Senin, 29 Juni 2015

.....

Hai.
Sori ya.
*pasangmukamenyesal*
 aku gabisa repost Ballerina's Bride dulu._. Tadi itu udah bisa tapi tiba-tiba ..... hh, sudahlah.
Maaf ya._.
Ntar aku repost lagi cerbung yang lain:3

Minggu, 28 Juni 2015

~ !!!

Haii ._.
Aku cuma repost dari FP Makcit ya, sama beberapa FP lain.
No bully yaa'-'
Rencananya nanti aku mau repost Ballerina's Bride.
Wait .... ~

Eyes Voice [Citra Novy] Part 10

Pengarang: Novy Citra
@CitraNovy
FP: Citra's Slide
.
No bully just repost.

~

“Eyes Voice”
Part 10
_______

'Kamu mencintai aku? Apa kamu benar-benar mencintai aku? Ketika aku lihat (namakamu) hampir saja mati, aku merasakan aku benar-benar akan ikut mati. Jika aku bisa, aku akan menggantikannya untuk mati. Itu yang aku rasakan ketika aku benar-benar mencintai (namakamu). Dan sekarang, kamu meminta aku ikut mati, dengan alasan kamu mencintai aku? Apa itu yang namanya cinta?' ucap Iqbaal. Membuat Bella terdiam, menatap Iqbaal dengan rahang yang bergetar.
'Aku mencintai (namakamu), aku mohon. Aku benar-benar mencintai (namakamu).'
'Kamu udah janji sama aku. Kamu gak akan pernah sentuh gadis lain selain aku. Kamu bohong! Tapi aku masih bisa maafin kamu.'
Bella menghentak-hentakan setiap kata yang ia suarakan. 'Kamu pernah bilang sekalipun ajal gak akan pernah bisa memisahkan kita! Kamu bohong! Aku tetap tetap masih ada disini itu karena janji kamu!'

 Bella berteriak kencang, seolah berusaha mengeluarkan seluruh isi yang menjejali dadanya.
Iqbaal tertegun. Laki-laki itu hanya mampu terdiam, 'maaf,' gumam Iqbaal.

'Maaf? Dan sekarang?'

'Sekarang... Aku mencintai (namakamu).'

 Iqbaal menatap (namakamu) yang masih terisak di samping tubuhnya, 'aku benar-benar ingin memeluk dia sekarang.'

Bella meringis, terlihat dari wajahnya. Sepertinya Bella terlihat tengah merasakan kesakitan mendengar Iqbaal mengucapkan kalimat itu. 'Bilang kalau kamu cinta sama aku!' bentak Bella di sela ringisannya.

'Kamu kenapa?' tanya Iqbaal, menatap Bella yang kini terpejam dengan wajah kesakitan.

'BILANG KALAU KAMU CINTA SAMA AKU!!!'

 Bella berteriak seolah ingin seisi dunia mendengarnya.
Iqbaal menggeleng, 'aku mencintai (namakamu).'

'Eghhh.'

 Bella melenguh kencang. 'Jangan biarin aku pergi tanpa kamu.'
Bella melangkah mendekati Iqbaal, namun Iqbaal menjauh.
'Maaf,' gumam Iqbaal lagi. Lagi-lagi kata maaf keluar dari mulutnya.

'Aku akan hilang kalau kamu kembali ke dunia itu, aku akan benar-benar lenyap dari kehidupan
kamu jika kamu sungguh-sungguh memilih gadis lain. Aku mohon! Aku mohon sama kamu, Iqbaal!'
Bella bersimpuh dengan wajah menahan sakit.

'Bella... Aku mohon jangan siksa diri kamu seperti ini.'
Iqbaal menatap iba, Bella melakukan hal yang menyakiti dirinya sendiri demi meminta Iqbaal untuk bersamanya lagi. Karena janji konyol itu, janji Iqbaal yang keluar disaat malam itu.

'Iqbaal!!!'
________
Aku menatap seperti ada lubang-lubang cahaya yang terus menerobos masuk ke dalam kelopak mata ku. Aku merasakan kelopak mataku mampu untuk terangkat dan terbuka. Telingaku mulai menerima suara-suara pelan di sekelilingku. Suara tangisan itu. Tangisan yang semalaman ini aku dengar dalam ketidaksadaranku. Aku bisa mendengarnya dengan jelas saat ini.
Aku bisa kembali membuka mata ku, aku bisa kembali membuka telingaku. Namun... Aku masih takut. Aku takut melihat sesuatu yang tidak ingin aku lihat, aku takut mendengar lagi segala sesuatu yang tidak ingin aku dengar. Aku takut menerima semua keganjilan itu. Aku berharap ketika aku bangun, aku menjadi seorang biasa tanpa embel-embel kemampuan yang sama sekali tidak aku inginkan.
Hanya satu yang ingin aku lihat. Hanya satu yang ingin aku dengar. (namakamu)... Gadis itu. Aku berharap ketika aku membuka mataku, gadis itu adalah orang pertama yang aku lihat, dan suara gadis itu yang pertama memekik menyaksikan aku terbangun. Aku mohon Tuhan... Aku tidak menginginkan hal lain... Selain gadis itu.
Aku mohon...
_______
“Baal?”
(namakamu) merasakan jemari Iqbaal yang berada dalam genggamannya bergerak. “Baal? Kamu bangun?”
(namakamu) berharap gerakan tadi bukan halusinasi (namakamu), atau hanya gerakan hypnic jerk Iqbaal ketika masih dalam keadaan tidak sadarkan diri saat ini.
“Baal? Gerakin lagi tangan kamu,” pinta (namakamu) dengan suara lirih. (namakamu) menatap lekat-lekat jemari Iqbaal. Tidak, tidak ada gerakan lagi. Apakah (namakamu) berhalusinasi? Karena (namakamu) sangat mengharapkan Iqbaal untuk bangun saat ini.
“Nghhh.”
Suara lenguhan pelan. Suara itu! (namakamu) tersentak, kali ini (namakamu) benar-benar merasakan dirinya dalam keadaan sadar. Iqbaal, ya! Iqbaal tadi melenguh pelan.
“Baal?”
Senyum (namakamu) mengembang, memencet tombol darurat agar perawat segera datang untuk melihat keadaan Iqbaal saat ini.
***
“Iqbaal beneran sadar?” tanya Bastian dengan wajah antusias.
Bastian, Aldi, dan Salsha kembali datang untuk melihat keadaan Iqbaal. Menerima kabar dari (namakamu), ketiga sahabatnya itu bergegas untuk kembali datang ke rumah sakit. Mereka saat ini masih berkumpul di luar kamar pasien, karena saat ini Iqbaal tengah diperiksa oleh dokter dan 2 perawat lain di dalam sana.
“Syukur kalau gitu.”
Salsha memasang wajah lega. Mendekap (namakamu) dari samping. Salsha bisa merasakan perasaan lega (namakamu) saat ini.
“Gue berharap, ketika dia sadar. Dia...”
(namakamu) menggantungkan kalimatnya. Lalu menggeleng. Harapannya terlalu muluk. (namakamu) tidak mau berharap berlebihan, berharap Iqbaal menerima (namakamu) dengan baik. (namakamu) takut ketika kembali masuk kedalam ruangan, Iqbaal sama sekali tidak mau dihampiri. Jangankan untuk dihampiri, menatap (namakamu) saja Iqbaal tidak mau.
“Jangan mikir yang enggak-enggak.”
Salsha mengeratkan dekapannya. (namakamu) mengangguk, tersenyum tipis.
“Silahkan, pasien sudah boleh dikunjungi sekarang.”
Seorang pria berbaju putih keluar dari kamar Iqbaal, disertai dengan dua perawat lain yang menghambur keluar.
“Terimakasih, dok.”
Mereka berucap bersamaan. Setelah mendapat seutas senyum dan anggukan, keempatnya menghambur, berjejal pada pintu kamar.
“Baal?”
(namakamu) berhasil menyelipkan tubuhnya dan masuk terlebih dulu. Iqbaal menoleh, menatap (namakamu) dengan wajah datar, tanpa menggambarkan ekspresi apapun.
“Lo udah bangun?”
Sapaan lembut dengan suara lirih. (namakamu) menghampiri Iqbaal yang masih terbaring, namun kali ini mata Iqbaal sudah terbuka. Perban di kepala dan collar neck masih ia kenakan. Hanya mask oksigen yang kini sudah ditanggalkan dari wajahnya.
“Gimana gue gak bangun? Lo nangis terus di samping gue, berisik tahu gak?! Bikin gue gak bisa istirahat. Bikin gue terpaksa bangun.”
Iqbaal mendelik kesal ke arah (namakamu). Aldi, Salsha, dan Bastian masih bergeming. Menatap dua makhluk yang tengah berbincang dengan canggung, itu membuat mereka terpaksa membungkam mulutnya.
“Maaf,” lirih (namakamu) dengan suara bergetar. Air matanya sudah berderai hebat. Menatap Iqbaal yang kini terbangun, dapat berbicara lagi, mengomel lagi. Tidak ada yang bisa menggambarkan perasaan (namakamu) saat ini.
“Maaf? Buat apa?” tanya Iqbaal dengan wajah dingin.
“Maaf bikin lo berisik.”
“Jangan nangis, gue gak suka,” ucap Iqbaal masih dengan sikap dinginnya.
“Maaf,” lirih (namakamu) lagi. Gadis itu menyeka air matanya yang sudah mengalir deras, nyaris membentuk aliran sungai pada pipinya.
“Chhh. Maaf lagi. Tangisan lo yang bikin gue berusaha bangun. Gue berusaha bangun untuk berhentiin tangisan lo. Gue bangun biar gue bisa meluk lo, biar lo gak nangis lagi. Gue benci denger lo nangis. Gue gak mau liat lo nangis.”
“Baal?”
Tangis (namakamu) yang sengaja ia bendung kini kembali membludak. (namakamu) merasakan lututnya lemas, gadis itu jatuh terduduk. Ucapan Iqbaal tadi membuat (namakamu) tidak mampu menopang berat badannya lagi. Gadis itu kembali menangis sejadi-jadinya.
“(namakamu)? Lo ngapain di situ? Gue gak mungkin nyamperin lo dalam keadaan kayak gini, kan? Peluk gue, cepet!”
(namakamu) mengangkat wajahnya. Dengan sisa tenaganya ia kembali berdiri, melangkahkan kakinya menuju tempat Iqbaal kini berbaring. (namakamu) menghantamkan tubuhnya pada dada Iqbaal, membuat laki-laki itu sedikit meringis kesakitan karena gerakan (namakamu) menekan--bahkan menghantam luka-lukanya.
(namakamu) menumpahkan semua tangisnya pada dada Iqbaal. Rasa khawatir, rasa takut, rasa sakit, semuanya tumpah, menghilang, menguap bersama air matanya yang kini keluar dengan deras menyertai erangan-erangan pelannya.
“Lo tahu? Ketika lo nangis, gue seperti bisa ngerasain sakit yang lo rasain, bahkan gue ngerasa lebih sakit liat lo nangis. Janji sama gue jangan nangis lagi.”
Dengan selang infus yang masih menempel di lengan kanannya, Iqbaal mencoba mendekap (namakamu). Melingkarkan lengannya untuk merengkuh tubuh gadis yang ia rindukan. Sungguh Iqbaal sangat merindukan (namakamu) saat ini. Iqbaal sudah mengira bahwa dirinya tidak mampu mendekap (namakamu) seperti ini lagi. Namun ternyata Tuhan masih memberikan Iqbaal satu kesempatan.
Bodoh jika ia terus melakukan hal untuk menepati janjinya pada Bella. Bodoh jika ia melakukan hal yang akan membunuh dirinya sendiri. Jika itu terjadi, ia akan meninggalkan (namakamu), selamanya. Tidak bisa meraih tubuh gadis itu lagi dalam dekapannya. Janji bodoh itu. Bella...
Iqbaal mengedarkan tatapannya. Bella? Mana makhluk itu? Apa ia sudah menghilang? Apa Iqbaal tidak akan melihat Bella beserta makhluk-makhluk lain yang mengerikan? Iqbaal memejamkan matanya, telinganya terdengar hening. Tidak ada teriakan ataupun suara-suara yang selalu mengganggu telinganya saat ini. Apa kemampuannya itu sudah benar-benar menghilang? Iqbaal sangat berharap seperti itu.
“(namakamu)?” panggil Iqbaal dengan suara pelan. (namakamu) hanya menjawabnya dengan gumaman tidak jelas bercampur tangisnya yang masih berlanjut.
“Kenapa kayaknya gue nyium bau-bau gak enak? Lo belum mandi ya? Rambut lo bau.”
Iqbaal berusaha menutup hidung dengan mengangkat bibir atasnya.
“Masa sih?”
(namakamu) meraih rambutnya, mencium bau rambutnya sendiri. “Iya, gue belum mandi,” jawab (namakamu) dengan wajah cemberut.
“Gak apa-apa. Cinta gue sama lo mengalahkan segalanya.”
Ucapan Iqbaal membuat (namakamu) sedikit terkekeh.
Iqbaal kembali mengeratkan lingkaran lengannya, memejamkan matanya, seolah ingin menikmati waktu ini berdua, hanya berdua. Sama sekali tidak menghiraukan tiga makhluk--Salsha, Bastian, dan Aldi-- yang bergeming menatap tingkah mereka berdua. Dunia serasa milik berdua? Ungkapan jadul yang norak itu ternyata memang benar adanya. Ketika sedang jatuh cinta, dunia serasa milik berdua. Itu benar, tidak pernah salah.
***
Iqbaal duduk dengan bersandar. Ranjang pasien sudah di bentuk agak tegak, dibantu oleh bastian agar Iqbaal bisa duduk bersandar. Salsha kini duduk pada kursi yang berada di samping ranjang. Sedangkan Bastian tengah selonjoran, ehmmm.. Bukan, bukan. Bastian tengah terbaring di atas sofa yang terletak di belakang samping Salsha, dengan sebelah kaki yang terangkat ke atas sandaran sofa.
(namakamu)? Aldi? Aldi tengah mengantar (namakamu) pulang, mengantar gadis itu untuk mandi, makan, dan berganti pakaian di rumahnya. Nanti Aldi akan membawa (namakamu) kembali untuk menemani Iqbaal.
Tiga orang itu kini tengah menatap layar televisi yang sedari tadi mengoceh. Televisi yang merupakan sarana yang diberikan diruang rawat inap yang Iqbaal tempati saat ini.
“Aldi nganter (namakamu) pulang. Lo gak takut, Baal?”
Bastian melirik ke arah Iqbaal. Duh... Entah mengapa jika Iqbaal menatap wajah Bastian, emosi di dalam dadanya seketika bangkit.
“Maksud lo?”
Malah Salsha yang kini lebih tertarik menanggapi ucapan Bastian.
“Ya... Kan Aldi sempet suka sama (namakamu)-”
“Apa?”
Mata Salsha membulat, mulutnya juga ikut membulat membentuk lingkaran kekagetan. “Aldi?”
“Iya, Aldi sempet suka sama (namakamu). Ya kan, Baal?”
Lagi-lagi Bastian ingin Iqbaal yang berkomentar tentang celetukannya yang menyebalkan.
“Mmmm...”
Iqbaal bergumam malas.
“Kok gue bisa gak tahu?” desis Salsha seraya mencopot kacamata minusnya. Aldi begitu rapi menyembunyikan bahwa dirinya menyukai (namakamu). Ia baru ingat, kutipan yang pernah ia baca dalam sebuah buku, 'tidak pernah ada persahabatan yang murni antara seorang laki-laki dan perempuan.' Seperti yang sempat Salsha rasakan pada Aldi, tidak tulus sebagai sahabat. Tapi...
“Bisa aja Aldi sekarang nembak (namakamu), ya kan? Terus (namakamu) terima Aldi, karena (namakamu) gak mau punya pacar yang lehernya cacat.”
Bastian mendelik menatap collar neck yang masih Iqbaal kenakan.
“Sialan ya lo!” bentak Iqbaal dengan volume tinggi, membuat Salsha menutup kedua daun telinganya. “Siapa bilang leher gue cacat?! Ini tuh cuma sebagai penyangga doang! Gue gak pake ini juga bisa!”
Kali ini Iqbaal terlihat sangat mengerikan. Tangannya bergerak melepas bahan keras yang melingkar di lehernya itu.
Bruk... Benda itu Iqbaal hempaskan pada wajah Bastian. Walaupun Bastian sempat meringis menerima timpukan collar neck itu, namun kini Bastian malah terkekeh nyaring, mendekati tawa terbahak.
Duh... Jika saja Iqbaal bisa bergerak bebas saat ini. Iqbaal ingin sekali mencekik leher Bastian. “Ssshhhh.”
Iqbaal meringis memegangi lehernya yang masih terasa berat.
“Tuh kan leher lo cacat,” celetuk Bastian lagi.
“Bass!”
Salsha yang juga merasakan kekesalan yang sama, kini memelototi bastian.
Pukh... Pukh...
Iqbaal meraih buah-buah yang berada di atas meja di samping kirinya. Menimpuki Bastian dengan buah-buahan itu. Membuat Bastian sesekali meringis, namun tawa menyebalkannya tetap terdengar.
“Sha?”
Iqbaal menghentikan tingkahnya ketika tatapannya sempat melihat Salsha mengusap pipinya. Salsha menangis? “Lo-lo kenapa Sha?” tanya Iqbaal, sedikit mencondongkan tubuhnya untuk menatap wajah Salsha.
Salsha menggeleng. “Gak apa-apa. Bau obat-obatan di sini bikib mata gue perih.”
Dan Iqbaal tahu jika itu bohong. Aldi? Apakah Salsha menyukai Aldi? Iqbaal menatap mata Salsha dalam-dalam. Akankah ada suara yang ia dengar? Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Hingga... Sepuluh detik kemudian. Hhhh... Iqbaal tidak mampu mendengar apapun memalui mata Salsha saat ini.
Drt... Drt...
Getaran ponsel Iqbaal yang berada di atas meja--disamping keranjang buah, tiba-tiba membuat fokusnya kabur.
Salsha meraih ponsel itu dan menyerahkannya pada Iqbaal. “Makasih, Sha,” ucap Iqbaal.
Gerakan menggeser telunjuk Iqbaal membuat sambungan telepon terhubung, “Hallo?”
'Hallo, Baal? Lo udah baikan?'
“Udah, Bang.”
'Syukur kalau gitu. Maaf gue belum bisa nengok, masih banyak kerjaan. Gue gak usah nengok aja apa ya? Gue langsung ketemu sama lo di kantor aja? Gimana?'
Iqbaal berdecak, “serah lo lah, Bang!” jawab Iqbaal malas.
Terdengar kekehan Kiky dari seberang sana, 'berkat lo, Varo akhirnya ditangkap. Dan sekarang Vero bebas.'
“Berkat gue?”
Iqbaal bertanya, linglung. Apa yang sudah ia lakukan memangnya sehingga Varo menggantikan posisi Vero saat ini?
'Iya, berkat lo. Karena Varo mukulin lo, dan polisi bisa mengungkap motif dia mukulin lo karena apa. Ternyata pengorbanan babak belur lo gak sia-sia, Baal. Selamat!'
Sialan, sialan. Jika saja kiki tahu, Iqbaal hampir saja mati. Hampir saja tidak bisa membuka lagi matanya. Hampir saja meninggalkan gadis yang ia cintai untuk selamanya. Saat ini Kiki malah memberikan selamat? Keterlaluan.
'Oh iya. Vero minta maaf atas nama Varo katanya.'
“Gue udah maafin kok, bang. Gue udah bisa bangun lagi juga gue udah bersyukur.”
'Lo cepet sembuh ya! Gue tunggu lo di kantor! Kerjaan lo numpuk nih!'
“Bang! Gue lagi sakit! Lo gak bisa prihatin sedikit sama gue? Lo malah ngomongin kerjaan sama orang yang baru bangun dari sekarat!”
Perkataan Iqbaal yang meledak-ledak malah membuat Kiky terkekeh kencang di seberang sana. Adakah hal yang lucu? Iqbaal berpikir keras. Seniornya itu memang sedikit aneh, mungkin karena terlalu banyak meliput kasus.
***
“Kita langsung ke rumahsakit?” tanya Aldi ketika melihat (namakamu) keluar dari dalam pagar rumahnya dengan sweater tersampir di bahu kanannya.
(namakamu) mengangguk. Menghampiri Aldi, hendak naik pada jok motor Aldi, namun gerakannya terhenti ketika Aldi menarik pelan lengannya.
“Gue sayang sama lo,” ucap laki-laki itu tanpa pendahuluan sama sekali. Ucapannya membuat (namakamu) tersentak.
Selama beberapa waktu ke belakang, (namakamu) mengetahui bahwa Aldi menyukainya, namun Aldi sama sekali tidak pernah memberanikan dirinya untuk mengatakan hal itu. Tapi ternyata... Untuk saat ini, ketika Iqbaal sudah melakukannya terlebih dahulu, Aldi mengungkapkan kalimat itu?
“Gue gak ada maksud apa-apa, sama sekali. Gak pernah ada niat gue buat rebut lo dari Iqbaal untuk saat ini. Gue cuma mau, lo tahu perasaan gue. Itu aja,” ucap Aldi lagi. Senyumnya tersungging tipis. Setelah itu Aldi kembali memasukan kunci motornya.
“Lo baik. Pasti ada gadis baik yang bisa tulus sayang sama lo. Percaya sama gue.”
(namakamu) melingkarkan lengannya pada pundak Aldi, memeluk laki-laki itu dari arah samping. (namakamu) bisa merasakan bagaimana perasaan Aldi saat ini. (namakamu) tahu persis apa yang tengah Aldi rasakan, karena ia juga pernah mengalaminya. Dulu. Dulu ketika menatap Iqbaal mendapatkan cinta Bella.
“Jangan takut kalau lo merasakan sakit yang luar biasa, suatu saat lo bakal ngerasain kebahagiaan yang luar biasa. Karena kebahagiaan akan datang sebanyak kesakitan yang kita rasakan,” ujar (namakamu). Ia memperoleh kata-kata itu dari seorang laki-laki yang ternyata perkataannya terbukti.
Aldi mengangguk. “Semoga,” ucapnya pelan.
***
“Aldi ngomong apa sama kamu tadi?” tanya Iqbaal tiba-tiba.
“Hm?”
(namakamu) yang tengah duduk di samping Iqbaa, bersandar pada pangkal lengan Iqbaal, kini mengangkat wajahnya untuk menatap Iqbaal, tidak mengerti.
“Aldi ngomong apa selama di perjalanan nganter kamu tadi?” ulang Iqbaal.
Iqbaal berani untuk bertanya seperti itu karena kini Aldi tengah keluar mencari makanan bersama Salsha, meninggalkan satu makhluk lagi yang tengah tergeletak di sofa. Bastian. Laki-laki itu tidak ikut, lebih memilih menjadi obat nyamuk bakar yang menemani Iqbaal dan (namakamu).
(namakamu) menggeleng. Lalu kembali menyandarkan kepalanya pada lengan Iqbaal.
Iqbaal menarik dagu (namakamu). Mengharuskan mata gadis itu menatap matanya, lagi. “Kamu lupa kalau aku bisa baca apa yang ada di sini.”
Iqbaal menunjuk-nunjuk kening (namakamu), memebuat (namakamu) mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali.
“Aldi cuma bilang kalau dia sayang sama aku. Gak lebih. Dia cuma pengen aku tahu. Cuma itu,” jawab (namakamu), setelah itu kembali menenggelamkan kepalanya pada lengan Iqbaal.
“Salsha kayaknya suka sama Aldi.”
Tiba-tiba Iqbaal menarik Salsha dalam kalimatnya. Masalah Salsha yang terlihat sedih tadi siang. Iqbaal masih memikirkan hal itu.
“Aku tahu. Itu juga salah satu alasan aku pura-pura gak tahu kalau Aldi suka sama aku.”
“Tahu? Kamu tahu?”
Oh Tuhan, makhluk yang bernama wanita itu, mengapa selalu peka? Selalu mengerti dan paham atas situasi di sekitarnya? Sehingga ia tahu bagaimana cara untuk menghadapi situasi sekitarnya. Itu salah satu kelebihan wanita yang tidak dimiliki pria, sepertinya. Itu kah alasan mengapa banyak pria yang kerap membuat kesalahan pada wanita tanpa disadari? Karena pria bukan makhluk peka. Sepertinya.
***
“Hhhh...”
(namakamu) menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur yang berada di dalam ruangan 6x6 itu. Iqbaal sudah diperbolehkan pulang dari rumahsakit. Maka hari ini Iqbaal sudah bisa kembali menempati kamar kosnya. Namun sebelum itu, (namakamu) harus membantu membersihkan kamarnya terlebih dahulu dan menyemprotkan pewangi ruangan karena ruangan yang sudah 3 hari tidak di tempati ini mulai tercium bau apek. Bagaimana tidak? Pakaian kotor yang harusnya dicuci dari berhari-hari yang lalu, Iqbaal biarkan menggantung di belakang pintu dan sisanya menumpuk di pojok kamar. Laki-laki.
“Capek ya?”
Iqbaal ikut membaringkan tubuhnya di samping (namakamu). (namakamu) menggeleng. Dan mendekatkan jaraknya dengan Iqbaal, menaruh kepalanya di atas lengan Iqbaal, menjadikan lengan Iqbaal sebagai alas kepalanya.
“Oh iya.”
Lengan kiri Iqbaal bergerak, meraih lipatan surat kabar di samping tempat tidurnya. “Baca ini deh,” ujar Iqbaal. Dalam posisi yang masih berbaring, Iqbaal membentangkan surat kabar itu, membuka halaman surat kabar yang ia maksud.
“Ini bukan karena aku mencintai kamu, tapi karena aku 'hanya' mencintai kamu. Jika bukan kamu, aku tidak akan punya siapa-siapa yang aku cintai. Karena ternyata aku hanya mencintai kamu.
Aku tidak tahu kenapa aku berbuat seperti ini. Aku juga tidak tahu kenapa aku bersikap seperti orang bodoh saat ini. Meskipun kamu menghindar, tapi aku ternyata tetap mencintai kamu. Tidak peduli apa yang kamu lakukan, aku akan tetap menyukai kamu. Tidak peduli apa yang kamu perbuat, aku tetap mencintai kamu.
Andai kamu tahu...”
“Apa-apaan nih?”
(namakamu) menolehkan wajahnya, menatap Iqbaal. Tulisan asal yang sempat (namakamu) coret-coretkan di atas kertasnya iseng pada saat di kantor Iqbaal--waktu itu, berjejal dengan artikel lainnya di dalam kolom surat kabar yang tidak seharusnya.
“Bang Kiky sempet protes kenapa ada artikel cinta di dalam surat kabar. Tapi setelah gue muat tulisan itu, jadi banyak yang kirim artikel yang berunsur cinta ke kantor. Jadi sekarang dibuka kolom khusus buat orang yang lagi pengen galau,” jelas Iqbaal diakhiri dengan kekehannya.
“Itu buat aku kan?” tanya Iqbaal yakin, seolah (namakamu) akan menjawab ya.
(namakamu) terdiam.
“Jawab (namakamu)!”
Iqbaal mencubit pelan pinggang (namakamu), membuat (namakamu) sedikit berjengit.
“Iya, iya. Itu buat kamu,” jawab (namakamu), kembali membenarkan posisi tubuhnya.
“Maafin aku, (namakamu).”
Iqbaal mendekap (namakamu), mengecup puncak kepala (namakamu) dengan lembut.
“Gak ada yang perlu dimaafin. Yang penting sekarang aku sayang sama kamu,” ujar (namakamu) dengan mata terpejam, menikmati dekapan Iqbaal, kecupan lembut Iqbaal. Membuat tubuhnya melemas dan tidak berdaya. -,-
“Harusnya aku tambahin satu paragraf lagi di tulisan itu.”
Iqbaal kembali menjauhkan jaraknya dengan (namakamu), agar dapat menatap gadis itu lagi.
“Apa?” tanya (namakamu) balas menatap Iqbaal.
“Seekor angsa akan mengikuti hal pertama yang mereka lihat semenjak mereka lahir sampai mereka mati. Dan saat pertama kali aku lihat kamu, aku merasa berubah menjadi seekor angsa. Mulai saat itu, aku memutuskan untuk gak perduli, apapun yang kau perbuat, aku masih akan menyukainya. Aku gak perduli siapapun yang kamu suka... Aku masih tetap suka sama kamu. Sampai aku mati...”
“Kamu?”
(namakamu) menggeserkan kepalanya, menjauhkan jaraknya dari Iqbaal saat ini, agar dapat menatap lebih jelas wajah Iqbaal.
“Aku hafal kata-kata itu. Aku selalu ingat di sini,” ucap Iqbaal memegangi dadanya. “Dalam keadaan gak sadar, aku bisa mendengar kamu mengucapkan kata-kata itu. Itu salah satu alasan aku untuk berusaha bangun. Alasan aku untuk tetap hidup. Aku ingin menjalani semuanya berdua sama kamu. Melakukan semuanya bareng kamu. Jalan bareng, ngobrol bareng, makan bareng, tidur bareng-”
Bugh... Satu kepalan kencang mendarat pada dada Iqbaal.
“(namakamu)! Sakit!”
Iqbaal meringis mengelus-elus dadanya sendiri.
“Tidur bareng?!”
(namakamu) melotot. Memasang wajah mengerikan.
“Ya itu nanti! Bukan sekarang. Nanti kalau kita... Uda nikah,” ucap Iqbaal sesekali meringis memegangi dadanya. Tanpa ia sadari ucapannya tadi membuat wajah (namakamu) terlukis noda merah. (namakamu) merasakan kedua pipinya memerah terpoles blush on alami.
“Kamu mau kan nikah sama aku?” tanya Iqbaal lagi, membuat wajah (namakamu) semakin tidak karuan.
“Kamu kan bisa baca pikiran aku? Tatap mata aku kalau kamu mau tahu jawabannya.”
“Hhhh... Ok.”
Iqbaal manggut-manggut. Mulai memfokuskan tatapannya pada satu titik. Mata (namakamu). Iqbaal menatap mata indah itu lekat-lekat. Menatapnya dalam-dalam.
Satu detik... Dua detik... Tiga detik... Hingga 10 detik berlalu, ternyata Iqbaal sama sekali tidak mendengar suara apapun. Mungkin doa Iqbaal terkabul, Iqbaal tidak lagi bisa melihat hal lain, tidak lagi bisa mendengar suara-suara itu lagi. Kali ini, Iqbaal malah merasakan perasaan aneh menyeruak ketika menatap (namakamu) dalam waktu selama ini dan dalam jarak sedekat ini.
“Kamu udah gak bisa baca pikiran aku kan? Sejak kepala kamu bocor karena dipukulin, kemampuan kamu hilang. Berarti kamu bohong dong sama aku kemarin. Tentang perasaan Aldi yang aku bilang sama kamu-”
Perkataan (namakamu) terhenti ketika tangan kanan Iqbaal kini menarik pinggang (namakamu) untuk menggeser mendekat, dengan tangan kirinya yang menahan tengkuk (namakamu), mengunci (namakamu) agar tidak bergerak. Menutup bibir (namakamu) dengan sentuhan lembut bibirnya. Iqbaal melakukan gerakan lembut itu dengan gerakan perlahan, membiarkan (namakamu) menikmati gerakannya tanpa paksaan. Membiarkan (namakamu) menikmati perasaan menggelitik yang saat ini juga Iqbaal rasakan.
Iqbaal melepaskan pagutannya, menatap sejenak (namakamu). Lalu bergerak perlahan, Iqbaal mengubah posisinya, tubuh laki-laki itu kini berada di atas (namakamu), dengan kedua sikut dan lutut yang menopang tubuhnya. Menatap (namakamu) lekat-lekat. Jika saja Iqbaal tahu saat ini bagaimana degupan jantung (namakamu) bertalu dengan cepat.
“Tanpa kamu jawab, tanpa aku bisa baca pikiran kamu. Aku tahu jawaban kamu.”
Iqbaal tersenyum nakal. Lalu kembali menundukan wajahnya agar bibirnya bisa kembali menyentuh bibir (namakamu) yang berada di hadapannya. Menumpahkan semua rasa yang ingin ia tumpahkan.
Kali ini, tidak ada suara hempasan barang yang terjatuh. Pecahan barang pecah belah. Lemparan benda yang membuat bising. Kini... hanya ada mereka berdua.

~TAMAT~

Jika jarak antara kita dengan orang yang kita cinta terlampau jauh, maka coba untuk berlari. Karena di dunia ini hanya ada satu jenis cinta, jika kita tidak bisa memilikinya, maka tidak seorangpun boleh memilikinya. Itu cinta sebenarnya^^~ Eyes Voice

Eyes Voice [Citra Novy] Part 9

Pengarang: Novy Citra Pratiwi
@CitraNovy
FP:Citra's Slide.

No bully:) just repost!

~

“Eyes Voice”
Part 9
_______

“Lo dapet ide dari mana gantungin tali disini, Baal? Lo punya cucian basah juga? Sini sekalian gue jemurin.”
Tali yang sudah Iqbaal gantung dengan rapi melingkar di atas langit-langit kamarnya, kini Bastian bentangkan dan Bastian ikat pada teralis jendela kamar Iqbaal, membentuk sebuah segmen tali. Dan Bastian menggunakan tali panjang itu untuk menjemur cuciannya yang belum kering, cucian-cucian lembab itu telah berbaris tersusun rapi pada tali yang akan Iqbaal gunakan untuk... Hhhh... Iqbaal menjatuhkan tubuhnya di lantai. Duduk bersila. Apakah ada yang bersedia untuk menyodorkan pisau daging di hadapan Iqbaal saat ini? Maka dengan senang hati Iqbaal akan menggunakan sisa tenaganya untuk mencabik habis Bastian.
“Misi, Mas.”
Dengan perasaan yang masih menahan kesal, Iqbaal kini menoleh. Aldi tengah berdiri di ambang pintu, membawa dua kantung kresek berisi... Entahlah. Sepertinya berisi makanan. Apa lagi ini?
Iqbaal masih duduk bersila di ambang pintu. Melihat Iqbaal yang masih bergeming, tanpa permisi lagi Aldi melangkahi Iqbaal seenaknya. Masuk ke dalam kamar Iqbaal, menghampiri Bastian yang baru saja menggantungkan baju pada hanger terakhir.
“Nanti malem pertandingan Bola. Megang mana?” tanya Aldi pada Bastian. Aldi menyalakan televisi di hadapan sofa putih itu, memuntahkan isi kantung kresek, mengeluarkan semua yang berada di dalamnya. Benar kan? Dua kantung besar itu berisi bungkusan-bungkusan makanan.
Bastian memasukan sedikit kepalanya ke dalam lemari es, meraih 2 minuman kaleng. “Gue pegang MU, lah!” ujar Bastian menghampiri Aldi, duduk bersila di atas karpet--di samping Aldi. Mereka sengaja tidak duduk di sofa agar bisa bergerak bebas meraih makanan yang mereka hamburkan di hadapannya, itu kebiasaan mereka.
“Gue Madrid ya?”
Aldi nyengir. Meraih minuman kaleng yang Bastian berikan.
Iqbaal? Laki-laki itu masih duduk bersila di ambang pintu. Menatap kedua makhluk autis di hadapannya. Bertingkah seolah kamar ini adalah milik mereka berdua. Tidak melirik Iqbaal sama sekali yang kini masih memajang wajah patah hati. Sahabat macam apa itu? Sama sekali tidak bertanya tentang tingkah aneh Iqbaal saat ini.
Dengan langkah lunglai Iqbaal bangkit, menutup pintu lalu menghampiri Aldi dan Bastian. Apa yang mereka lakukan disini sebenarnya? Menyabotase tempat Iqbaal untuk dijadikan tempat menonton pertandingan bola dengan baju, celana, serta pakaian dalam Bastian yang kini terjembreng pada tali di dalam kamarnya dengan manis.
Iqbaal kali ini tidak membutuhkan pisau daging. Tidak! tapi... Samurai. Ya, Iqbaal membutuhkan samurai untuk menebas leher kedua makhluk menyebalkan itu.
***
“Ck! Apa-apaan sih?!”
Iqbaal menyingkir-nyingkirkan Aldi dan Bastian yang mengapit langkahnya. Aldi di sisi kanan sementara Bastian di sisi kiri. Setelah memarkirkan motor mereka di pelataran dan ketika saat ini memasuki area kampus. Dua makhluk menyebalkan itu tidak pernah lepas dari jarak 30 cm di samping Iqbaal.
Semalam keduanya menginap di kamar Iqbaal. 'Lagi!' Sekali lagi ditegaskan. 'Lagi!'. Setelah hari kemarin Bastian mengganggu rencana Iqbaal, kali ini... Ditambah Aldi yang ikut menghancurkan semuanya. Sampai kapan Iqbaal akan hidup terkatung-katung seperti ini. Hidup enggan, mati tak bisa. *lah*
“Lo berdua kenapa sih!” bentak Iqbaal, seketika menghentikan langkahnya. Iqbaal benar-benar risih ditempeli oleh Aldi dan Bastian, dimulai ketika berangkat hingga saat ini.
“Apaan sih? Lo ribet banget.”
Bastian menatap Iqbaal dengan terheran. Kali ini Iqbaal terlihat lebih sensitif.
“Biasanya juga kita kan jalan bareng. Iya kan?” tanya Aldi, menatap Iqbaal yang kini masih memasang wajah kesal.
Ya. Biasanya Iqbaal, Aldi, dan Bastian berjalan beriringan ketika memasuki kelas. Tapi, entah apa yang Iqbaal rasakan saat ini. Iqbaal merasa sikap Bastian dan Aldi tidak seperti biasanya. Ada yang ganjil di antara keduanya.
“Ayo ah!”
Bastian menarik lengan Iqbaal, menyebabkan langkah Iqbaal terseret mengikuti arah gerakan Bastian.
“Lepas! Lepas!”
Iqbaal menghentak-hentakan lengannya yang kini ditarik oleh Bastian, “gue mau ke toilet,” ujarnya. Seketika Iqbaal memutar langkahnya untuk berbelok di tikungan koridor. Langkahnya terayun ke arah sudut koridor sepi, tempat toilet pria.
Iqbaal berdecak ketika ia merasakan langkah-langkah menyebalkan itu mengikutinya, “Lo berdua mau ngikut juga?”
Iqbaal membalikan tubuhnya. Dan benar saja, ternyata Aldi dan Bastian melangkah cuek di belakang Iqbaal.
“Kita mau ke toilet juga,” jawab Aldi dengan tampang cuek. Disambut dengan anggukan refleks dari Bastian. Benar-benar, dua makhluk itu hari ini terlihat kompak.
Iqbaal lagi-lagi berdecak kesal. Lalu kembali memutar tubuhnya untuk melangkahkan kaki ke sudut koridor. Tempat sepi yang hanya ada laki-laki keluar masuk. Ketiganya masuk berbarengan. Iqbaal memilih satu dari 6 jajaran pintu toilet yang terbuka.
“Ngapain dia ke dalem? Kalau mau buang air kecil kan bisa di sini?” tanya Bastian, langkahnya menuju urinoir. Aldi mengangkat bahunya mengekor Bastian menuju urinoir juga.
Selang 7 menit Iqbaal di dalam. Laki-laki itu tidak kunjung keluar dari balik pintu toilet. “Menurut lo, Iqbaal gak akan macem-macem kan di dalam?”
Bastian dan Aldi saling berhadapan, mengapit pintu toilet yang Iqbaal masuki tadi.
Clek... Pintu terbuka. “Duh!” geram Iqbaal, mendapati Bastian dan Aldi yang berdiri di depan pintu. “Lo berdua apa-apaan sih, ha?!”
“Kita nungguin lo, buat ke kelas bareng,” jawab Aldi, lengan kanannya melingkar santai pada pundak Iqbaal.
“Gue bukan mahasiswa tingkat satu yang harus ditunjukin jalan. Gue bisa jalan ke kelas sendiri.”
Iqbaal menepis lengan Aldi, mempercepat langkahnya untuk meninggalkan Aldi dan Bastian.
“Kita gak boleh nyerah,” ujar Bastian menepuk-nepuk pundak Aldi.
“Apaan sih lo!”
Aldi memelototi Bastian.
“Ya, kita gak boleh nyerah. Ayo kita ikuti dia terus.”
Bastian berucap serius, tatapannya menajam menatap punggung Iqbaal. Seakan Iqbaal adalah buronan yang harus ia tangkap dan ia penjarakan.
“Hallo? Apa, Bang?”
Iqbaal mengangkat teleponnya yang sedari tadi bergetar, bahkan ketika ia masih di dalam toilet ponselnya tidak berhenti bergetar.
“Sekarang gue kuliah, Bang.”
“Kapan?”
“Nanti siang?”
“Kasus itu lagi? Duh, gue sekarang kuliah.”
“Lagian kenapa sih lo gak terima Karrel aja. Dia pinter, aktif-”
Ucapan Iqbaal terhenti ketika ia melihat (namakamu) berjalan dari arah berlawanan. Gadis berkemeja peach strip vertikal disambung dengan rok cokelat selutut. mendekap dua buah buku tebal--sempat menunduk, sebelum akhirnya,
“Hai? Baal?” sapa (namakamu) dengan senyum lebarnya. Iqbaal masih tertegun. Hanya senyum bodohnya yang terlihat tanpa mengeluarkan suara apapun. Ia pikir, setelah kejadian kemarin (namakamu) sama sekali tidak akan pernah sudi melihat batang hidungnya, apalagi menyapanya seperti ini lagi.
Iqbaal memberanikan diri menatap wajah (namakamu), menatap mata gadis itu. Sekali ini. Satu kali ini saja Iqbaal ingin menatap mata gadis itu. Untuk mendengar apa yang gadis itu rasakan, untuk mengetahui bagaimana perasaan gadis itu saat ini. Sekali.
“Lo bener. Ketika ketika kejadian kemarin terlalu sakit. Gue harus berusaha meyakinkan diri gue bahwa itu semua cuma mimpi. Dan terbukti, ketika gue bangun gue kembali baik-baik aja.”
(namakamu) terkekeh, “makasih ya, Baal,” ucap (namakamu).
Iqbaal tersenyum tipis, wajahnya mengangguk pelan.
'Kejadian kemarin sama sekali udah gue lupain.'
Suara itu Iqbaal dengar. Ternyata gadis itu tidak berbohong, (namakamu) saat ini memang sudah baik-baik saja dan melupakan kejadian kemarin.
“Lo gak usah takut. Sekarang gue gak akan berharap lagi sama lo.”
'Gue berusaha lupain lo dan gak akan berharap lagi sama lo.'
“Gue tahu, bukan lo orang yang seharusnya gue sayang.”
'Gue udah nemu orang yang tulus sayang sama gue. Gue seneng deh.'
“Lo masih inget gak sama BD?” tanya (namakamu), membuat Iqbaal kembali mengangguk.
“Mantan lo dulu?” tanya Iqbaal memastikan ingatannya.
(namakamu) mengangguk, “dia ada ngehubungi gue lagi.”
'Gue harap, gue bisa lupain lo, dan mulai sayang lagi sama dia.^^'
“Oh ya? Gue ikut seneng dengernya.”
Iqbaal berucap tanpa berpikir, kata-kata itu terlontar diluar kesadarannya. Karena saat ini Iqbaal tidak mampu untuk berpikir apapun. Mengenai hal apapun. Pikirannya seolah buntu. Organ di kepalanya seakan berhenti bekerja.
“Iya, gue juga seneng dia ada hubungi gue lagi.”
'Gue lagi seneng hari ini.'
“Nanti ngobrolnya di sambung lagi. Gue ke kelas duluan ya?”
“Oh iya. Lo masih mau kan jadi sahabat gue?” tanya (namakamu) sebelum mengakhiri perbincangannya.
Lagi-lagi Iqbaal mengangguk dengan senyum yang masih belum lepas.
“Ok. Makasih.”
(namakamu) mempercepat langkahnya, menempelkan ponsel pada telinga kanannya. “Hallo? Yaya.” Terdengar suara renyah (namakamu) meninggalkan Iqbaal yang masih bergeming saat ini.
'Kejadian kemarin sama sekali udah gue lupain.'
'Gue berusaha lupain lo dan gak akan berharap lagi sama lo.'
'Gue udah nemu orang yang tulus sayang sama gue. Gue seneng deh.'
'Gue harap, gue bisa lupain lo, dan mulai sayang lagi sama dia.^^'
'Gue lagi seneng hari ini.'
Suara-suara yang Iqbaal dengar tadi, ketika menatap mata (namakamu). Suara itu terdengar begitu tulus, (namakamu) benar-benar mengungkapkan apa yang tengah ia rasakan. (namakamu) tidak berbohong, ia benar-benar terlihat begitu senang hari ini. Dan pengakuannya itu, sangat sesuai dengan isi dalam pikiran (namakamu) saat ini.
Apakah (namakamu) benar-benar sudah melupakan Iqbaal saat ini? (namakamu) benar-benar sudah tidak mengharapkan Iqbaal lagi? Kejadian kemarin benar-benar tidak berarti apa-apa. Itu kabar bagus bukan? Harusnya Iqbaal ikut merasa bahagia ketika (namakamu) bisa bersikap seperti itu. Tapi ternyata... Kenyataannya tidak seperti itu.
Iqbaal masih bergeming di tempatnya berdiri saat ini. Merasakan lehernya berdenyut-denyut menahan desakan di dalam dadanya yang memaksa naik. Memaksa dirinya untuk merasakan perasaan sakit ini.
Prak... Ponsel yang berada dalam genggaman Iqbaal menghantam lantai. Terlepas begitu saja, kemampuan telapak tangannya unruk menggenggam tiba-tiba menghilang.
“Baal?”
Bastian membungkuk, meraih ponsel Iqbaal yang tergeletak di samping kakinya.
“Lo baik-baik aja kan, Baal?”
Aldi menatap Iqbaal dengan pikiran tidak karuan. Saat ini Iqbaal seperti benda mati yang terpajang di etalase. Masih bergeming dengan tatapan kosongnya.
Bastian meniup-niup ponsel Iqbaal yang berdebu karena terjatuh tadi. Mengusap-usap ujung case ponsel yang sedikit lecet. “Nih.”
Bastian mengulurkan tangannya, berharap Iqbaal menggerakan tangan untuk meraih ponsel itu. Namun ternyata tidak, Iqbaal masih belum bisa menyadarkan dirinya sendiri.
***
Iqbaal melangkah cepat. Menyelip-nyelipkan tubuh kurusnya diantara hamburan mahasiswa di koridor. Berusaha menghilangkan jejak dari kejaran Aldi dan Bastian. Mata kuliah hari ini sudah selesai. Tiga mata kuliah Iqbaal jalani dengan tidak henti di apit oleh Aldi dan Bastian. Kemana pun ia beranjak, kedua makhluk itu selalu mendempetnya. Menyebalkan! Dan kali ini, ketika mata kuliah terakhir tadi berakhir, dengan bergegas Iqbaal meninggalkan kelas dan berusaha meninggalkan Aldi dan Bastian.
Brum... Iqbaal menarik-narik gas motornya dalam keadaan normal. Sebelum memasukan gigi pertama untuk melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.
“Baal!!!”
Teriakan itu terdengar ketika Iqbaal melintasi jalanan kampus sebelum keluar dari pelataran. Suara itu adalah milik Bastian dan Aldi yang berteriak bersamaan. Apakah mereka pikir Iqbaal akan memberhentikan kendaraannya ketika mereka memanggilnya seperti itu? Justru teriakan Bastian dan Aldi membuat Iqbaal semakin menaikan kecepatan laju motornya, hingga akhirnya keluar dari area kampus dan berbaur dengan kendaraan lain di jalan raya.
Hari ini, pasca melarikan diri dari apitan Aldi dan Bastian, Iqbaal akan melakukan bagaimanapun caranya agar ia bisa menepati janjinya pada Bella. Tapi, sebelum itu Iqbaal harus membereskan dulu masalahnya dengan Kiky. Kasus tersangka pembunuhan saudara kembar itu ternyata belum selesai. Pasca pernyataan Iqbaal pada Kiky bahwa pelaku sebenarnya adalah Varo, bukan Vero. Membuat Kiki mencari informasi lebih lanjut. Dan ternyata, dari semua informasi yang Kiky dapatkan, kejadian itu lebih condong berhubungan dengan Varo. Sementara, yang berada di dalam jeruji besi saat ini adalah Vero.
Kiky ingin mengupas semua hingga tuntas. Walaupun itu bukan tugas mereka, tapi setidaknya mereka memberikan petunjuk pada pihak yang lebih bertanggung jawab untuk menyelidiki semuanya, dan menangkap pelaku sebenarnya.
Iqbaal keluar dari jalan raya yang padat. Menikung ke arah kiri, mengambil jalan sepi yang mungkin memudahkan Iqbaal untuk lebih cepat sampai di kantornya. Suara bising kendaraan yang saling meraung di tengah perjalanan tadi sudah tidak terdengar lagi 'seharusnya', karena kini Iqbaal sudah melaju tunggal dijalanan sepi. Namun, sepertinya kali ini Iqbaal mendengar raungan-raungan motor, bahkan beberapa motor mengejarnya dari arah belakang.
Apakah itu Aldi dan Bastian yang kini kembali mengikutinya? Oh Tuhan... Ini sungguh menyebalkan. Tidak kah mereka memiliki pekerjaan yang lebih berguna ketimbang mengikuti Iqbaal seperti ini? Iqbaal semakin menaikan kecepatan laju motornya. Jalanan sepi, lagi pula tidak ada kendaraan dari arah berlawanan, maka tingkahnya ini tidak akan membahayakan orang lain kan?
Namun ternyata, semakin Iqbaal meraung-raungkan suara motornya untuk berlari, suara motor di belakangnya juga semakin terdengar meraung.
Brak...
Seorang pengendara bermotor yang berhasil menyejajarkan posisi motornya dengan Iqbaal, menghentakan kakinya ketika ia berada tepat di sisi kanan Iqbaal, menendang bagian kanan motor Iqbaal dengan kencang.
Motor Iqbaal yang tengah melaju kencang tiba-tiba terhempas ke samping kiri setelah menerima tendangan itu, mengakibatkan Iqbaal terpental jauh dan berguling-guling dengan jarak sekitar 10 meter dari tempat terhempasnya motor.
“Eghhh.”
Terdengar lenguhan kesakitan dari mulut Iqbaal. Merasakan tubuhnya hancur pasca melakukan aksi berguling-guling tadi, sehingga jangankan untuk bangkit berdiri, untuk menggerakan jari-jarinya pun ia tidak sanggup.
Brum... Raungan-raungan motor itu terdengar mengerikan menghampiri Iqbaal. Tiga buah motor besar itu mengelilingi ketidakberdayaan Iqbaal saat ini. “Bangun lo, banci!”
Terdengar suara keras itu menghentak.
Ketiga motor yang mengelilingi Iqbaal tadi kini terhenti. Salah satu pemuda, yang sepertinya Iqbaal kenali menghampiri keberadaan Iqbaal yang masih terkapar. “Bangun jagoan!”
Laki-laki itu menarik kencang leher jaket yang Iqbaal kenakan, membuat tubuh lemah Iqbaal kini tertarik untuk duduk.
“Gue udah bilang sama lo, kan? Jaga mulut lo!”
Bugh... Bugh...
Kepalan tangan bak sarung tinju itu menghantam wajah Iqbaal berkali-kali. Membuat setetes darah mulai melumer keluar dari sudut bibir Iqbaal. Dengan tubuh yang seakan rontok belum tersusun seutuhnya, jelas Iqbaal tidak bisa melakukan gerakan apapun. Jangankan untuk melawan, untuk menghindarpun tidak mampu.
“Jangan ikut campur masalah gue.”
Laki-laki itu berbisik di samping telinga Iqbaal, “lo cuma wartawan abal-abal yang dibayar untuk nulis berita. Jadi jangan pernah lo ganggu masalah gue. Apa ruginya buat lo kalau yang masuk penjara itu kakak gue, bukan gue? Kakak gue aja nerima, bahkan dia bersedia. Kenapa lo yang repot, ha?!” lanjutnya lagi.
Bugh... Bugh...
Entah untuk ke berapa kalinya laki-laki itu menghantamkan kepalan tangannya. Dan kali ini, dibantu dengan injakan dan tendangan dari kaki kedua temannya yang lain. Tubuh Iqbaal berbalik ke arah yang tidak karuan menerima hempasan-hempasan kasar. Menerima tendangan-tendangan penuh amarah dari ketiga laki-laki yang mengelilinginya di jalanan sepi itu.
Blass... Sebuah pisau tajam berukuran 15 cm berhasil masuk menelusup ke dalam perut laki-laki malang yang terkapar mengenaskan. Dengan wajah yang berlumuran darah, dan kali ini darah yang keluar dari dalam perutnya merayap menyebar membasahi kaos dan jaket yang ia kenakan.
Laki-laki itu sempat melenguh pelan. Lenguhan yang tidak terdengar karena terhapus oleh hembusan angin. Keadaan tidak berdayanya ditinggalkan begitu saja. Ketiga laki-laki biadab itu sudah meraih motornya masing-masing dan pergi berhamburan meninggalkan tempat Iqbaal saat ini.
***
Tit... Tit... Tit...
Bunyi-bunyi pendek yang keluar dari monitor di samping kanan ranjang pasien itu terdengar. Ruangan sepi, ini hanya dihuni oleh seorang pasien dan seorang gadis yang menunggunya di samping ranjang.
Senyap. Seakan suara cairan infus yang menetes bulir-demi bulir mampu terdengar. Sudah satu malam gadis itu menunggu laki-laki yang terbaring di hadapannya untuk bangun. Laki-laki dengan luka lebam di sekitar wajahnya, balutan perban di kepala, collar neck yang menyangga lehernya, perban yang menutupi luka pada perutnya, serta jarum yang menyambungkan selang infus pada tangan kanannya. Siapa saja yang melihatnya akan merasa khawatir, khawatir jika sosok ini akan pergi, menghilang.
Gadis itu berkali-kali mengusap air mata yang sudah membuat jalur pada pipinya. Mata sembapnya belum lelah mengeluarkan air mata. Menangisi laki-laki yang terakhir kali ia temui pagi hari kemarin.
Clek...
Knop pintu tertekan, pintu kamar terbuka. Seseorang melangkahkan kakinya ke dalam.
“Gue barusan baru nganter Salsha pulang. Dan sekarang lo, lo harus pulang dulu. Untuk malam ini, biarin gue sama Bastian yang jaga Iqbaal. Ok?”
Ucapan lembut itu mendapat jawaban gelengan kepala dari gadis di hadapannya.
“Lo harus istirahat. Nanti kalau lo kayak gini malah lo yang sakit.”
Gadis itu kembali menggeleng.
Dari pagi hari Aldi berusaha merayu (namakamu) untuk pulang. Untuk makan, tidur, istirahat di rumah. Karena gadis itu menjaga Iqbaal semalaman tadi, tidak tidur, bahkan tidak berhenti menangis.
Aldi mendesah. Usahanya untuk merayu (namakamu) kembali sia-sia. Gadis itu tetap duduk di samping ranjang pasien, menatap Iqbaal yang masih memejamkan matanya. Cara apa lagi yang harus Aldi lakukan agar (namakamu) pulang kerumah, agar (namakamu) memperhatikan kondisi dirinya sendiri. “(namakamu)?”
“Al,” lirih (namakamu), menatap Aldi dengan tatapan memohon. Memohon Aldi agar tidak terus-menerus merayunya untuk pulang, “gue pengen nemenin Iqbaal disini,” ucap (namakamu) dengan mata yang masih berair.
Aldi mengangguk. Mungkin ia harus memberhentikan usahanya untuk saat ini, karena semua usahanya itu sia-sia. Hanya membuahkan hasil penolakan terus-menerus dari (namakamu). “Ya udah, gue pulang dulu. Mandi dulu. Secepatnya gue balik lagi sama Bastian kesini,” ujar Aldi. Setelah mendapatkan anggukan dari (namakamu), laki-laki itu tersenyum lalu melangkahkan kakinya keluar ruangan.
Setelah menutup pintu ruangan, Aldi mendesah kencang. Menyandarkan tubuh bagian belakangnya pada pintu luar kamar. Adakah yang bisa mengerti perasaan Aldi saat ini? Andai saja ada orang yang mengerti. Melihat gadis yang ia sukai terus menerus menangisi laki-laki lain, tidak lainsahabatnya sendiri. Ternyata itu cukup membuat isi dadanya menggelembung, disesaki perasaan yang tak karuan. Andai ada yang mengerti. Langkah Aldi terayun lemas. Menelusuri koridor yang diapit oleh kamar pasien di sisi kanan dan kirinya. Menikmati perasaannya sendiri. Berusaha membuat perasaannya menguap dengan sendirinya, namun... Sulit.
“Baal.”
(namakamu) berucap pelan. Telapak tangannya masih menggenggam tangan Iqbaal, meremas jemari Iqbaal. Berharap Iqbaal merasakan keberadaan (namakamu) di sampingnya.
“BD kemarin ada hubungi aku, dia ngajak aku pulang bareng... Aku pikir dia mau deketin aku lagi. Ternyata, dia cuma mau minta maaf atas kesalahannya dulu, dan ngenalin aku sama cewek barunya,” ucap (namakamu), tatapannya menatap lingkaran kelopak mata Iqbaal yang masih tertutup.
“Tapi aku gak sedih kok. Masih ada kamu, kamu masih mau jadi sahabat aku kan? Sahabat baik aku.”
Perkataan (namakamu) terhenti ketika buliran air matanya kembali menelusuri jalur pipinya.
“Kemarin, aku berharap ini semua cuma mimpi. Dan ketika pagi aku buka mata, perasaan aku akan baik-baik aja. Tapi ternyata gak bisa, aku sakit lihat kamu kayak gini.”
'(namakamu)?'
Iqbaal tiba-tiba merasakan tubuhnya saat ini berada di samping (namakamu). Apakah roh Iqbaal terlepas dari perbaringannya?
“Aku gak perduli kamu gak sayang sama aku. Yang penting kamu ada di sini, aku masih bisa lihat kamu setiap harinya. Jangan pergi ke tempat yang gak bisa aku lihat, Baal.”
'Aku di sini. Aku sayang sama kamu. Sayang (namakamu).'
“Dari dulu. Aku tulus sayang sama kamu. Aku gak pernah berharap kamu balas perasaan aku. Ketika kamu menyatakan perasaan kamu sama Bella... Aku gunakan semua kemampuan yang aku punya untuk senyum di depan kamu. Walaupun ternyata itu gak mudah.”
“Tapi gak apa-apa, aku kan bisa nangis sepuasnya di rumah.”
Iqbaal berjongkok di samping (namakamu), menatap wajah (namakamu). Menatap (namakamu) yang tengah bercerita saat ini. 'Maaf (namakamu),' lirihnya pelan.
“Aku pernah dengar, seekor angsa akan mengikuti hal pertama yang mereka lihat semenjak mereka lahir sampai mereka mati. Dan saat pertama kali aku lihat kamu, aku merasa berubah menjadi seekor angsa. Mulai saat itu, aku memutuskan untuk gak perduli, apapun yang kau perbuat, aku masih akan menyukainya. Aku gak perduli siapapun yang kamu suka... Aku masih tetap suka sama kamu. Sampai aku mati.”
Iqbaal menundukan wajahnya. Gadis itu... Benar-benar membuat perasaan bersalah Iqbaal semakin hendak meledak.
Separtinya Iqbaal sadar saat ini, sangat sadar apa yang harus ia lakukan. Iqbaal bangkit, beranjak untuk mendekati tubuhnya yang masih tertidur. 'Bangun Iqbaal! Bangun!' Iqbaal berteriak membentak dirinya sendiri.
'Bangun! Lihat (namakamu)! Banguuun!'
'Gue mohon, bangun.'
Iqbaal mendesah ketika menatap tubuhnya yang masih terkulai.
“Dengan alasan kamu hidup, aku juga akan tetap hidup,” lirih (namakamu). Terdengar jelas di telinga Iqbaal.
'Aku akan tetap hidup (namakamu), aku janji.'
Iqbaal kembali melangkahkan kakinya menghampiri (namakamu). 'Aku akan hidup sama kamu. Untuk sisa hidup aku, kita akan lakuin semuanya berdua. Aku janji.'
Rahang Iqbaal bergetar, kedua bola matanya berair, mencoba berbicara di samping wajah (namakamu), walaupun (namakamu) tidak mendengarnya tetapi Iqbaal berjanji bahwa dirinya akan berusaha untuk bangun.
'Kamu bisa rasain apa yang aku rasain sekarang?'
Tiba-tiba suara itu terdengar.
Iqbaal menoleh, melihat Bella saat ini berjalan menghampirinya. 'Apa yang kamu rasain saat ini? Sakit?' tanya Bella.
'Aku ingin bangun,' ujar Iqbaal.
'Bangun? Bangun dan kamu hidup sama gadis itu?' tanya Bella seolah tidak percaya dengan pengakuan Iqbaal.
'Kamu bisa tahu perasaan aku sekarang? Gimana rasanya kesulitan menggapai tubuh seseorang yang kita cintai? Gimana rasanya ingin hidup bersama dengan seseorang yang kita cintai dalam keadaan seperti ini? Itu yang aku rasain,' ujar Bella. Matanya memerah, menatap Iqbaal yang saat ini balas menatapnya. 'Berhenti melakukan hal bodoh itu. Tepati janji kamu sama aku. Aku mohon. Aku mencintai kamu.'
Bella kembali berucap lirih.
'Kamu mencintai aku? Apa kamu benar-benar mencintai aku? Ketika aku lihat (namakamu) hampir saja mati, aku merasakan aku benar-benar akan ikut mati. Jika aku bisa, aku akan menggantikannya untuk mati. Itu yang aku rasakan ketika aku benar-benar mencintai (namakamu). Dan sekarang, kamu meminta aku ikut mati, dengan alasan kamu mencintai aku? Apa itu yang namanya cinta?' ucap Iqbaal. Membuat Bella terdiam, menatap Iqbaal dengan rahang yang bergetar.
'Aku mencintai (namakamu), aku mohon. Aku benar-benar mencintai (namakamu).'

Bersamboeng;*

Eyes Voice [Citra Novy] Part 8

Pengarang: Novy Citra
@CitraNovy
FP: Citra's Slide.

Just repost. No bully.

~

“Eyes Voice”
Part 8
_______

“Apa?!”
“Kenapa?”
Bastian kini membalikan tubuhnya mendengar pekikan Iqbaal yang sepertinya terdengar sangat kaget.
“Obat nyamuknya lo pake? Abis?”
“Iya. Kenapa sih? Obat nyamuknya emang buat di pake kan? Wajar kan gue pake? Lo gak ada niat buat minum obat nyamuk kan, Baal? Otak lo udah gak waras kalo sampe lo ada niat buat ngelakuin itu.”
***
“Mungkin ini terlalu terburu-buru. Banyak hal yang harus aku beresin sebelum aku pergi nemuin kamu sepertinya. Kerjaan, kuliah, keluarga, temen, dan... (namakamu). Aku harus beresin semuanya satu-satu.”
Kedua tangan Iqbaal bertopang pada westafle putih di dalam kamar mandinya. Setelah selesai menyikat gigi, Iqbaal bergumam sendiri. Tidak sendiri sebenarnya, ada Bella. “Aku janji, hari ini aku beresin semuanya.”
Bastian benar-benar menginap di kosannya semalam. Dan pagi ini, Bastian sama sekali belum bangkit dari tidurnya. Masih mendengkur di atas tempat tidur. Dan itu mengharuskan Iqbaal berbicara dengan Bella di dalam kamar mandi seperti ini, agar Bastian tidak melihat tingkah anehnya.
“Kamu jangan takut. Bukan maksud aku menunda semuanya. Tapi... Aku harus pergi dalam keadaan baik-baik kan? Seengaknya.. Pamit(?)”
Iqbaal menatap Bella, menatap tubuh Bella yang kembali setengah utuh. Kakinya sudah kembali, walaupun belum utuh.
“Tapi aku mohon, jangan ganggu (namakamu). Aku bersumpah gak ada niat sama sekali untuk mendekati dia lagi. Aku mohon,” ujar Iqbaal. Tanpa sadar ucapannya itu kembali membuat mata Bella memerah.
*
“Nah! Gue juga mulai curiga ketika buka laptopnya, ada artikel tentang 'bahaya obat anti serangga jika diminum'. Dan di atas tempat tidurnya emang ada obat nyamuk. Ya udah gue habisin aja, gue semprot ke sembarang tempat sampe habis.”
Bastian yang tengah menyelubungi tubuhnya dengan selimut, diam-diam menempelkan telepon pada telinga kirinya. Berucap pada seseorang di seberang telepon dengan suara berbisik.
'Untung lo keburu dateng, Bass. Gue juga udah curiga waktu dia bilang suruh jaga (namakamu). Ternyata bener kan? Dia bakal ngelakuin hal itu lagi.'
“Iya. Gak kebayang gue, kalau gue dateng mulut dia udah berbuih. Gila! Gue sama sekali gak nyangka Iqbaal-”
“Lo mau sampai kapan tidur?!”
Tiba-tiba suara itu mengagetkan Bastian yang tengah diam-diam menelepon Aldi. Bastian segera menaruh ponselnya di balik Bantal, tidak menghiraukan Aldi di seberang sana yang keheranan karena suaranya tiba-tiba lenyap tidak terdengar lagi.
“Bass! Lo gak akan kuliah?! Ini udah jam berapa?” omelan Iqbaal yang baru saja keluar dari kamar mandi ternyata tidak jauh dengan omelan Ibu Bastian di rumah. 'Bass! Kamu gak akan kuliah?! Ini udah jam berapa?' Sama persis.
Bastian membuka selimut yang menutupi wajahnya. Mengucek pelan dan mengerjap-ngerjapkan matanya seolah baru saja terbangun. Akting. “Kuliah kan jam 10. Lo ribet banget kayak emak-emak! Masih pagi juga!” rutuk Bastian. Menatap Iqbaal yang kini tengah mematut dirinya di hadapan cermin menggunakan kemeja.
“Lo mau kemana?” tanya Bastian. Pakaian Iqbaal yang kini sudah rapi membuatnya sedikit terkaget. Jangan bilang kalau ada kuliah mendadak pagi ini!
“Kantor,” jawab Iqbaal singkat. Lalu beranjak menghampiri rak sepatu di belakang pintu. “Kalau mau keluar, kuncinya lo bawa aja. Nanti dari kantor, gue langsung ke kampus,” ucap Iqbaal. Lalu setelah itu keluar dari dalam kamarnya.
“Al?”
Bastian kembali meraih ponsel yang ia sembunyikan di balik bantal.
'Lo kemana sih! Gue panggil-panggil dari tadi!'
Aldi mengomel tidak jelas.
“Tadi ada Iqbaal.”
'Terus sekarang dia kemana?'
“Kantor. Gue berharap dia gak akan bunuh diri dengan cara nabrakin diri selama di perjalanan ke kantornya.”
'Ikutin dia, Bass!' perintah Aldi dengan nada otoriter.
“Ahhh... Malesss. Gue masih ngantuk. Lagian Iqbaal gak mungkin ngelakuin hal segila itu!”
'Gak mungkin?! Gak mungkin lo bilang?! Kemarin aja-'
Tut... Tut... Tut...
Bastian memutuskan sambungan telepon. Melepaskan baterai ponselnya. Agar Aldi tidak kembali menghubunginya. Menarik kembali selimut tebal itu untuk menyelubungi tubuhnya. Masih jam 7. Masih ada waktu untuk tertidur sebelum masuk kuliah, pikirnya.
***
“... Gue bakal cari penggantinya. Secepatnya, Bang.”
Iqbaal duduk di hadapan Rizky. Seniornya selama bekerja di kantor surat kabar.
Rizky--Kiky, memijit-mijit keningnya. Tidak berhenti melepaskan nafas beratnya. “Lo dapet kerjaan yang honornya lebih besar?”
kiky menatap Iqbaal.
Iqbaal menggeleng, “gak, Bang. Gue gak mungkin lakuin itu.”
“Terus?”
Kiky berhenti melakukan gerakan memijit kepalanya, kali ini kedua tangannya menjambak rambutnya kencang.
“Gue... Mau fokus kuliah,” jawab Iqbaal disertai senyum hambarnya. Ia tahu alasannya itu jelas-jelas tidak masuk akal. Iqbaal bukan mahasiswa tingkat akhir yang sibuk dengan skripsi. Malah dulu Iqbaal yang bersikeras meminta pada Kiky untuk membantunya menjadi pegawai tetap. Dan sekarang...
“Chhh...”
Kiky tersenyum miring, menatap Iqbaal dengan tatapan menyipit. “Bocah kayak lo mau bohongin gue?” umpat Kiky.
“Ada alasan lain, yang gak bisa gue ceritain, Bang. Gue bakal secepatnya cari pengganti. Dan nyiapin surat resign.”
Iqbaal menggantungkan tas ransel pada pundaknya. Lalu lengannya terulur, “makasih, Bang. Selama ini lo udah sabar ngajarin gue.”
“Makasih? Lo harusnya minta maaf juga sama gue. Susah payah gue ngajarin lo dari nol. Dan sekarang lo keluar? Nyari pengganti? Dan gue harus ngajarin dari nol lagi? Bagus ya lo.”
Iqbaal tersenyum. Setelah Kiky membalas jabatan tangannya, ia melangkahkan kakinya keluar ruangan.
***
“Mau mati aja ribet banget!” rutuknya seraya menggaruk-garuk kencang kepalanya. Siapa orang yang bisa ia berikan pada Kiky untuk menggantikan posisinya?
Aldi? Tidak! Tidak! Orang tua Aldi sangat melarang keras Aldi untuk bekerja. Sekalipun Aldi meminta sampai mengeluarkan tangisan darah, orang tuanya tidak akan mengizinkan.
Bastian? Oh Tuhan. Selama masih ada orang waras di sekelilingnya, ia tidak akan pernah memberikan Bastian posisi di tempat kerjanya.
Lalu siapa? Langkah Iqbaal terayun lamban. Menyusuri koridor kampus ramai. Sangat ramai, namun terkesan sepi bagi Iqbaal. Iqbaal seolah memiliki dunia sendiri untuk saat ini.
“Baru datang?”
Tiba-tiba langkah Iqbaal terputus. Fokus pikirannya juga terpecah. Ada gadis yang kini memotong langkahnya, (namakamu). Ya, gadis itu menghalangi langkah Iqbaal, bertanya seraya memasang senyum tipisnya.
'Gue kangen.'
Iqbaal tiba-tiba mendengar itu. (namakamu) masih mendekatinya? (namakamu) masih bisa merasa 'kangen'? Padahal Iqbaal kemarin sudah berusaha bersikap tidak perduli. Iqbaal menunduk. Cukup, ia tidak mau lagi mendengar semua yang keluar dari mata (namakamu). Ia tidak mau tahu lagi semua yang (namakamu) rasakan. Mendengar semua itu hanya membuatnya merasa bersalah.
“Baal?”
(namakamu) meraih lengan Iqbaal, berharap Iqbaal mengangkat wajahnya dan kembali menatap mata (namakamu). Berharap Iqbaal bisa mengetahui apa yang ada di dalam pikiran (namakamu) saat ini. Berharap (namakamu) bisa mengeluarkan semua pertanyaan dan uneg-unegnya pada Iqbaal tanpa harus berbicara.
Iqbaal menepis tangan (namakamu), tatapannya masih menunduk. Sepertinya, benar-benar tidak mau menatap mata (namakamu) sedikitpun.
“Gue punya salah sama lo?” tanya (namakamu). Iqbaal sudah kembali berubah menjadi orang asing. Dan menjadikan (namakamu) seperti orang asing. Ada apa? (namakamu) benar-benar ingin bertanya ada apa? Diperlakukan seperti ini dalam keadaan sama sekali tidak tahu apapun, itu membuat (namakamu) tidak karuan.
Iqbaal menggeleng. Tanpa berkata apapun, langkahnya kembali terayun. Meninggalkan (namakamu) yang kini merasakan dadanya teremas kencang. Iqbaal? Laki-laki itu kembali menjadi sosok aneh.
***
“...Lo mau ya? Lo kan mau banget kerja di surat kabar. Ya kan? Lo gantiin posisi gue.”
Iqbaal membuntuti Karrel. Mengekor kemanapun gerakan Karrel. Terus-menerus memohon agar Karrel mau menggantikannya.
“Emang lo mau kemana?”
Karrel menghentikan gerakannya, duduk di sebuah bangku yang berada di dalam ruangan HIMA dan disusul oleh Iqbaal yang duduk di sampingnya.
“Gue--pokoknya lo mau kan?”
Iqbaal benar-benar tidak mau menjawab pertanyaan Karrel.
Karrel mengangguk, anggukan Karrel saat ini seperti tabung gas oksigen ketika Iqbaal sedang merasakan sekarat. “Tapi, pasti harus tes dulu kan?” tanya Karrel dengan nada suara tidak yakin.
“Tenang! Tesnya gampang, kok. Lo cuma... Ehmmm.”
Iqbaal sejenak memejamkan matanya. Mencoba mengingat-ingat tes yang pernah ia lakukan. Hhhh... Tidak ada. Iqbaal terpilih menjadi karyawan tetap tanpa tes, melainkan dengan bantuan Kiky. “Pokoknya tesnya gampang!” seru Iqbaal, membuat Karrel sedikit berjengit.
“Ok?”
Iqbaal kembali memastikan. Karena kini Karrel tengah menatapnya, tatapan penuh keraguan. Namun ternyata Karrel mengangguk, menyetujui permintaan Iqbaal.
“Tapi itu juga kalau gue masuk ya? Kan belum tentu-”
“Lo pasti masuk!” sela Iqbaal menepuk-nepuk pundak Karrel. Meyakinkan Karrel, walaupun sebenarnya ia sendiri tidak yakin dengan apa yang ia katakan.
***
“... Iya, Bunda.”
“Iya.”
“Ok, Bun.”
“Iya, Iqbaal ngerti.”
“Hmmm.”
“Bunda jaga diri juga di sana. Salam buat Ayah ya.”
“Iya. Iqbaal tahu.”
“Iya. Iqbaal udah gak keseringan makan mie instan lagi kok.”
Iqbaal melirik isi kantung kresek yang menggantung di atas pantry. Berjejal bungkusan-bungkusan mie instan yang ia seduh setiap malam, ketika bergadang mengerjakan tugas atau menonton pertandingan bola. Iqbaal meringis. Benar-benar anak durhaka.
“Iya. Wa'alaikum salam.”
Iqbaal mengakhiri sambungan teleponnya. Melepaskan nafas sesaknya. Selama berbicara dengan ibunya di telepon tadi, beberapa kali Iqbaal merasakan tenggorokannya tercekat. Terlebih ketika ibunya membeberkan nasihat-nasihat panjang. Iqbaal hanya bisa menanggapinya dengan jawaban-jawaban singkat.
Apakah ibunya akan kecewa jika Iqbaal mati bunuh diri nanti? Ya! Jawabannya ya! Jelas saja. Orang tua mana yang merelakan anaknya mati begitu saja, apalagi dengan cara bunuh diri. Bunuh diri karena depresi kehilangan kekasihnya. Bodoh.
Iqbaal menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Menatap seisi kamarnya. Kamar yang ia huni selama 3 tahun. Selama menjadi mahasiswa. Kini langit-langit kamar itu sudah terhiasi oleh sebuah tali yang menggantung membentuk lingkaran di bagian bawahnya. Iqbaal sepertinya sudah siap menggantungkan lehernya di sana. Tuhan... Ini mengerikan. Menatap tali itu membuat bulu-bulu tipis Iqbaal meremang. Dan saat ini ia lebih memilih untuk memejamkan matanya.
“Kerjaan udah,” gumamnya. Iqbaal menganggap urusannya dengan Kiky akan segera selesai, karena saat ini ada Karrel yang bersedia menggantikan posisinya. Walaupun belum jelas Karrel akan diterima atau tidak. Yang jelas, Iqbaal sudah mencarikan penggantinya.
“Kuliah?”
Iqbaal menggeleng. Urusan kuliah itu tidak ada yang perlu dibereskan. Tidak mungkin Iqbaal menghadap staff jurusan untuk memberhentikan diri. Dengan alasan apa? Berhenti kuliah dengan alasan akan bunuh diri? Konyol! Jika Iqbaal mati nanti, maka namanya akan ter-blacklist secara otomatis kan?
“Temen? Bastian? Aldi?”
Hhhh... Jika Iqbaal berpamitan pada kedua sahabatnya itu. Maka mereka akan menelusuri sampai akar. Mereka akan bertanya terus menerus jika Iqbaal berpamitan seolah akan meninggalkan mereka. Maka dari itu, lupakan. Yang terpenting, Iqbaal sudah menitipkan (namakamu) pada Aldi. (namakamu)? Ya, gadis itu.
“(namakamu)...”
Mata Iqbaal seketika terbuka. Mengingat nama itu. Sama sekali Iqbaal belum membereskan urusannya dengan (namakamu). Sikap Iqbaal kemarin--sikap manis Iqbaal ketika mendekati (namakamu). Dan saat ini, Iqbaal kembali berusaha mengacuhkan (namakamu). Pasti gadis itu merasa dipermainkan. Iqbaal seolah menarik-ulur layang-layang yang tengah terbang tinggi, dan kali ini... Iqbaal memutuskan untuk melepaskan layang-layang itu. Membiarkan layang-layang itu terbang menjauh.
Kling... Layar ponsel Iqbaal menampilkan 1 pesan baru. “(namakamu)?” gumamnya. Baru saja ia memikirkan gadis itu, tiba-tiba saja gadis itu ada menghubunginya.
'Seandainya lo tahu perasaan gue sekarang kayak gimana.'
Iqbaal langsung mengeluarkan tampilan pesan, tanpa membalas. Kali ini lengan Iqbaal menekan tombol panggilan. Hanya selang beberapa detik, tiba-tiba.
“Tunggu gue di depan rumah lo.”
Hanya itu kalimat yang keluar dari mulut Iqbaal sebelum mengakhiri sambungan telepon. Iqbaal bangkit dari sofa, hendak meraih jaket yang menggantung di balik pintu kamar. Namun langkahnya terhenti,
