiknya berlaku pura-pura tidak tahu seandainya dia bisa bisa membalas rasa suka itu. Iya kan?'
“Ada alasan lain, bukan itu alasannya! Ada alasan lain yang gak bisa gue jelasin. Ssshhh.”
Iqbaal berkali-kali mendesis kesal. Tidak henti mengumpat kebodohannya sendiri. Menatap gadis yang duduk di sampingnya kini telah menghasilkan dua bahkan tiga bulir air mata.
“Ada alasan yang gak bisa gue jelasin. Tapi-”
Penjelasan Iqbaal terhenti ketika (namakamu) bangkit dari duduknya, menepis air matanya, dan melangkah menjauh dari tempat Iqbaal saat ini.
“(namakamu)?!”
Iqbaal merasakan tubuhnya lemas melihat (namakamu) yang sudah melangkah menjauh. Lebih lemas jika dibandingkan ketika tubuhnya tidak menerima asupan makanan selama 3 hari. Sisa tenaganya ia gunakan untuk bangkit dan menconba mengejar (namakamu).
“(namakamu), tolong dengerin gue dulu.”
Ketika (namakamu) merasakan Iqbaal mengikutinya--mulai menghampirinya--(namakamu) mempercepat ayunan langkahnya. High heels yang ia kenakan sama sekali tidak mengganggunya untuk melangkah cepat menapaki lantai batu cetak taman. Sebelum akhirnya,
(namakamu) merasakan hak tingginya tidak bisa terangkat, menancap di antara sela-sela susunan batu cetak itu. Susunan batu berbentuk segienam itu menyisakan ruang kecil antara yang satu dengan yang lain, menyebabkan hak (namakamu) yang sebesar ibu jari itu terjebak pada sela diantara kedua batu dan sulit terlepas.
“Eugh!”
(namakamu) mencoba mengangkat kakinya dengan kuat. Kedua tangannya memegangi betisnya, mengangkat betisnya agar hak dari sepatunya terlepas dari jebakan konyol itu. High heels kesayangan (namakamu), yang ia beli dari hasil pengumpulan uang jajan selama 3 bulan itu tidak mungkin ia tinggalkan begitu saja. Sebagaimanapun ia merasa kesal pada Iqbaal saat ini, ia tidak mungkin menanggalkan sepatunya dan berjalan terpincang-pincang.
Ini konyol, (namakamu) merasa dirinya terlihat sangat bodoh saat ini. Dalam jarak 5 langkah lagi, Iqbaal sudah bisa mencapai keberadaannya yang tengah terjebak saat ini. (namakamu) kembali berusaha menarik-narik kakinya.
Dan benar saja, hanya berselang 3 detik Iqbaal sudah berada di samping (namakamu). Iqbaal berjongkok di samping kaki kanan (namakamu), “pegangan.”
Iqbaal mengisyaratkan agar (namakamu) bertopang pada pundaknya.
“Pegangan,” perintah lembut Iqbaal terdengar untuk kedua kalinya. Karena (namakamu) masih terdiam. Iqbaal tidak mau ketika ia menarik kencang kaki gadis itu, malah membuat gadis itu terjungkal.
Dalam keadaan marah yang baru saja dimulai. Akhirnya (namakamu) harus mengalah untuk berpegangan pada pundak Iqbaal. (namakamu) memegangi pundak Iqbaal dengan tangan kanannya, nyaris mencengkram karena sebenarnya ia juga takut jika tubuhnya terjungkal ke arah belakang.
Iqbaal menggoyang-goyangkan tumit (namakamu), mencoba menarik lembut tanpa merusak atau membuat lecet sepatu (namakamu). “Sakit gak bekas lukanya?” tanya Iqbaal. (namakamu) menggeleng.
“Ok, pegangan yang kenceng.”
Iqbaal memberi aba-aba ketika tangannya akan menarik kencang telapak kaki (namakamu). Dan,
Srrkkk... Dengan susah payah akhirnya hak sepatu (namakamu) sudah terlepas dari jebakan itu. Iqbaal bangkit seraya menepuk-nepuk kedua telapak tangannya.
“Hati-hati jalannya, (namakamu).Lo boleh kok marah sama gue. Tapi untuk sekarang izinin gue nganterin lo pulang ya? Udah malem.”
(namakamu) tidak menjawab.
“Ok, (namakamu)?”
Iqbaal mencondongkan wajahnya, menatap mata (namakamu). Meminta jawaban 'ya' dari gadis itu. Namun sama sekali tidak keluar jawaban. Ketika Iqbaal menatap matanya, (namakamu) refleks terpejam. Mungkin gadis itu saat ini takut jika Iqbaal menatap matanya, takut jika Iqbaal mengetahui semua yang (namakamu) pikirkan. Iqbaal terkekeh pelan, sejenak wajahnya ia condongkan untuk mengecup kening (namakamu).
Kecupan lembut itu membuat degupan jantung (namakamu) seolah terdengar keluar, (namakamu) merasa ingin menutup kuping Iqbaal untuk saat ini. Takut jika Iqbaal mendengar degupan jantungnya yang menendang-nendang tulang dadanya dengan kencang.
“Gue gak akan baca pikiran lo, tanpa seizin lo,” ucap Iqbaal. Kata-kata yang dikeluarkan hanya untuk menenangkan (namakamu). Karena sebenarnya Iqbaal tidak bisa mengendalikan sendiri kemampuannya kan? Diizinkan ataupun tidak, Iqbaal akan mendengar semuanya ketika menatap mata (namakamu). Iya kan?
Iqbaal meraih telapak tangan (namakamu), kembali menelusupkan jemarinya diantara jari-jari (namakamu), meremasnya pelan, seakan ingin meyakinkan bahwa pikiran buruk (namakamu) tentang Iqbaal saat ini tidak benar. Melangkahkan kakinya seiring dengan diikuti ayunan kaki (namakamu).
Prak... Prak...
Beberapa lampu taman terpecah berderet.
“Aaaaa!”
(namakamu) menjerit ketika lampu taman di sebelah kirinya terpecah. Beruntung Iqbaal bergerak cekatan-- menarik pundak (namakamu), membuat gadis itu terhindar. Namun satu serpihan kecil lampu melesat tepat di hadapan kening (namakamu) tidak terhindarkan. Membuat sebersit sobekan kecil pada kening gadis itu. Keduanya sempat terdiam ketika 15 lampu taman yang berjajar 5 lampu di belakang dan 10 lampu di hadapan mereka terpecah habis.
“(namakamu)?”
Iqbaal memegangi wajah (namakamu). Segaris darah meleleh keluar akibat satu pecahan tajam yang menggesek kening gadis itu. Tangannya merogoh isi tas (namakamu), meraih selembar tissue. Iqbaal tahu (namakamu) selalu membawa tissue kemana pun ia pergi.
“Sakit?” tanya Iqbaal.
(namakamu) mengeleng dengan wajah meringis.
'Jangan ganggu (namakamu), Bella! Aku mohon, jangan pernah ganggu (namakamu)!'
Iqbaal menahan rasa marah yang bergerumul di dalam dadanya. Serasa ingin berteriak kencang ketika Bella memperlakukan (namakamu) seperti ini. Lagi.
Bersambung..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar