Minggu, 28 Juni 2015

Eyes Voice [Citra Novy] Part 3

Pengarangnya @CitraNovy di FP Citra's  Slide.
Just repost :)
No bully please.

~

“Eyes Voice”
Part 3
_______
Sedari tadi Iqbaal menatap mata Aldi. Ya! Tidak ada kebohongan, Aldi jujur mengenai perasaannya pada (namakamu). Pintar sekali selama ini Aldi menyembunyikan semuanya hingga Iqbaal tidak menyadari hal itu.

“Mata kuliahnya udah selesai? Ada tugas gak?”

Bastian mengangkat wajahnya dengan mata terkantuk-kantuk. Sedari tadi Bastian tergolek di atas mejanya, mungkin laki-laki itu tertidur. Ck! Iqbaal tidak perduli. Yang Iqbaal perdulikan saat ini, ketika ia mati nanti ia akan melihat (namakamu) bersama Aldi.

Selama 3 SKS mata kuliah berlangsung, sesekali Iqbaal menatap ke arah (namakamu). Mendapati gadis itu yang belum berhenti menguap, gadis malas. Padahal Iqbaal tahu tadi malam (namakamu) tidak melakukan perintahnya untuk mencoba menulis artikel, malah pergi menonton bersama Aldi.
Prak... Bolpoin Iqbaal terjatuh tanpa sebab dari atas mejanya. Membuat Iqbaal menoleh ke samping kirinya. Iqbaal mendesah, bergumam seraya membungkuk meraih bolpoinnya, “aku cuma kesel sama (namakamu) karena gak nulis artikel, bukan karena dia pergi nonton sama Aldi.”

“Apa?”

Aldi yang duduk tepat di samping kanan Iqbaal mendengar gumaman tak jelas itu.

Iqbaal menggeleng, kembali meletakan bolpoin di atas mejanya. Tatapannya kembali lurus ke depan kelas.

“Gue pikir, ketika gue bangun dari tidur singkat gue, mata kuliah udah selesai. Ternyata enggak.”
Bastian menggumam lagi, lalu kembali menenggelamkan wajahnya, menutup permukaan wajahnya agar tidak terlihat sedang tertidur. Iqbaal dan Aldi hanya menggeleng heran. Apa sebenarnya tujuan anak itu datang ke kampus? Hanya untuk numpang tidur?
Mata kuliah 3 sks yang membuat mata Bastian kenyang terlelap itu akhirnya berakhir. Iqbaal sudah membantu dosen paruh baya itu untuk melucuti kabel-kabel laptop pada proyektor kelas dan membantu merapikannya.

“Terimakasih,” ucap dosen pria itu ketika Iqbaal sudah membereskan dengan rapi semua peralatannya.

“Sama-sama Pak.”

Iqbaal mengangguk dan tersenyum sopan.

'Nama anak ini siapa ya? Saya lupa.'

 Dosen itu memejamkan mata seraya mengetuk-ngetuk keningnya.

“Saya Iqbaal Pak,” jawab Iqbaal seraya memberikan softcase laptop yang selesai ia rapikan.

“Ya?”
Wajah dosen di hadapan Iqbaal itu kini terlihat kebingungan. Bukankah ia tadi hanya bergumam di dalam hati?
Iqbaal tersenyum tipis. Bodoh, untuk apa ia menjawab pertanyaan dalam benak orang lain? Iqbaal meringis.

“Ya, Iqbaal. Terimakasih.”

Pria paruh baya itu menepuk-nepuk pundak Iqbaal, lalu melangkah kan kakinya keluar kelas.
Iqbaal kembali melangkah gontai melewati rongga antar bangku. “Temuin gue di perpustakaan,” ucapnya pada seorang gadis yang baru saja selesai menguap.
(namakamu) menoleh, tanpa sempat menjawab atau mengatakan hal apapun, Iqbaal sudah kembali melangkahkan kakinya menjauh.

“Iqbaal barusan ngomong sama lo?”

Salsha menggoyang-goyang pundak (namakamu). Aksi Salsha menghentikan (namakamu) yang baru saja akan menguap lagi, “Kok bisa?”

Salsha belum berhenti menggoyang-goyang pundak (namakamu).

“Kan lo sendiri yang suruh gue buat minta tolong sama Iqbaal. Ya udah-”

“Aaaaa! Gue berharap lo bisa bikin Iqbaal balik lagi kayak dulu. Ngobrol bareng kita lagi. Makan bareng. Nongkrong bareng.”

Sikap Salsha sangat antusias, menghiraukan mata (namakamu) yang terkantuk-kantuk dengan kuota melemah.

'Jangan ngimpi ketinggian, Sha!'
(namakamu) menatap Salsha dengan tatapan malas.
***
Tap... Tap... Tap... Langkah kaki (namakamu) terdengar nyaring ketika memasuki ruangan senyap itu. Ruangan yang hanya dikunjungi oleh 0,1% dari jumlah keseluruhan mahasiswa yang ada setiap harinya, perpustakaan.

(namakamu) mencari keberadaan Iqbaal saat ini. Apakah Iqbaal kembali duduk di tempat yang sama dengan tempat kemarin? (namakamu) memutar balik tubuhnya, langkahnya terayun menuju bangku yang berada di pojok kanan, bangku yang berada di belakang rak yang tersimpan paling belakang(?)
Ahhh... Ternyata benar. Iqbaal ada di sana. Senyum (namakamu) mengembang menghampiri laki-laki yang kini tengah membolak-balik buku setebal kurang lebih 300 halaman itu. Rok abu-abu tua yang dipakainya bergoyang-goyang menemani langkah (namakamu) yang terkesan hendak lompat-lompat. Aneh.

“Gue semalem-”

“Nonton sama Aldi,” sela Iqbaal.

'Kok dia tahu?'

 (namakamu) sedikit tercengang, lalu menarik sebuah kursi untuk ia duduki.
“Gue tahu dari Aldi,” jawab Iqbaal santai. Tatapannya masih menatap ratusan kata yang berjejer di hadapannya. “Bukannya gue nyuruh lo buat nulis ya?”

Mata Iqbaal yang sedikit kesal kini menatap (namakamu) yang sudah duduk di hadapannya, terhalang oleh meja persegi berukuran 1x1 meter.
(namakamu) memegangi dadanya, 'jangan liat gue kayak gitu.'

Iqbaal berdecak, tatapannya teralih lagi pada buku di hadapannya.
“Gue... Coba nulis kok. Setelah nonton sama Aldi. Pulangnya gue coba bikin artikel,” ucap (namakamu) mencoba membuat Iqbaal kembali menatapnya.

'Ayo liat gue lagi.'

 Namun Iqbaal masih tidak menghiraukan, masih menunduk.

“Lihat nih mata gue. Udah kayak pembantu rumah tangga yang begadang nyelesain setrikaan semaleman. Coba-”

Ucapan (namakamu) terhenti ketika untuk kedua kalinya Iqbaal menatap matanya. Kali ini, Iqbaal lurus menatap mata (namakamu).

'Oh Tuhan...'

 (namakamu) meremas kemeja pada bagian dadanya, lagi-lagi gadis itu bertingkah bodoh.
Prak... Bolpoin Iqbaal tiba-tiba terjatuh. Hhhh... Iqbaal mengerti. Iqbaal mengalihkan tatapannya, lalu membungkuk mencoba meraih bolpoinnya yang tergeletak di samping kaki kursi.
“Mana?”
Iqbaal menengadahkan telapak tangan kanannya.

“Apanya?”

Kening (namakamu) berkerut. Bingung.

“Katanya semalem lo nulis artikel?”

Untuk kali ini Iqbaal tidak bisa untuk tidak memelototi (namakamu).

“I... iya, gue coba nulis. Cuma gak ada yang... Selesai.”

(namakamu) menggigit bibir bawahnya, ia berharap setelah ia berkata seperti itu Iqbaal tidak akan menerkamnya.
“Hhhh...”

Iqbaal mendesah, menyandarkan punggungnya pada sandaran bangku, menggaruk-garuk kepalanya kesal. Benar kah Iqbaal membuat kesalahan ketika memutuskan untuk membantu (namakamu)? Tangan Iqbaal merobek selembar kertas pada buku catatannya. Menuliskan sesuatu sepertinya.

“Nih alamat kantor gue, sekarang lo kesana. Di sana banyak artikel, 'banyak banget'. Lo bisa baca semua, siapa tahu otak lo terbuka,” ujar Iqbaal seraya menyerahkan secarik kertas itu pada (namakamu).

“Terus lo mau kemana?”

Setelah meraih kertas dari tangan Iqbaal, (namakamu) menatap laki-laki itu yang kini sudah menyelempangkan tasnya.
“Kantor,” jawab Iqbaal singkat.

“Kita kan bisa-”

Ucapan (namakamu) terhenti ketika Iqbaal sudah meninggalkannya dalam jarak 5 langkah. “Kita kan bisa berangkat ke kantor sama-sama. Lo kan bisa bonceng gue.”

(namakamu) hanya melanjutkan kalimatnya dengan gumaman pelan dan bibir yang mulai mengerucut.

Laki-laki itu! (namakamu) sekarang harus naik angkutan umum untuk mencari alamat kantor ini? Apakah Iqbaal benar-benar takut tersentuh ketika (namakamu) ikut dalam boncengannya? Memangnya Iqbaal akan mati seketika jika mendapatkan sentuhan dari (namakamu)? (namakamu) tidak berhenti mendumal seraya membereskan isi tasnya.
***
(namakamu) berdiri menatap gedung di hadapannya. Mungkin ini gedungnya. Gedung tempat Iqbaal bekerja, sesuai dengan alamat yang dituliskan Iqbaal tadi. (namakamu) melangkahkan kakinya menuju pintu utama, pintu putar yang kini dilalui oleh beberapa orang yang terlihat sibuk lalu lalang. Memasuki ruangan lobi yang luas, dihuni oleh beberapa orang berwajah serius. Apakah ini gambaran dari para pekerja disini, seorang jurnalis? Menyeramkan.

(namakamu) sejenak mengotak-atik ponselnya. Menghubungi Iqbaal untuk menjemput keberadaannya saat ini.

Tung... Satu buah pesan balasan dari Iqbaal.

 'Naik ke lantai 4. Ruang 5b.'

(namakamu) berdecak. Memiringkan bibirnya kesal. hampir saja ia akan membanting ponselnya. Laki-laki itu benar-benar menjengkelkan. Tidak bisa kah ia turun sejenak menjemput (namakamu), lalu kembali bekerja. Untuk melakukan hal itu tidak akan menghabiskan waktu berjam-jam bukan?
Dengan langkah menghentak kesal dan pandangan kebingungan, (namakamu) mencari keberadaan lift. Dimana?

“Ada yang bisa saya bantu?”

Pertanyaan itu membuat (namakamu) merasakan terpaan angin surga saat ini.

“Saya mau ke lantai 4, ruang 5b,” jawab (namakamu) seraya tersenyum.

“Oh, kebetulan itu ruangan saya juga. Mari ikut saya,” ajaknya sopan. Seorang pemuda bertubuh besar dengan raut wajah yang ramah itu kini berjalan mendahului (namakamu), sementara
(namakamu) mengekor dari belakang.
“Ada perlu apa? Atau... mau bertemu dengan siapa?”

“Saya ada perlu dengan Iqbaal, saya temannya,” jawab (namakamu).

“Ohhh... Iqbaal? Mahasiswa-”

“Iya,” sela (namakamu) dengan respon cepat

Ting... Pintu lift terbuka, (namakamu) dan laki-laki itu. Entah siapa namanya, karena laki-laki itu belum menyebutkan namanya, berjalan beriringan melalui beberapa orang yang berlalu-lalang membawa berkas dengan id-card yang menggantung. Mungkin itu karyawan disini.
“Tuh orangnya.”

Laki-laki itu menunjuk Iqbaal yang kini tengah duduk menghadap meja kerjanya seraya menggerak-gerakan jari di atas keyboard komputer.

“Terima kasih.”
(namakamu) tersenyum dan mengangguk sopan. “Oh iya, saya (namakamu).”

(namakamu) mengulurkan tangan kanannya.
“Kiky, panggil aja Bang Kiky. Saya pembimbing Iqbaal waktu magang dulu.”

“Oh ya?”
“Ya, tapi sekarang dia udah jadi rekan kerja saya.”

Kiky terkekeh. Lalu mempersilahkan (namakamu) untuk memasuki ruangan kerjanya.
“Terima kasih sekali lagi,” ucap (namakamu) sebelum meninggalkan Kiky untuk menghampiri meja kerja Iqbaal.
(namakamu) mengayunkan kakinya dengan gerakan sedikit pelan, ragu. Apakah Iqbaal tidak akan merasa terganggu jika (namakamu) ada di sini?
“Artikel-artikelnya ada di loker nomor 2.”
(namakamu) tersentak, Iqbaal sudah menyadari keberadaannya ternyata, padahal (namakamu) mencoba melangkah mengendap-ngendap tadi. Tanpa mempersilahkan (namakamu) untuk duduk terlebih dahulu, Iqbaal sudah menunjukan tangannya pada loker di belakang sana.
Bruk... Tiga map berisi artikel itu sudah (namakamu) letakan di atas meja kerja Iqbaal. Kini (namakamu) meraih satu buah bangku bundar tanpa sandaran, duduk di samping Iqbaal.
“Baca artikelnya.”
Iqbaal berucap tanpa sedikitpun menoleh.
(namakamu) mendesah. Mulai membuka map pertama yang sedikit berdebu, membuat hidungnya gatal dan menghasilkan bersin beberapa kali. Tiba-tiba tangan Iqbaal menyodorkan kotak tisue di hadapan (namakamu).
“Makasih,” ucap (namakamu) dengan senyum tipisnya.

“Mmmm.”

Iqbaal hanya bergumam. Tapi... Gumaman itu membuat senyum (namakamu) semakin lebar.
Satu lembar...
Dua lembar...
Tiga lembar...
Empat lembar...
Hingga lembar kelima, (namakamu) menghentikan aktivitasnya. (namakamu) menguap, lagi-lagi. Suasana ruangan yang begitu serius, hanya terdengar suara ketikan-ketikan keyboard, dan sesekali suara seorang Ofice Boy memasuki ruangan mengantarkan pesanan kopi.
'Ini membosankan.'
(namakamu) menatap sekeliling. Beginikah cara orang-orang ini bekerja?

“Lo gak bosen diem disini?” tanya (namakamu) menopang pipi kirinya, kini wajahnya miring menatap wajah Iqbaal.

Iqbaal menggeleng.
“Oh ya? Lo gak bosen?” tanya (namakamu) lagi. Pertanyaan kedua (namakamu) lagi-lagi hanya mendapatkan gelengan dari Iqbaal. (namakamu) berdecak kesal. Tidak kah Iqbaal ingin menjawab pertanyaan (namakamu) dengan sebuah penjelasan atau apapun itu? Menyebalkan. (namakamu) kembali meraih satu lembar kertas, kertas ke-enam yang ia akan baca.
“Sesekali gue juga disuruh ngeliput keluar kantor. Tapi karena sering bentrok sama jadwal kuliah, jadi gue sekarang cuma dikasih tugas nulis hasil laporan berita atau ngedit tulisan.”
Senyum (namakamu) mengembang mendengar pernyataan Iqbaal. Akhirnya, laki-laki itu bersuara juga. Itu sudah cukup. (namakamu) tidak mengharapkan lebih.
(namakamu) kembali menopang pipi kirinya untuk menatap wajah Iqbaal, menatap wajah Iqbaal dari samping kiri. Lukisan siluet seorang pemuda yang begitu sempurna. Keningnya, matanya, bulu matanya, hidungnya, bibirnya, dagunya, hingga lehernya yang sesekali berdenyut menelan air liur.
'Mengapa semua begitu sempurna?' Senyum (namakamu) kembali mengembang.
“Ada yang mau lo tanyain?”
Tiba-tiba wajah Iqbaal menoleh, menatap (namakamu). Memergoki (namakamu) yang tengah menatap Iqbaal dengan wajah bodohnya.
(namakamu) tersentak, dengan cepat membuang pandangannya, mengibas-ngibaskan tangannya tak karuan. Kembali meraih kertas artikel yang baru saja akan ia baca tadi. Sementara Iqbaal kembali tenggelam dalam pekerjaannya, pekerjaan yang membosankan.
Kembali hening...
Entah berapa puluh artikel yang selesai (namakamu) baca saat ini.

“Sshhh...”

(namakamu) mendesis, menegakan tubuhnya yang sedaritadi membungkuk. Menggerakan lehernya kekiri dan kanan bergantian. Memukul pinggangnya berkali-kali. Mungkin gadis itu merasa pegal.
Deritan kursi terdengar ketika Iqbaal bangkit, menggeserkan kursinya. “Sini kursinya,” ucap Iqbaal.
“Ha?”

(namakamu) menatap Iqbaal, menengadahkan wajahnya, tidak mengerti.

Hhh... Iqbaal menggelengkan kepalanya. Jari telunjuknya bergerak-gerak. Mungkin itu kode, memerintahkan (namakamu) untuk bangun dari duduknya. Untuk saat ini (namakamu) mengerti, gadis itu bangkit dari duduknya seraya memegangi pinggang. Iqbaal menarik kursi bundar yang (namakamu) duduki dan menggeser kursi miliknya ke belakang tubuh (namakamu). Setelah itu Iqbaal kembali duduk. Kali ini dengan kursi yang bertukar.
(namakamu) masih bergeming. Masih berdiri menatap Iqbaal yang kini kembali menyelesaikan pekerjaannya. Apakah Iqbaal menukarkan kursinya agar (namakamu) bisa duduk bersandar? Senyum (namakamu) kembali menghiasi wajahnya. (namakamu) kembali duduk, tatapannya masih tidak lepas menatap wajah Iqbaal.
Wajah laki-laki yang ia sukai.
'Andai lo tahu. Betapa bahagianya gue ketika pertama kali lo mau natap mata gue lagi. Betapa bahagianya gue ketika lo mau ngomong sesuatu sama gue.'
'Andai lo tahu. Kalau gue kangen sama lo.'
'Andai lo tahu... Semua yang ada di hati gue... buat lo. Andai...'
Iqbaal menoleh. Menatap (namakamu), untuk kedua kalinya (namakamu) tertangkap basah menatap wajah Iqbaal. Kembali gadis itu kelabakan. Tunggu! Kali ini, Iqbaal memergoki mata (namakamu) sedikit berair. Kenapa? Ada apa dengan gadis itu?
Bruk... Tiba-tiba map berisi artikel itu berhamburan di lantai. Keduanya menoleh. Apa lagi ini? (namakamu) mendesah. (namakamu) tidak merasakan ada angin kencang memasuki ruangan ini, namun kenapa tumpukan kertas-kertas itu bisa berhamburan di lantai? Dengan kesal (namakamu) bangkit dan bergerak memunguti satu persatu ratusan lembaran kertas itu.
Iqbaal terdiam. Ia tahu, ia mengerti. Tanpa menghiraukan (namakamu) yang kini tengah sibuk, ia kembali melanjutkan pekerjaannya.
“Lo mau gue pesenin makanan? Tulis aja, nanti gue telepon OB buat kesini.”
“Mmmm.”

(namakamu) hanya bergumam, masih memunguti kertas-kertas sialan itu.

***
Iqbaal mendorong pintu lobi. Mempersilahkan (namakamu) untuk keluar terlebih dahulu, karena gadis itu kini tengah mendekap map yang artikel, artikel yang belum ia selesaikan tadi. Tidak mungkin jika (namakamu) mendorong pintu sendiri. Semoga Bella mengerti-_-.
Wajah (namakamu) menengadah ke atas. Ternyata sudah gelap. Padahal ia berdiam di tempat ini dari siang hari, sekarang... (namakamu) menatap jam tangannya, sudah pukul 7 malam. Berarti, seharian ini (namakamu) menghabiskan waktu bersama Iqbaal.
'Aaaaa! Adakah sesuatu yang lebih membahagiakan dari pada ini?'
(namakamu) senyum-senyum sendiri. Tanpa disadari, entah berapa kali dan bahkan setiap kali, Iqbaal selalu mendengar apa yang ia jeritkan di dalam hatinya.
Tiiiiin... Suara klackson motor itu terdengar bising dan menjengkelkan. Motor ninja hijau yang kini berhenti memotong langkah (namakamu) dan Iqbaal.
“Hai!”
Si pengendara membuka helmet yang ia kenakan. Mengibas-ngibaskan rambut untuk membereskan kembali posisi poninya.
“Aldi?” pekik (namakamu).

“Gue anter pulang,” ucap Aldi, membuat kening Iqbaal berkerut.

“Lo gak akan nganterin (namakamu) pulang kan Baal?”

Aldi mengangkat kedua alisnya, sungguh membuat Iqbaal terlihat sebal. “Gue gak mungkin biarin (namakamu) naik angkutan umum malam-malam gini, makanya gue datang buat jemput dia,” lanjut Aldi.

Hhhh... Benar. (namakamu) kini baru ingat, Iqbaal tidak mungkin memboncengnya untuk mengantarkan dirinya pulang kan?

“Yok.”

Aldi menarik pangkal lengan (namakamu), karena kedua lengan gadis itu masih mendekap map, membuat (namakamu) bergerak mendekat. Aldi tidak langsung memerintahkan (namakamu) untuk segera naik, karena kini ia tengah sibuk membuka jaketnya. “Pake ini,” ucap Aldi seraya menyerahkan jaket miliknya pada (namakamu).
(namakamu) tersenyum, menyerahkan map yang ia dekap untuk Aldi pegang, sementara ia memakai jaket pemberian Aldi.
Iqbaal masih berdiri dengan tatapan cuek, seolah tidak perduli dengan tingkah dua makhluk di hadapannya itu.
Brum... Hanya beberapa menit kemudian motor itu sudah melaju kencang dan menjauh. Tanpa pamit, tanpa mengucapkan 'kita duluan, Baal'. Atau apapun itu hanya sekedar basa-basi, menyebalkan.
Langkah Iqbaal terayun, tangannya bergerak merogoh saku celananya. Tunggu! Earphone? Iqbaal membuka isi tasnya, mengaduk isi di dalamnya.
“Sialan!” umpatnya kesal. “Pasti ketinggalan di atas!”

Dengan cepat Iqbaal kembali memutar tubuhnya, melangkahkan kakinya dengan tergesa untuk kembali ke dalam gedung.

Tap... Tap... Tap... Setelah keluar dari dalam lift, Iqbaal berlari menuju ruangannya. Membuka pintu ruangan, melihat masih ada beberapa karyawan lain yang masih menyelesaikan pekerjaannya.
“Kenapa, Baal?” tanya Kiky. Seniornya itu ternyata belum pulang.
“Ada yang ketinggalan, Bang,” jawab Iqbaal seraya berlari menuju meja kerjanya.

“Ini ya?”

Kiky mengangkat sebuah ponsel dengan softcase berwarna pink.