“Aku cuma mau selesain semua.”
Iqbaal menatap Bella yang kini berdiri di hadapannya. Lebih tepatnya, melayang di hadapannya. Setengah kaki Bella telah kembali, hampir utuh.
“Aku janji. Setelah semua urusan aku selesai. Aku janji.”
Tanpa kata apapun lagi, Iqbaal bergegas menarik jaketnya, menyambar kunci motor yang tergeletak di atas meja.
***
Iqbaal mengeratkan jaket yang ia kenakan. Angin malam yang berhembus kencang ternyata mampu membuat tubuhnya merinding. Sudah 5 menit Iqbaal mondar-mandir di samping motornya. Menunggu (namakamu) untuk keluar dari balik pintu pagar rumahnya. Malam ini Iqbaal harus membereskan semuanya. Harus. Terlebih masalahnya dengan (namakamu).
“Baal?”
(namakamu) keluar dari balik pintu pagar dengan menggunakan kaos abu-abu yang dibalut sweater berwarna senada, dan celana pendek cokelat. Rambut panjangnya tergerai, beterbangan terhempas angin kencang. Membuat gadis itu sesekali merapikan rambutnya.
Sejenak Iqbaal terdiam. Apakah ia yakin akan mengungkapkan kata-kata yang sudah ia rancang sebelum pergi? Sepertinya begitu.
“Lo mau ikut gue?” tanya Iqbaal, sama sekali tanpa menatap (namakamu) sekilaspun. Kini Iqbaal sibuk memasukan kunci motor, Iqbaal sudah duduk di atas motornya lagi.
Sebenarnya itu bukan pertanyaan, melainkan ajakan. Karena jika Iqbaal bertanya pada (namakamu). Sebaiknya Iqbaal tunggu ketika (namakamu) menjawab pertanyaannya lalu ia menaiki motornya. Tapi saat ini, tidak.
(namakamu) tidak menjawab. Karena sepertinya Iqbaal tidak membutuhkan jawaban 'tidak'. (namakamu) hanya perlu menghampiri Iqbaal dan duduk di belakang Iqbaal dengan manis.
“Kita kemana?” tanya (namakamu) ketika Iqbaal menarik gas motornya.
“Nanti juga lo tahu.”
(namakamu) memutuskan untuk tidak bertanya lagi. Sekarang sudah pukul 8 malam. Tidak mungkin Iqbaal akan membawanya ke suatu tempat yang membutuhkan waktu tempuh lama. (namakamu) saat ini sibuk menarik kedua sisi sweaternya agar tertutup. Memeluk dirinya sendiri. Tidak mungkin (namakamu) berani menyentuh Iqbaal lagi pasca kejadian kemarin. Dan... Tadi siang. Iqbaal menyingkirkan lengan (namakamu) walaupun terkesan lembut, (namakamu) tidak mau menyakiti dirinya sendiri.
Motor Iqbaal terhenti. Hanya berselang 15 menit kini mereka sudah sampai di Taman Kota. Taman dengan lantai yang tersusun dari batu cetak yang sempat menjebak high heels (namakamu). (namakamu) turun terlebih dahulu, di susul dengan Iqbaal yang kini mulai melangkah bersamaan.
(namakamu) menatap sekeliling. Taman yang tidak terlalu ramai ternyata. Dalam suasana malam seperti ini hanya terlihat orang-orang dewasa berpasangan berkeliaran di sini, termasuk (namakamu) dan Iqbaal.
Iqbaal duduk pada sebuah bangku taman. Bangku besi yang hampir berembun karena terpaan angin malam yang lembab. (namakamu) hanya mengekor, dan saat ini gadis itu ikut duduk di samping Iqbaal.
Lima belas lampu taman yang tempo hari terpecah secara tiba-tiba, saat ini sudah kembali menyala dengan baik. Sepertinya sudah diperbaiki. Dan semoga untuk malam ini kejadian itu tidak terulang lagi, (namakamu) tersenyum tipis menatap lampu taman berwarna kuning mendung itu menyala berjejer.
“Lampunya udah dibenerin ya?”
Iqbaal mengikuti tatapan (namakamu) saat ini. Menatap 15 lampu taman yang kini sudah kembali menyala.
“Mmmm...”
(namakamu) hanya bergumam. Tatapannya masih terarah pada lampu taman yang sempat pecah mengenai keningnya. Kejadian aneh itu. Hening...
“Tadinya gue gak terlalu percaya sama cinta, tapi setelah gue ketemu sama dia, gue baru sadar setiap orang bisa memberikan segalanya demi orang yang dia cintai.”
Ucapan Iqbaal itu membuat (namakamu) menoleh, apa maksudnya? Dia? Siapa dia yang Iqbaal maksud? Bella?
“Rasanya sakit ketika gue bisa lihat dia tanpa bisa miliki dia. Sakit ketika dia ada di sini. Sakit saat dia tersenyum buat gue. Sakit ketika dia memanggil nama gue dan gue gak bisa menghampiri dia. Selama gue gak menghilang dari dunia ini, kayaknya gue bakalan tetap sakit.”
Iqbaal kembali mengeluarkan kalimat-kalimat yang jelas tidak dimengerti oleh (namakamu). (namakamu) benar-benar ingin bertanya saat ini. Ketidakmengertiannya benar-benar membuatnya tersiksa sendiri.
“Hhhh... Lupakan! Sok mellow banget gue malam ini.” Iqbaal terkekeh sendiri.
“Lo suka sama gue?”
Pertanyaan Iqbaal kali ini berhasil membuat leher (namakamu) seakan tertusuk. Iqbaal masih bertanya? Bukankah ia tahu pasti jawabannya? “Gue pikir... Ketika lo suka sama gue, gue bakalan suka juga sama lo. Tapi-”
Lagi-lagi Iqbaal harus melepaskan nafas berat ketika hendak melanjutkan kalimatnya.
“Gue berusaha suka sama lo karena gue tahu lo suka sama gue. Tapi, ternyata rasa suka gue sama lo itu gak sebesar rasa suka lo sama gue. Maka dari itu... Jauhin gue.”
(namakamu) yang sedari tadi sama sekali belum mengeluarkan suaranya, merasakan lehernya tertusuk lagi, bahkan tercabik. Memaksakan bulir-bulir air mata memenuhi sudut matanya. Berjejal untuk segera turun menyusuri pipinya.
“Gue berusaha mencintai lo. Semakin sering gue lihat mata lo, gue semakin tahu sebesar apa rasa sayang lo sama gue, rasa cinta lo sama gue. Dan ketika gue berusaha buat membalas itu semua, ternyata gue gak bisa. Gue gak mau lo dapetin laki-laki yang mencintai lo karena terpaksa. Terpaksa karena gue tahu semua perasaan lo. Maaf.”
(namakamu) sudah menangkupkan telapak tangan kanan untuk menyangga isak tangisnya. Semua yang ia dengar ternyata sanggup meluluh lantahkan hatinya. (namakamu) menatap Iqbaal, laki-laki yang kini duduk di sampingnya tengah menatap (namakamu) dengan tatapan bersalahnya.
'Jangan ulangi kata-kata itu lagi.'
“Cari laki-laki lain yang bisa sayang sama lo sebesar rasa sayang lo sama dia.”
Iqbaal mendengar semua ungkapan yang (namakamu) keluarkan dari matanya. Gadis itu tidak mampu berkata apapun, hanya isaknya kini yang terdengar, dan suara dari matanya yang mampu Iqbaal dengar.
'Gue sayang sama lo.'
“Bukan gue orang yang harus lo sayang, (namakamu).”
(namakamu) menggeleng. 'Gue berharap itu lo.'
“Hapus harapan lo sama gue. Ok?”
(namakamu) merasakan sakit yang luar biasa. Semua tubuhnya seakan terlumpuhkan, harapannya yang terlalu melambung tinggi terhempas kencang dengan tidak tanggung. 'Ini terlalu sakit, Baal.'
“Maaf gue bikin lo kayak gini. Maaf.”
Tangan Iqbaal terangkat, hendak mengusap wajah (namakamu). Namun sesaat gerakannya terhenti. Cukup. Ia tidak mau membuat (namakamu) lebih menderita dari perasaannya saat ini.
“Ketika lo merasakan sakit yang luar biasa, maka suatu saat lo akan merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Karena kebahagiaan akan datang sebanyak kesakitan yang kita rasakan.”
Iqbaal mencondongkan wajahnya, menatap (namakamu) yang masih sibuk meremas kencang dadanya. Menahan isak tangis yang kini berubah menjadi erangan-erangan tertahan. 'Aku cuma bisa bahagia, kalau ada kamu.'
“Jika semua terlalu sakit, anggap aja semua ini mimpi. Dan ketika besok pagi lo bangun. Maka perasaan lo akan kembali seperti semula. Lo gak akan merasa sakit lagi. Percaya sama gue.”
Iqbaal tersenyum, seiring dengan isi dadanya yang seolah semakin mendesak ingin keluar dan meneriakan kejujuran di dalamnya.
“Lo cantik. Bahkan keliatan lebih cantik kalau lo lagi senyum. Berhenti untuk nangis, (namakamu).”
Iqbaal mencoba menggoda (namakamu) seraya tersenyum tipis.
Gadis itu masih bertahan untuk menumpahkan semua air matanya. Akhirnya. Ini jawaban Iqbaal? Mengapa Iqbaal berlaku pura-pura tidak tahu atas perasaan (namakamu) terhadapnya, itu karena Iqbaal tidak bisa membalas rasa suka (namakamu) untuknya. Jawaban yang (namakamu) tunggu. Jika memang ini jawaban sebenarnya, maka (namakamu) tidak akan menunggu dan berharap Iqbaal untuk menjawab semuanya. Ini... Menyakitkan.
***
Iqbaal menelusuri lorong kamar kos yang ternyata masih ramai. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Namun ternyata, debum-debum suara hentakan musik yang keluar dari speaker dengan volume kencang masih jelas terdengar dari jejeran kamar yang Iqbaal lalui. Mungkin mahasiswa-mahasiswa itu tengah bergadang mengerjakan tugas makalah, atau hanya bergadang sekedar mengobrol dengan teman sebelah kamarnya.
Iqbaal berjalan linglung, benar-benar merasakan kakinya tidak menapak pada lantai. Merasakan kakinya, bahkan seluruh tubuhnya mati rasa. Udara dingin yang menggigit tubuhnya sama sekali tidak ia rasakan. Jaket tebalnya sudah ia berikan untuk (namakamu) kenakan tadi. Dan selama diperjalanan tadi, Iqbaal hanya mengenakan kaos pendeknya.
Tubuhnya mungkin sudah mati rasa. Rasa sakit yang luar biasa setelah ia menyatakan kebohongan di depan (namakamu) tadi seakan seperti hendak membunuhnya. Terlebih ketika menatap (namakamu) yang menangis bahkan mengerang kesakitan di hadapannya.
Jika saja (namakamu) tahu, bahwa Iqbaal merasakan sakit berkali-kali lipat dari sakit yang (namakamu) rasakan ketika menatap (namakamu) seperti itu. Keadaan tadi benar-benar seperti mencekik lehernya sampai ia merasakan sesak yang luar biasa.
Rasa bersalah yang Iqbaal buahkan dari hasil kebohongannya pada (namakamu), membuat tubuh dan nyawanya saat ini seakan terpisah. Terlalu sikap Iqbaal tadi terlalu menyakiti (namakamu)? Sampai-sampai ketika (namakamu) menangis, mengerang kesakitan Iqbaal sama sekali tidak menyentuhnya. Tidak mendekap, mencoba menenangkannya. Iqbaal membiarkan (namakamu) menikmati rasa sakitnya sendiri. Dan membiarkan dirinya menikmati rasa sakitnya sendiri.
Tiba-tiba ponsel di dalam saku celana Iqbaal bergetar. Bergetar lagi, karena getaran itu sudah Iqbaal rasakan dari setengah jam yang lalu, ketika ia tengah mengendarai motor tadi. Kali ini, Iqbaal menghentikan langkahnya, merogoh isi saku celana. Walaupun tangannya seolah tidak mampu bergerak meraih ponsel ringan itu,
“Hallo?”
'Lo kemana aja sih? Gue telepon lo dari tadi!'
Omelan itu terdengar kencang, sehingga Iqbaal harus menjauhkan speaker telepon sekitar 15 cm dari telinganya.
“Ada apa, Bang?”
'Gue gak bisa terima Karrel.'
“Apa? Kenapa?”
Suara lemas Iqbaal terdengar, bahkan untuk menggambarkan ekspresi kagetpun ia tidak mampu. Tenaganya terkuras habis oleh perasaan bersalahnya pada (namakamu) tadi.
'Karrel terlalu... Hmmm... Apa ya? Bingung gue jelasinnya. Pokoknya, Karrel belum bisa diterima. Jadi besok lo harus tetep masuk kerja kayak biasa.'
“Tapi, Bang-”
Tut... Tut... Tut...
Menyebalkan. Kiky memang selalu bertindak otoriter, seenaknya. Iqbaal kembali melangkah menuju pintu kosnya. Besok kerja? Jika Tuhan membiarkan Iqbaal untuk tetap hidup, maka Iqbaal mungkin masih bisa kerja untuk hari esok. Jika tidak... Sudahlah.
Clek... Iqbaal mendorong pintu kamarnya yang sudah tidak terkunci. Bagaimana pintu kamarnya ia biarkan tidak terkunci? Mungkin Iqbaal lupa mengunci pintu kamar ketika hendak berangkat tadi. Bodoh! Bagaimana jika ada perampok masuk dan membabad habis semua barangnya? Tidak ada yang berharga memang, namun di dalam masih menyisakan laptop dengan ratusan data kuliah dan data pekerjaan penting. Bagaimana jika itu semua hilang? Tidak apa, toh ia akan segera meninggalkan semuanya malam ini kan?
Nafas Iqbaal tertahan kini. Ketika memasuki kamarnya, mendapati sosok itu. “Bass!!!”
Tenaga Iqbaal yang bersisa 2,5 persen itu, ia pergunakan untuk berteriak. Bastian, pemuda itu kini ada di dalam kamar Iqbaal. Sedang apa?
“Baal? Kamar lo tadi gak di kunci. Jadi gue bisa masuk,” ucapnya dengan wajah datar.
Arrggghhh... Iqbaal tidak perduli! Sama sekali tidak perduli bagaimana cara Bastian untuk masuk kedalam kamarnya. Namun yang Iqbaal perdulikan saat ini adalah, apa yang tengah Bastian lakukan di dalam kamarnya?
“Cucian gue gak kering, Baal. Lo kan tahu di kosan gue gak ada tempat buat jemur kalau malem. Jadi gue ikut jemur di sini ya?”
Bastian nyengir, dengan tampangnya yang... Demi Tuhan, kali ini bisa saja Iqbaal membunuhnya.
“Lo dapet ide dari mana gantungin tali disini, Baal? Lo punya cucian basah juga? Sini sekalian gue jemurin.”
Tali yang sudah Iqbaal gantung dengan rapi melingkar di atas langit-langit kamarnya, kini Bastian bentangkan dan Bastian ikat pada teralis jendela kamar Iqbaal, membentuk sebuah segmen tali. Dan Bastian menggunakan tali panjang itu untuk menjemur cuciannya yang belum kering, cucian-cucian lembab itu telah berbaris tersusun rapi pada tali yang akan Iqbaal gunakan untuk... Hhhh... Iqbaal menjatuhkan tubuhnya di lantai. Duduk bersila. Apakah ada yang bersedia untuk menyodorkan pisau daging di hadapan Iqbaal saat ini? Maka dengan senang hati Iqbaal akan menggunakan sisa tenaganya untuk mencabik habis Bastian.

Bersambung..
Kepagian ga? Engga ya?

Eyes Voice [Citra Novy] Part 7

Pengarang: Novy Ciitra Pratiwi
@CitraNovy
FP: Citra's Slide.

~-- Just repost! No bully please please.

~

“Eyes Voice”
Part 7
_______

“Sakit?” tanya Iqbaal.

(namakamu) mengeleng dengan wajah meringis.

'Jangan ganggu (namakamu), Bella! Aku mohon, jangan pernah ganggu (namakamu)!'

 Iqbaal menahan rasa marah yang bergerumul di dalam dadanya. Serasa ingin berteriak kencang ketika Bella memperlakukan (namakamu) seperti ini. Lagi.

***
Brak... Iqbaal membuka pintu kamarnya dengan kencang. Dorongan itu menghasilkan suara gebrakan keras dan menyebabkan handuk serta baju kotor yang menggantung di belakang pintu berjatuhan.
Langkahnya terayun cepat, melempar tas ranselnya di atas tempat tidur dengan sembarang. “Aku udah bilang sama kamu. Jangan pernah ganggu (namakamu)!” bentak Iqbaal. Melepaskan tali-tali sepatunya dengan menarik-narik kencang.
Bruk... Sepasang sepatu kotor itu ia lempar ke belakang pintu. “Bella!” panggil Iqbaal. Ia tahu, dan ia bisa merasakan bahwa saat ini Bella ada di sekitarnya, namun makhluk itu belum kunjung menampakan diri.
“Ada apa sama kamu sebenarnya, hah?!”
Iqbaal menghampiri Bella yang kini muncul, berdiri di depan pintu keluar. Iqbaal menutup pintu, tidak lucu jika ada penghuni lain lewat memergoki Iqbaal tengah berbica seorang diri, “Aku udah bilang sama kamu kan?”
Iqbaal menatap Bella, memperhatikan tubuh Bella saat ini. Ada yang aneh, kemana kaki Bella? Kali ini Iqbaal melihat tubuh Bella tidak utuh seperti biasanya. Bella melayang, tanpa kaki. Lupakan! Mungkin Bella lupa mengikutsertakan kakinya. *apasih*
Iqbaal berkacak pinggang. Menatap Bella dengan tatapan semenyeramkan mungkin. “Jangan pernah ganggu (namakamu) lagi!” ujar Iqbaal dengan suara menghentak, nyaris seperti seorang guru matematika memarahi siswanya yang tidak mengerjakan tugas_-.
“Maaf,” gumam Iqbaal ketika menatap mata Bella yang mulai berair. “Maaf sekali lagi,” lanjut Iqbaal. Menatap Bella dengan sedikit rasa sesal, membentak-bentak makhluk itu seperti tadi, terlalu kasar. Mungkin Iqbaal menyadari, Bella tidak akan berlaku seperti itu jika ia benar-benar menepati janjinya, secepatnya. Dan, Iqbaal sebelumnya sudah berjanji bahwa urusannya dengan (namakamu), hanya sebatas artikel. Ketika masalah artikel selesai, seharusnya Iqbaal kembali menjauhi (namakamu). Itu janji Iqbaal kan? Dan menepati janji yang selanjutnya.
Iqbaal mendesah. Menjatuhkan tubuh kotornya di atas tempat tidur. Lemas. Perasaan apa ini? Nyaris melumpuhkan saraf-saraf motoriknya.
***
“Lo gila ya! Ini masih pagi banget! Mendung lagi!”
Salsha yang berjalan di samping (namakamu) tidak henti mengeluarkan protes-protes keras.
“Buka (namakamu)! Buka! Lo malu-maluin gue!”
Salsha mencoba meraih kacamata hitam yang (namakamu) kenakan, namun (namakamu) menghindar dan menepis-nepis lengan Salsha.
“Kalau lo malu, ya lo jangan jalan di samping gue!” perintah (namakamu) tanpa memperlambat laju langkahnya.
“Lo! Lo apa-apaan sih?!”
Lagi-lagi Salsha mencoba meraih kacamata yang (namakamu) kenakan.
Selama mata kuliah pertama berlangsung yang dimulai pukul 7 pagi, (namakamu) sama sekali tidak melepaskan kacamata hitam yang ia kenakan ketika memasuki kampus. Hingga masuk kelas. Hingga dosen jam pertama masuk. Hingga keluar, dan hingga saat ini ketika mereka akan menuju ruang W 8 untuk mengikuti mata kuliah kedua.
Jika saja (namakamu) bukan sahabat dekat Salsha. Sahabat yang kerap kali membantunya, maka Salsha akan senantiasa tega untuk tidak menyertai (namakamu) selama seharian ini jika (namakamu) tidak mau melepas kacamata hitam itu.
Trap... Langkah keduanya sudah mencapai batas pintu kelas. ternyata kelas sudah hampir penuh. Oh Tuhan, rasanya Salsha ingin sekali berlari mendahului (namakamu) ketika semua pasang mata di kelas menatap ke arah mereka saat ini. Mungkin lebih tepatnya menatap gaya aneh (namakamu) yang memakai kacamata hitam di dalam ruangan tidak terang ini.
(namakamu) berjalan gontai, memasuki kelas. Menuju kursi di baris kedua yang belum berpenghuni.
“Gue mohon sekali ini (namakamu), buka kacamata lo.”
Lagi-lagi Salsha mencoba melepaskan kacamata (namakamu).
“Enggak! Enggak!”
(namakamu) menepis kencang lengan Salsha. Membenarkan letak kacamatanya yang sedikit bergeser akibat ulah Salsha.
“(namakamu), lo tahu? Gaya lo sekarang ini sama sekali gak banget. Lo lebih mirip tukang pijat panggilan, (namakamu)!”
Salsha meringis ketika dia merasakan kata-kata dari mulutnya itu keluar dengan begitu jujur. Menatap (namakamu) dengan tatapan mengiba
“(namakamu), lo cantik banget!”
Ucapan Bastian yang saat ini melintasi kursi (namakamu) membuat Aldi dan Iqbaal yang tengah berjalan di belakangnya terkekeh pelan. “Nanti malem lo kerumah gue ya. Badan gue pegel,” lanjut Bastian membuat Aldi dan Iqbaal terkekeh lebih kencang.
(namakamu) merasakan gigi-giginya beradu, gemas. Bastian tidak punya kerjaan lain selain mengomentari dan mengganggu hidup (namakamu)? Itu lah Bastian. Terkadang (namakamu) ingin sekali merobek mulut Bastian jika laki-laki itu sedang mengeluarkan kata-kata menyebalkan yang mampu membuat (namakamu) serasa mati seketika karena malu.
Metode Penelitian Jurnalistik, mata kuliah kedua yang tengah (namakamu) dan mahasiswa yang berada di ruang W8 ikuti. Mata kuliah 3 SKS yang selalu menghasilkan tugas makalah setiap akhir perkuliahan dan dikumpulkan pada pertemuan berikutnya, minggu depan. Itu selalu. Makalah yang berisi bulir-bulir materi mata kuliah yang seharusnya disampaikan oleh dosen, setiap minggunya harus dicari dan dimengerti oleh mahasiswa itu sendiri.
“Namanya juga mahasiswa, bukan anak sekolah lagi kan? Tidak perlu saya suapi kalian dengan jejalan ceramah-ceramah materi perkuliahan.” Kata-kata itu kerap disampaikan oleh beberapa dosen yang jarang mengeluarkan penjelasan di dalam kelas, termasuk dosen di hadapan kelas (namakamu) saat ini.
Makalah yang dikumpulkan setiap minggunya hanya akan memenuhi gudang fakultas. Setelah dikumpulkan dan dibubuhi nilai, maka makalah-makalah hasil pemikiran keras dan hasil bergadang semalaman para mahasiswa itu hanya akan menjadi penghuni gudang sementara, dan berakhir di tumpukan sampah belakang gedung fakultas. Lalu dibakar besarta tumpukan sampah lain. Menyedihkan bukan? Namun itu lah, ratusan rim kertas itu hanya akan berakhir tragis.
“Tugas sampah,” rutuk (namakamu) ketika membereskan alat tulisnya. Mata kuliah sudah berakhir. Dan benar saja, tugas makalah sudah menunggu untuk dikumpulkan minggu depan.
“Gue gak akan jalan bareng sama lo kalau lo gak mau buka kacamata lo, (namakamu)!” tegas Salsha. Setelah menggantungkan tali tas pada bahunya, Salsha melangkah meninggalkan (namakamu) yang masih membenahi plester pada keningnya. Membenahi posisi kacamatanya. Seolah tidak mendengar dan tidak perduli dengan peringatan Salsha tadi.
Salsha menghentakkan kakinya ketika sudah sampai di ambang pintu kelas. Menatap (namakamu) yang masih duduk di kursi tanpa menghiraukan perkataannya. Sama sekali tidak mengejarnya. Lalu Salsha meninggalkan pintu kelas dengan langkah kesal.
“(namakamu)!”
Suara itu terdengar dari arah belakang. Suara itu... Itu suara Iqbaal. Butuh waktu 5 detik bagi (namakamu) untuk menyadari bahwa kini Iqbaal memanggil-manggil namanya. Seolah tidak mendengar sama sekali, (namakamu) melangkahkan kakinya meninggalkan kelas. Kakinya terayun cepat, satu langkah kakinya ia ambil lebar-lebar.
“(namakamu)!”
Tap... Tap... Tap... (namakamu) menuruni anak tangga dengan cepat. Tangan kirinya memegangi pagar tangga, melakukan gerakan berputar ketika tikungan tangga mulai ia lewati agar kecepatan berjalannya tetap stabil. Menerobos mahasiswa lain yang berjalan lelet.
“(namakamu)! Gue tahu lo denger suara gue! (namakamu)!”
Lagi-lagi suara itu membuat (namakamu) merinding dan mempercepat langkahnya.
Trap... Lantai lobi sudah (namakamu) tapaki. Tangannya terus-menerus membenahi posisi kacamata yang berangsur merosot, langkah cepat yang ia ambil membuat kacamatanya turun. “Duh!” keluh (namakamu), ketika ia harus menaik-naikan terus kacamatanya.
Langkahnya kini sudah keluar dari dalam gedung fakultas. Menapaki jalanan kampus yang sudah ramai. Mahasiswa yang hendak masuk kuliah dan keluar mata kuliah saling berpapasan, bahkan bertubrukan jika tidak hati-hati.
Iqbaal mendesah kencang. Menjenjangkan lehernya untuk terus mengikuti langkah (namakamu). Tidak mungkin ia berteriak-teriak memanggil (namakamu) dalam keadaan ramai seperti ini. Jelas hanya akan menghabiskan persediaan suaranya. Dan (namakamu) sama sekali tidak akan memberhentikan langkah untuk menunggunya.
Iqbaal mulai kesal. Maka ia memutuskan untuk mengejar (namakamu) lebih cepat. Gerakannya kini sudah terkesan berlari, mengejar (namakamu) yang kini mulai menapaki pelataran kampus.
“(namakamu)!”
Suaranya terdengar nyaris seperti bentakan. Iqbaal sudah berhasil menarik lengan (namakamu) saat ini. “Heh! Lihat gue!”
Iqbaal menggoyang-goyangkan lengan (namakamu), karena gadis itu kini membelakanginya.
“Lo kenapa sih?”
Dengan kesal Iqbaal memutar kencang pundak (namakamu), mengharuskan gadis itu untuk menghadap keberadaannya saat ini. “Buka!” Ketika Iqbaal hendak melepaskan kacamata hitam yang bertengger di atas hidung (namakamu), dengan cepat (namakamu) menepisnya.
“Lo keliatan aneh tahu gak pake kacamata kayak gitu! Lagian ini lagi mendung.”
Iqbaal kembali berusaha membuka kacamata yang (namakamu) kenakan, namun (namakamu) kembali menepis.
“Lo sengaja pake kacamata item supaya gue gak bisa natap mata lo? Gak bisa baca pikiran lo?”
Iqbaal tersenyum miring menatap (namakamu) yang saat ini tengah menyembunyikan rasa malunya, aksi bodohnya ini ketahuan.
“Lo pikir gue gak bisa baca pikiran lo ketika lo pake kacamata konyol lo itu, hah?!”
Iqbaal menarik kencang kacamata (namakamu), hingga terlepas, menyebabkan rambut (namakamu) yang terselip rapi di belakang telinganya berhamburan menutupi wajahnya.
“Balikin!”
(namakamu) mencoba merampas kembali kacamata yang berhasil Iqbaal lepaskan dari tempatnya.
“Gue tetap bisa baca pikiran lo sekalipun lo pake ini!” ucap Iqbaal dengan tangan yang ia taruh di belakang punggungnya, menyembunyikan barang yang ingin (namakamu) dapatkan. “Gue udah janji sama lo kan? Gue gak akan baca pikiran lo tanpa seizin lo.”
Ucapan Iqbaal tadi membuat (namakamu) terdiam, tidak lagi berusaha mendapatkan kacamatanya.
Bruk... Iqbaal menghantamkan kacamata hitam milik (namakamu) ke dalam tong sampah yang berjarak 1 meter di samping kirinya.
“Ok?”
Iqbaal mengusap lembut tengkuk (namakamu).
'Gue cuma gak mau keliatan bodoh di depan lo. Gue cuma gak mau lo tahu semua perasaan tolol gue!'
“Lo gak bodoh. Dan itu sama sekali gak tolol.”
Tanpa sadar Iqbaal menjawab ungkapan itu, suara yang ia dengar ketika menatap mata (namakamu).
(namakamu) menghentakan kaki kanannya dengan kesal, Iqbaal berbohong, ia berjanji tidak akan pernah membaca pikiran (namakamu) tanpa izin kan? Namun ternyata...
“Maaf, maaf.”
Iqbaal bergerak mundur, menatap (namakamu) yang mulai memicing. Mengaku salah sebelum (namakamu) menyemburnya.
“Gue bakalan pura-pura gak tahu apa yang lo pikirin. Ok?”
“Percuma. Tetep aja lo tahu.”
Dengan sekali menghembuskan nafas berat, (namakamu) memutar tubuhnya. Kembali melangkahkan kakinya untuk keluar dari pelataran kampus. Gadis itu menuju tepi jalan. Sepertinya akan menyeberang untuk mendapatkan kendaraan umum di seberang jalan. Tidak ada mata kuliah lagi, maka dari itu (namakamu) akan bergegas pulang. Lebih aman jika dirinya tidak terlalu banyak berinteraksi dengan Iqbaal.
Iqbaal bergeming. Menatap punggung (namakamu) yang kini mulai menjauh. Menatap rambut belakang (namakamu) yang berkibar-kibar akibat angin kencang siang ini. Menatap rok pendek (namakamu) yang juga ikut berkibar. Lupakan! Tatapan Iqbaal mulai ngawur, salah fokus. Menatap langkah kaki (namakamu) yang mulai menghampiri tepi jalan. Menatap... Bella.
Bella? Mata Iqbaal terbelalak ketika mendapati Bella yang kini mengikuti (namakamu) dari arah belakang. Tangan Bella terjulur kedepan, seolah menutupi kedua sisi wajah (namakamu). Apa yang Bella lakukan pada (namakamu)? Iqbaal berlari. Tanpa aba-aba langkah kakinya terayun kencang.
“(namakamu)! (namakamu)!”
Berkali-kali Iqbaal berteriak. Berusaha membuat (namakamu) menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang.
“(namakamu)!”
Kali ini teriakan Iqbaal terdengar dua kali lipat lebih kencang dari sebelumnya, terlihat dari urat leher Iqbaal yang mengencang.
Bella berjalan dibelakang (namakamu). Kedua telapak tangan Bella ditaruh tepat di samping telinga (namakamu), kali ini Iqbaal bisa melihat itu dengan jelas. “(namakamu)!!!”
Teriakan kencang Iqbaal yang hampir menghabiskan sisa suaranya tidak kunjung membuat (namakamu) menoleh. Dalam jarak yang hanya bersisa 1 meter kini Iqbaal mengulurkan lengannya.
Bruk... Iqbaal menarik kencang kedua pundak (namakamu). Membuat tubuh bagian belakang (namakamu) terhempas menghantam dada Iqbaal. Mendekap (namakamu) dari arah belakang. Tiba-tiba terdengar desingan suara klakson truk bermuatan 16 ton, suara itu terdengar sangat mengerikan. Melintas kencang di depan (namakamu), hanya dalam jarak setengah meter dari tempat berdirinya saat ini, rambut dan roknya berterbangan terhantam angin kencang akibat lintasan kecepatan hampir maksimal. Kencangnya laju truk besar itu seakan hendak membawa separuh nyawa (namakamu) untuk ikut pergi.
Tanpa sadar (namakamu) menahan nafasnya. Wajahnya memucat. Seolah aliran darahnya terhenti untuk menyebar mewarnai permukaan wajahnya. Lintasan cepat benda berukuran super besar itu baru saja hampir menggilas tubuhnya. Bagaimana bisa ia tidak mendengar suara klakson yang begitu kencang terdengar? Sebelum hendak menyeberang tadi, (namakamu) merasakan telinganya tersumbat, sama sekali tidak mendengar apapun, tatapannya kabur.
Iqbaal mengeratkan lingkaran lengannya pada pinggang (namakamu). Dagunya masih terjatuh lemas di atas pundak kanan (namakamu) dengan mata terpejam. (namakamu) bisa merasakan hembusan nafas Iqbaal yang tersengal tidak beraturan, mungkin laki-laki itu merasakan rasa kaget yang luar biasa. Rasa kaget yang sama dengan dirinya, bahkan lebih.
“Gue gak mau kehilangan lo.”
Suara pelan itu, terdengar sangat pelan, nyaris hanya seperti desisan. Terdengar di samping telinga kanan (namakamu), seiring dengan dekapan Iqbaal yang semakin erat pada pinggang (namakamu). Keduanya masih tetap bergeming. Dengan Iqbaal yang masih mendekap (namakamu) dari belakang. Sama sekali tidak memperdulikan sebagian mahasiswa yang lalu lalang dan menatap mereka dengan tatapan kaget, karena kejadian tragis itu hampir saja terjadi.
“Jangan tinggalin gue.”
Suara itu terdengar lagi. Kali ini terdengar lebih jelas. Ya, (namakamu) dapat mendengar suara itu keluar dari mulut Iqbaal, laki-laki yang saat ini seolah ikut merasakan nyawanya juga akan pergi.
***
“Aku akan tepati janji aku secepatnya sama kamu. Tapi aku mohon, jangan ganggu (namakamu) lagi.”
Iqbaal menggumam sendiri. Duduk di atas tempat tidurnya, meremas rambutnya dengan lemas. Kejadian tadi siang, rasa kaget yang ia rasakan tadi siang seolah belum lepas.
“Jangan sakiti (namakamu), dia benar-benar gak tahu apa-apa. Aku mohon.”
Wajah Iqbaal memerah. Matanya mulai terselubungi air mata yang selama hidup dewasanya ini belum pernah ia keluarkan. Demi permohonannya pada Bella, tanpa sadar air matanya mulai bergerumul memenuhi setiap sudut bawah matanya.
Iqbaal masih merasakan hatinya belum sembuh dari rasa sakit yang ia rasakan tadi siang. Ketika melihat (namakamu) hampir saja tertabrak truk besar itu, tepat di hadapannya. Iqbaal merasakan nyawanya juga seakan-akan ingin terlepas menemani (namakamu).
“Aku janji, aku akan segera nemenin kamu.”
Mata basah Iqbaal menatap Bella yang kini muncul di hadapannya. “Sekali lagi aku mohon. Jangan ganggu (namakamu).”
Iqbaal tertunduk, menjatuhkan tatapannya pada lantai putih di kamarnya.
Bella terdiam. Mata Bella memerah menatap Iqbaal, rahangnya bergetar menyaksikan tingkah Iqbaal saat ini. Iqbaal yang kini memohon pada Bella untuk tidak mengganggu (namakamu), untuk tidak lagi melukai (namakamu). Iqbaal berusaha melindungi gadis lain.
Bella merasakan bagian bawah tubuhnya mulai panas, wajahnya meringis. Bagian tubuhnya seakan terbakar menyaksikan tingkah Iqbaal di hadapannya.
***
“Baal!”
Suara ketukan hak sepatu beradu dengan lantai koridor terdengar mendekat, bersamaan dengan suara panggilan-panggilan itu. Namun Iqbaal sama sekali tidak menghentikan langkahnya, atau sekedar memperlambat langkahnya untuk menunggu seseorang yang kini berusaha mengejarnya.
“Baal!”
Suara itu terdengar lagi. Kini lengan Iqbaal sudah dikait oleh sebelah tangan. “Kok mata kuliah pertama lo gak masuk? Lo kerja ya? Ada ngeliput di luar?”
Pertanyaan-pertanyaan itu Iqbaal balas dengan tepisan pelan. Iqbaal menarik lengan kanannya lembut, melepaskan dari kaitan tangan (namakamu). Walaupun dengan gerakan lembut dan disertai dengan senyuman tipis, tetap saja sikap itu membuat (namakamu) seakan tercekik.
Iqbaal kembali melangkahkan kakinya. Meninggalkan (namakamu) yang masih bergeming dengan kepala yang penuh pertanyaan. Ada apa dengan laki-laki itu? Bukankah kemarin ia baik-baik saja? Ia menolongnya kemarin. Bahkan berkata tidak mau kehilangan (namakamu). Iya kan? (namakamu) terdiam, menatap langkah lemas Iqbaal yang terayun semakin menjauh.
***
“Jaga (namakamu),” ujar Iqbaal.
“Apa?”
Laki-laki yang duduk di hadapan Iqbaal melepaskan kacamata minusnya. “Lo ngomong apa?”
“Jaga (namakamu) baik-baik,” ulang Iqbaal dengan artikulasi yang diperjelas. “Maafin sikap gue kemarin.”
Aldi terkekeh pelan, menaruh kacamatanya di atas meja kantin yang tengah ia topangi. Menatap Iqbaal dengan wajah tidak percaya. Setelah sikap menyebalkan Iqbaal beberapa hari ini menggempurnya, Iqbaal meminta maaf? “Bukannya lo suka sama (namakamu)?” tanya Aldi.
Iqbaal menggeleng, “gue rasa enggak. Gue cuma... Cuma iseng. Suapaya bikin lo kesel,” jawab Iqbaal. Wajahnya menunduk, menatap meja kantin yang berwarna cokelat bersirlak di hadapannya.
“Apa?!”
Aldi sedikit menggebrak meja. “Iseng? Bikin gue kesel?”
Tatapan Aldi seakan ingin meninju Iqbaal untuk saat ini, jika tidak mengingat bahwa Iqbaal adalah sahabatnya. Orang yang selama 3 tahun ini setia menjadi sahabatnya, walaupun terkadang menjengkelkan.
“Gue cuma mau lo jagain (namakamu). Kalau lo gak bisa dapetin dia, pastiin (namakamu) dapet cowok yang baik,” ucap Iqbaal lagi. Wajahnya kini terangkat, menatap Aldi.
“Lo ngomong kayak gitu kayak mau mati besok aja. Lo mau kemana sih? Kantor lo ngasih tugas buat pergi ke luar kota? Atau keluar negeri?”
Iqbaal menggeleng.
“Terus?”
Aldi kembali menatap Iqbaal dengan penuh pertanyaan namun Iqbaal kembali menggeleng.
“Gue pasti jagain (namakamu). Dengan adanya lo, ataupun tanpa lo. Tapi gue cuma mau tahu alesannya, kenapa-”
Iqbaal bangkit dari hadapan Aldi, kakinya terayun meninggalkan Aldi sendiri di bangku kantin. Menyisakan jejalan pertanyaan dalam benak Aldi. Ada apa sebenarnya dengan Iqbaal? Apakah Iqbaal akan meliput berita ke tempat yang jauh dalam rentang waktu yang panjang? Atau...
***
Iqbaal menghempaskan kantung kresek putih yang ia jinjing di atas tempat tidur. Belanjaan yang baru saja ia beli dari minimarket di dekat kosan. Pasta gigi, sikat gigi, sabun mandi, facial wash, beberapa bungkusan mie instan, dan... Obat anti serangga, berukuran kecil.
Sebenarnya ia tidak harus membeli semua keperluan sebanyak itu. Perlengkapan bulanan yang ia beli setiap bulannya, tidak harus. Karena ia memutuskan untuk tidak akan melanjutkan semuanya dalam waktu dekat ini kan? Hanya benda berbungkus hijau dengan bertuliskan 'obat anti serangga' yang Iqbaal butuhkan. Hanya itu. Untuk? Entahlah.
Desahan-desahan kecil terdengar diruangan sepi berukuran 6x6 meter itu. Jarum jam detikan yang berjalan seakan mengingatkan Iqbaal pada waktu yang masih melaju. Waktu yang ingin Iqbaal akhiri.
Tangan Iqbaal bergerak meraih bungkusan hijau itu. Menatapnya, membolak-balik, membaca tulisan di depan dan belakang kemasan. Benarkah benda itu bisa memusnahkan serangga? Bagaimana jika manusia meminumnya?
Iqbaal menaruhnya kembali. Merasakan Bella akan hadir di sekitarnya. “Aku harus minum ini?”
Iqbaal kembali meraih bungkusan hijau itu dan menunjukkannya pada Bella.
“Apa aku akan mati seketika kalau minum ini?” tanyanya. “Aku takut aku gak mati dan malah sekarat di rumah sakit,” gumamnya dengan suara pelan, namun Bella mampu mendengar itu.
Iqbaal kembali meletakan obat serangga itu ke dalam kantung kresek. Kakinya bergerak, menghampiri laptop yang terbuka di atas mejanya. Iqbaal menarik kursi, duduk di hadapan laptopnya. Sejenak menggerakan jarinya di atas keyboard. Hanya selang beberapa menit, muncul sebuah artikel pendek pada layar laptopnya,
_______
'Bahayanya obat nyamuk jika diminum'
Obat nyamuk bakar dan semprot seperti Baygo* mengandung 2 racun utama yaitu Propoxur dan transfluthrin. Propoxur adalah senyawa karbamat (senyawa antaranya, MIC, pernah menewaskan ribuan orang dan menyebabkan kerusakan syaraf ratusan ribu orang lainnya dalam kasus Bhopal di India) yang telah dilarang penggunaannya di luar negri karena duduga kuat sebagai zat karsinogenik sedangkan transfluthrin relatif aman hingga saat ini. Sedangkan obat nyamuk lotion seperti Aut*n engandung racun bernama Diethyltoluamide atau DEET. DEET ini sangat korosif, PVC atau besi karena dalam hitungan minggu akan mengikis lapisannya. Bayangkan bila itu kena kulit kita ? Jadi sekali lagi telah terjadi
NAH... ITU BELUM DI MINUM! APALAGI DIMINUM???
Saran saya, jika anda akan melakukan aksi bunuh diri, tidak usah meminum baygo*, cukup meminum Aut*n. Agar harga lebih terjangkau.
_______
Iqbaal sejenak tertegun membaca artikel yang terpajang di halaman monitor. “I... Iya, aku udah janji. Aku akan tepatin janji sama kamu. Aku gak takut kok,” ujar Iqbaal dengan wajah memucat, menatap Bella yang kini menatap matanya tajam.
Iqbaal kembali melangkahkan kakinya menghampiri tempat tidur, dengan gerakan membungkuk ia bisa meraih obat anti serangga itu lagi. Menatap Bella sekilas. Lalu tertegun, “dari kemarin, aku lihat kamu. Kaki kamu kemana? Pinggang kamu?” tanya Iqbaal, menatap tubuh Bella yang tidak utuh.
Bella melotot, matanya seakan menyiratkan kekesalan. Iqbaal sengaja mengambil topik pembicaraan untuk menunda-nunda menepati janjinya. “Ok, ok. Aku tahu.”
Iqbaal mulai membuka tutup botol bermuatan 100ml itu. Tanpa disadari tangannya bergetar. Apa ia harus berdoa dulu sebelum meminum obat itu layaknya berdoa sebelum makan? Ok, lelucon itu sungguh tidak lucu untuk saat ini.
Iqbaal membuang nafas panjangnya. Menjepit hidungnya dengan jempol dan telunjuk yang saling terapit.
Tok... Tok... Tok...
Iqbaal mendesah. “Ada tamu,” ujar Iqbaal masih menjepit hidungnya hingga suaranya terdengar sengau.
“Baal!”
Ketukan pintu itu terdengar brutal disertai dengan suara panggilan yang terus menerus.
“Aku buka pintu dulu.”
Iqbaal beranjak dari atas tempat tidurnya. Kembali menutup botol berkemasan hijau yang ia genggam dengan tangan penuh keringat. Melangkah menuju pintu kamar yang sedari tadi belum berhenti diketuk dari arah luar.
“Woyyy!”
Dengan gerakan selonong, kini Bastian sudah memasuki kamar Iqbaal. “Aldi bilang, lo mau tugas ke luar ya? Berapa lama? Lo ngeliput apaan?” tanya Bastian, melangkahkan kakinya menuju lemari es, mengambil sebuah minuman kaleng dari dalamnya. Begitulah sikapnya. Tanpa permisi.
“Silahkan aja, Bass. Masuk, ngambil minuman, gak sekalian sama makanannya? Silahkan. Disini bebas kok, gak ada penghuninya,” ketus Iqbaal menatap tingkah menyebalkan Bastian.
Bastian nyengir. Sama sekali tidak menghiraukan perkataan Iqbaal ia kembali mengoceh, “Jangan bilang lo mau ke Manchester buat ngeliput MU!”
Bastian duduk di sofa, diikuti Iqbaal yang duduk di sampingnya walaupun dengan menahan kesal.
“Lo kesini cuma mau nanya itu?”
Bastian mengangguk, mengelap bibirnya yang basah dengan punggung tangannya setelah selesai meneguk minuman. “Jangan lupa beliin gue oleh-oleh di sana ya? Kaos MU juga gak apa-apa, tapi harus asli. Kalau perlu ada tanda tangan-”
“Bass!”
Iqbaal mengacak-acak rambutnya. Tidak tahukah Bastian apa yang sedang Iqbaal alami saat ini? Bagaimana Iqbaal bisa pergi ke Manchester dalam keadaan sudah mati nanti? Iqbaal tidak akan pergi untuk bertugas! Tetapi untuk menepati janjinya pada Bella, bersama Bella!
“Kenapa? Terus lo mau ngeliput kemana?”
Wajah Bastian saat ini benar-benar memohon untuk ditampol.
Iqbaal bangkit dari tempat duduknya. Melangkahkan kakinya menuju kamar mandi, sepertinya ia harus membasuh permukaan wajahnya jika berlama-lama ngobrol dengan Bastian. Emosinya yang tergambar di wajahnya harus diguyur oleh air dingin.
Kapan Bastian akan pergi? Jangan bilang jika malam ini Bastian akan menginap di kosannya! Lalu bagaimana dengan janjinya pada Bella? Iqbaal benar-benar enggan untuk menunda lagi. Ia takut jika terjadi sesuatu pada (namakamu) lagi. Iqbaal masih ingat dengan benar bagaimana jantungnya seakan berhenti berdegup ketika melihat (namakamu) tadi siang.
Iqbaal memutar knop pintu kamar mandi, mendorongnya untuk terbuka. Melangkah keluar dari dalam kamar mandi. Hidungnya mengendus-endus seperti anjing pelacak menemukan sebuah barang bukti. “Bau apa nih?” tanya Iqbaal pada Bastian yang saat ini sudah menelungkupkan tubuhnya di atas tempat tidur sambil mengotak-atik laptop milik Iqbaal.
“Kamar lo banyak nyamuk. Lo jarang nyuci baju kotor ya? Tadi gue semprotin obat nyamuk. Lo beli obat nyamuk ukuran kecil? Mana cukup? Gue semprotin sekali juga abis tadi,” jawab Bastian tanpa menoleh ke arah Iqbaal sama sekali.

“Apa?!”

“Kenapa?”

Bastian kini membalikan tubuhnya mendengar pekikan Iqbaal yang sepertinya terdengar sangat kaget.

“Obat nyamuknya lo pake? Abis?”

“Iya. Kenapa sih? Obat nyamuknya emang buat di pake kan? Wajar kan gue pake? Lo gak ada niat buat minum obat nyamuk kan, Baal? Otak lo udah gak waras kalo sampe lo ada niat buat ngelakuin itu.”
Bersambung..
Eyes Voice dulu yaa.. Perfect Scandal nanti jam 2-3an *kalogaklupa-,-