“Hhhh...”
Iqbaal mendesah, bukan kah itu ponsel milik (namakamu)? Ternyata gadis itu melupakan ponselnya.
“Gue nemu ini tadi di meja lo. Gue simpen takutnya ilang. Lo suka warna pink ternyata.”
Kiky terkekeh, seraya menyerahkan ponsel itu pada tangan Iqbaal.
Iqbaal meringis. Bagaimana bisa Kiky berpikir seperti itu? Jelas saja ini bukan ponsel miliknya, tapi milik... Gadis itu. Hhhh... Iqbaal harus mengembalikan ponsel itu... Besok. Ya, lebih baik besok. Saat ini Iqbaal akan segera pulang.
Tangan Iqbaal meraih earphone yang berada di atas meja kerjanya, meja kerja yang berantakan karena gulungan dan remukan-remukan kertas. Kertas-kertas itu berisi artikel gagal yang (namakamu) coba buat tadi. Iqbaal meraihnya satu-persatu. Membuka remukan-remukan kertas itu, membaca isinya.
Iqbaal terkekeh sendiri, “dasar penulis amatir!”
Namun Iqbaal tertegun ketika, gulungan kertas kedua dalam genggamannya terbuka.
“Ini bukan karena aku mencintai kamu, tapi karena aku 'hanya' mencintai kamu. Jika bukan kamu, aku tidak akan punya siapa-siapa yang aku cintai. Karena ternyata aku hanya mencintai kamu.
Aku tidak tahu kenapa aku berbuat seperti ini. Aku juga tidak tahu kenapa aku bersikap seperti orang bodoh saat ini. Meskipun kamu menghindar, tapi aku ternyata tetap mencintai kamu. Tidak peduli apa yang kamu lakukan, aku akan tetap menyukai kamu. Tidak peduli apa yang kamu perbuat, aku tetap mencintai kamu.
Andai kamu tahu...”
***
(namakamu) membuka pintu rumahnya. Rumah yang ia huni seorang diri. Semua ruangan masih gelap, jelas saja, (namakamu) baru pulang.
Brak... Suara gebrakan itu membuat (namakamu) tersentak. Map yang berada dalam dekapannya nyaris terjatuh. Pintu depan yang ia buka tadi, lupa ia tutup? Pikun. Mungkin kini pintunya tertutup sendiri akibat dorongan angin. Lagi-lagi (namakamu) menyalahkan angin.
Langkah lemas (namakamu) bergerak mendekati saklar lampu.
Trek... Berkali-kali (namakamu) menekan 'on' namun lampu tidak kunjung menyala. Ada apa ini? Kuota nyala lampu sudah habis? (namakamu) mendesah, ruang tamunya akan gelap untuk satu malam ini.
Langkahnya lemasnya kembali terayun menaiki anak tangga. Tangannya bertopang pada pagar tangga.
Srttt... Srttt...
(namakamu) menoleh. Suara apa itu? Hhhh... mungkin telinganya juga ikut merasakan kelelahan seharian ini, sehingga ia mendengar hal yang sebenarnya tidak ada. (namakamu) kembali melangkah menaiki anak tangga.
Srttt... Srttt...
(namakamu) membalikan tubuhnya dengan cepat. Tangannya mulai berair. Untuk kedua kalinya suara itu kembali terdengar. Seperti suara langkah terseret. Apakah ada seseorang yang mengikuti (namakamu) saat ini? Atau... Jangan-jangan, ada perampok memasuki rumah (namakamu) saat ini?
Kini (namakamu) melangkah mundur. Tatapannya terarah pada bagian bawah anak tangga. Akan kah suara itu terdengar lagi?

Srttt... Srttt...
 Ternyata suara itu semakin terdengar nyaring. Semakin mendekat. Keringat di kening (namakamu) mulai membanjir.

Langkah (namakamu) terhenti. Harus kah ia tetap naik? Atau kembali turun dan berlari keluar?
Srttt... Srttt...

 Ketika suara itu terdengar lagi, tanpa sadar langkah (namakamu) kini terayun dengan cepat, bergerak menuruni anak tangga. Berlari menuju pintu luar, melewati ruang tamu yang tidak bercahaya sama sekali.

Crek. Gagang pintu sudah (namakamu) tekan sekuat mungkin, namun pintu tidak terbuka.
Brak... Brak... Berkali-kali (namakamu) mendorong dengan kencang. Bahkan menendangnya. Namun pintu itu tetap tidak terbuka. Map artikel sudah tidak berada lagi dalam dekapannya lagi, jatuh berserakan di bawah lantai.

Srttt... Srttt... Suara langkah terseret itu semakin terdengar nyaring, dan terkesan mendekat. (namakamu) masih berusaha membuka pintu, mendorong dan menggebrak-gebrak pintu dengan kencang.

Srttt... Srttt... Suara itu kembali terdengar mengerikan. Namun kali ini disertai dengan bayangan hitam yang menghampiri (namakamu). Bayangan itu semakin terlihat membesar, dan... Mendekat... Mendekat...
“Aaaaa!!!”

Brak... Pintu terbuka. Namun lutut (namakamu) sudah melemas dan duduk terjatuh bersimpuh di ambang pintu seraya menutupi permukaan wajahnya.
“(namakamu)?!”
Bersambung..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar