Sabtu, 22 Agustus 2015

Mon Sourire Foux Part 2: Kemana Ozy?


Mon Sourire Foux

Part 2

Author; nayamumt (twitter)

‘Kemana Ozy?’

~

Acha sendiri ikut tersenyum, ia juga menganggap Keke sangatlah cantik dan manis. Pastinya hatinya juga.

 

“Oh iya. Kayaknya kalau Keke duduk sama Ozy gimana? Kalau di belakang kasian Keke nya, ntar gak kelihatan.”

Acha mendelik kaget mendengar omongan bu Okky. Ada apa dengan guru itu? Dari cara berbicaranya yang tajam dan biasanya tak peduli menjadi begitu care dengan Keke. Dan terlebih lagi, kenapa ia harus kaget kalau Keke duduk bersama Ozy? Di kelas X dulu, Ozy juga sempat duduk dengan perempuan lain. Dan Acha biasa saja. Tapi entahlah, Acha merasa ada gejolak yang memaksanya untuk menahan Bu Okky mendudukkan Keke dengan Ozy. Tapi, itu tak mungkin dirinya lakukan kan?

 

‘Oke Acha. Kamu Cuma sahabatnya Ozy. Sahabat, oke sahabat! Mau Ozy duduk sama Keke kek, Dea kek, atau sama siapapun terserah aja. Lagian Ozy gak mungkin kan lupain kamu, Cha? Oke biasa aja Cha. Santai ...’ gumam Acha sendiri dalam hati.

 

Akhirnya beberapa menit kemudian, Keke dipersilahkan duduk disamping Ozy. Ozy yang memang dasarnya mudah bergaul, tersenyum kepada Keke. Ia menyapa Keke duluan.

 

“Achmad Fauzy Adriansyah. Atau ... Ozy.” Ozy mengulurkan tangannya. Yang langsung disambut hangat oleh uluran tangan Keke serta senyuman manisnya seperti gula aren (nahloh).

 

“Keke Angeline. Ng ... Keke,” Keke tersenyum malu. Sesegera mungkin ia mengalihkan pandangannya ke lain arah karena semburat merah muncul di kedua pipinya.

~

Keke POV.

 

Gue duduk sama cowok yang ganteng itu? Duh gak kebayang gimana hari-hari gue duduk disamping dia. Gue bakal berusaha semaksimal mungkin buat dia enjoy sama gue. Dan gue gak akan nyia-nyiain ini. semoga dengan gue deket sama dia, gue bisa ngelupain Deva.

Tunggu, gue duduk disamping dia. Apa yang mau gue omongin? Kalau dia jaim gimana? Kalau dia gak suka duduk sama cewek gimana? Aduh gawat, gawat, gawat!

 

“Achmad Fauzy Adriansyah. Atau ... Ozy.”

 

Gue baru sadar dia lagi ngenalin dirinya ke gue. Tunggu, dia juga ngulurin tangannya? Persis kayak masih SD aja. Bahkan kayaknya SD gue gak kayak gitu. Tapi itu gak membuat gue mau menolak uluran tangan dia.

 

Diluar dogaan, he’s so kind and ... handsome. Tapi, gue takut ini Cuma karena ada Bu Okky. Dan gue masih bingung sama suasana sekolah baru gue. Kayaknya diam lebih baik.

Tapi, gue akan berusaha untuk menjalani hari-hari gue senormal mungkin. Hari-hari dimana jauh sebelum gue kenal Deva.

~

KRING!!

Jam istirahat berbunyi membuat seisi kelas hendak bersorak. Untunglah mereka masih ingat ada Bu Okky di dalam sini. Tapi Bu Okky sepertinya mengerti, beliau langsung menyudahi pelajaran dan pergi keluar. Saat Bu Okky sudah berjalan 5 langkah keluar dari kelas itu ........

...........

“HOREEEEE!!” sorak anak-anak kelas XI-IPA1 termasuk Dea. Lain dengan Acha yang masih berkutat dengan soal Matematika, begitulah Acha. Ia selalu merasa penasaran dan tak akan menyerah.

“Cha? Pena gak perlu lo gigitin gitu kali! Udah istirahat juga. Lo mau menyia-nyiakan waktu 35 menit ke depan dengan soal-soal Matematika yang hampir bikin otak gue setengah sedeng ini?” tanya Dea.

“Nggak. Gue Cuma penasaran aja sama jawaban nih soal. Gue nitip aja deh, De. Bakpao coklat gimana?” tawar Acha memasang wajah tanpa dosa yang disambut Dea dengan tatapan tajam.

“NO! Gue males ntar balik ke kelas. Mending cari cogan-cogan SMA Harapan Bangsa di kantin. Atau coba langsung ngedeketin mereka?” Dea malah sibuk dengan pikirannya sendiri.

“Ok. Lo duluan aja De, hushushhhhh.” Acha mengusir Dea layaknya kucing. Dea melengos dan berjalan pergi ke kantin.

Sekitar tiga menit kemudian,Acha mulai jenuh. Ia teringat sesuatu. Oh iya, Ozy! Acha segera melirik bangku Ozy yang kosong. Acha melengos kecewa. Kemana sih Ozy? Biasanya Ozy selalu menunggu dirinya untuk ke kantin bersama.

Dengan langkah berat, Acha pun melangkah ke kantin seorang diri.

~

Ajaibnya, di kantin masih banyak makanan enak yang bebas Acha beli. Semua terlihat enak dan Acha ingin menyantap semuanya. Untunglah ia masih bisa menahan dirinya agar tidak kalap makan terlalu banyak.

“Duh ... Ozy mana ya?” gumam Acha. “Apa SMS aja ya ...”

Ide bagus untuk segera men-SMS Ozy! Acha menimang-nimang handphonenya, semenit kemudian (lama banget ya-_-) ia pun memutuskan untuk menghubungi Ozy.

‘To: Ozy

Zy. Dimana? Kok ninggalin sih.’

Send! Acha segera mengantongi ponselnya dan berjalan ke area kantin sembari menunduk, entah kenapa ia merasa aneh jika tak ada Ozy disampingnya. Oke Acha, bersikaplah biasa saja!

Karena menunduk terlalu lama, Acha menabrak bahu seseorang. Sungguh itu tak disengaja! Acha segera menoleh, dan melihat siapa yang ditabraknya.

Dia ...

Dia ....

Ray Prasetya!

Oh, Acha benar-benar kaget sekarang. Acha menutup mulutnya kaget, sedetik kemudian ia segera meminta maaf.

“Rey? Maaf ya, aku gak sengaja ... nggak apa-apa kan?” tanya Acha dengan tatapan menyesal. Kini Acha merasa, puluhan pasang mata melirik ke arahnya. Yang dipanggil Rey hanya menatap Acha tajam.

Rey? Siapa Rey? Oh, dia Ray Prasetya. Murid yang dikenal bandel dan sering keluar-masuk ruang BP. Entah sudah berapa poinnya, tapi ia belum juga di out dari SMA ini. bingung juga kenapa ia bisa masuk di SMA ini.

Jangan mencoba-coba menabrak bahu Rey, jangan coba-coba menatap Rey terlalu lama, jangan coba-coba bersenggolan dengan Rey, jangan coba-coba melanggar perintah Rey, dan apalagi meludahi Rey. Atau .... kamu siap untuk dikerjai habis-habisan oleh Ray dan kawan-kawan.

Ray menatap Acha tajam dan malas. Ia segera menatap Acha dengan tatapan menyebalkan.

“Cih. Berani-beraninya ya lo nabrak bahu gue sampai gue kedorong ke belakang? Ternyata lo berani juga ya.” Ray tersenyum miring. Membuat Acha semakin takut, dengan cepat Acha menunduk.

“Tatap gue!” Ray mulai berseru dan menarik dagu Acha. Membuat Acha terpaksa melihat ketampanan Ray (errr, lupakan. Ini efek penulis juga RayReady).

 

“Karena lo cewek, lo gak akan berurusan dengan gue.” Ujar Ozy pelan sambil menatap Acha lekat-lekat. Acha menghembuskan nafas sedikit lega.

 

“NGGAK! Itu bukan jadi alasan. Lo tahu kan, gue gak akan semudah itu ngelepas mangsa?” tambah Ray.

Apa? Mangsa? Ray kira Acha ini apa? Acha tambah ketakutan. Berharap seseorang melawannya.

 

Ray menatap kedua bola mata Acha. Lalu berpindah, ia melihat dari ujung rambut sampai kaki. “Well, lo cukup cantik.” Ray mengelus rambut panjang Acha. Membuat Acha bergidik. Ray menggenggam jemari tangan Acha.

 

“Tapi, lo bakal dapet ini dari gue." Ray tersenyum miring, lalu sebelah tangannya mengambil air es yang ada di salah satu meja kantin dan ...
BYURRRR!
Menyirami satu gelas air es itu dari atas rambut Acha.
"Owwww ..." desis beberapa anak di kantin merasa kasihan, tapi tak mau berurusan dengan Ray.

Belum hilang rasa kaget Acha, Ray kembali mengguyur dengan segelas air es lagi. Berturut-turut hingga tiga kali. Dan untuk yang terakhir, Ray mengguyur kepala Acha dengan es jeruk. (abis berapa itu duit Rey?salah fokus salah fokus :v ) Membuat kepala Acha lengket-lengket sekarang.

Rey tertawa. "Mending kan gue kasih cuma kayak gini? Nggak pake cara yang lebih kasar."
Kemudian, Ray dan rekan-rekannya pergi. Menyisakan Acha yang terdiam dipandangi puluhan pasang mata.

"Masya Allah, Achaaaa! Lo kenapa?!" sebuah suara yang dikenali Acha membuat Acha sedikit tersadar dari diamnya. Tapi tak membuat Acha menoleh. Sampai si sumber suara itu datang, Acha tak bisa menahan untuk memeluk si sumber suara itu.

BRUK.

~
Lah itu saha lagi?
Maaf gak jelas banget ini cerbung._.


Semoga masih mau baca part 3 ya ><
Saya post minggu pagi deh ^,^
 

Read below!

Pada bingung ya aku tiba-tiba nge share cerbung dan castnya idola cilik? (padahal gak ada yang bingung). Oke whatever, tapi intinya lagi demen banget bikin cerbung dan post nya di blog aja. Itu dibikin sendiri yaa bukan re-post cerbung orang kok. Selesein Mon Sourire Faux dulu ya baru re-post cerbung yang lain. Thankies :D

Mon Sourire Faux Part 1: Murid Baru? Dia Manis.

[Mon Sourire Faux itu Bahasa Prancis. Kalau di google translate artinya 'senyuman palsuku'. Maaf kalau salah nih, soalnya cuma pakai google translate bukan tanya ke ahli bahasa Prancis -,-]
.
Mon Sourire Faux
Part 1
‘Murid Baru? Dia Manis!'
~
Cast: Anak-Anak Idola Cilik.
~
Mentari mulai memancarkan sinarnya. Udara pagi yang tadinya sangatlah dingin berubah sedikit hangat. Langkah tak beraturan terdengar dari tangga sebuah rumah berpagar abu-abu.
Larissa Safanah Arif, atau akrab disapa Acha. Gadis itu kini sudah berumur 16 tahun, dan ia sedang menjalani hari-harinya di kelas XI. Sebenarnya waktu sudah menunjukkan pukul 06.40. Itu artinya ...
TOKTOKTOK.
Pintu rumah Acha diketuk seseorang. Acha sudah hafal betul siapa yang mengetuk. Ia langsung berlari ke ruang makan dan menyambar roti serta selai stroberi dengan cepat. -,-
“Acha? Astaghfirullah .... pelan-pelan nak, kan sudah SMA kamu ini masih aja grasak grusuk.” Muncul Mama Acha dari arah lain, dan masih memakai celemek. Gadis yang dipanggil Acha itu hanya nyengir.
“Itu pasti Ozy udah diluar Ma! Acha gak mau bikin Ozy nunggu.” Jawab Acha. Sedetik kemudian ia menggigit rotinya dengan cepat.
“Hhh ...” Mama menghembuskan nafasnya kasar. “Mama udah tahu, kok. Semalam kamu begadang buat tugas, jadi pasti paginya bangun telat. Jadi Mama udah bekalin sarapannya. Itu.”
 
Mama menunjuk kotak bekal dengan tutup berwarna merah milik Acha. Acha tersenyum riang dan segera meraihnya. “Makasih Maaaaaaa. Mmuaahh.” Satu kecupan medarat di pipi Mamanya.
“Iya-iya, sana berangkat. Ozy nya kasian nunggu lama,” Mama tersenyum. Acha mengangguk dan segera berpamitan. Ia meraih sepatu tali nya dan menjenjeng keluar rumah.
 
Cklek! Acha membuka pintu rumahnya dan sesosok pria yang lebih tinggi beberapa senti dari Acha berdiri dengan senyuman manisnya.
 
“Maaf Zy! Lama ya? Biasalah, kamu tahu aku lama.” Acha nyengir kuda. Ozy mengangguk mengerti.
“Elahhh ... biasa ajalah Cha! Kita udah sahabatan berapa tahun, sih? Masa gue nggak tahu sahabat gue ini males banget bikin tugas jadi malamnya dikebutin.” Tebak Ozy sambil tersenyum penuh arti.
“Loh? Zy? Kamu tahu darimana.” Tanya Acha kaget.
“Itu .... semalem gue mau nganterin titipan Mama gue jam 12 an. Sebenarnya mau paginya, tapi mumpung itu sekalian ke minimarket jadi sekalian anterin ke rumah elo Cha. Dan gue liat elo lagi setengah tidur di sofa, yang bukain Tante Maya.” Jawab Ozy. Tante Maya adalah mama Acha.
 
“Gitu ya? Duhh aku nggak inget sama sekali. maaf ya, Zy?” Acha nyengir lagi. Ia mencoba memutar otak, memangnya semalem Ozy dateng ya? Kemudian, Ozy mengangguk.
 
“Masih diem? Nggak takut telat?” goda Ozy.
“Ihhh... kelamaan ngobrol nih! Ya udah yuk,” Acha menarik tangan Ozy. Ozy tersenyum saja.
~
Dalam waktu 15 menit, motor Ozy sudah terparkir di halaman SMA Unggul Harapan Bangsa. Beruntung sekali, dua sahabat itu bisa masuk SMA favorit ini dan selalu satu kelas dari kelas 10. Seperti biasa, Acha dan Ozy berjalan berbarengan. Karena mereka bersahabat, itu biasa saja bagi keduanya. Tapi tidak untuk beberapa anak yang tidak tahu ‘sejarah’ mereka sejak kecil.
 
“Pagiiii Achaaaa.” Suara riang Dea mulai terdengar. Ozy dan Acha spontan menoleh ke sumber suara.
 
“Eh, pagi ya De.” Jawab Acha sembari memasang senyumannya. Acha menaruh tasnya disamping Dea. Dea adalah sahabat karibnya sejak kelas XI ini. dulunya Dea anak X-MIA5. Sekarang XI-MIA1 bersama Acha. Acha dan Ozy dulunya juga sekelas, yaitu X-MIA7.
 
Ozy sendiri duduk satu meja di sorong kiri Acha, sendirian. Teman duduknya, Rio sakit sejak beberapa hari lalu. Acha sebetulnya ingin sekali pindah duduk disamping Ozy, tapi ia tidak enak hati dengan Dea dan anak-anak lainnya.
 
Bel berbunyi, membuyarkan lamunan Acha.  Acha segera mengeluarkan buku paket Matematika karena sebentar lagi Bu Okky akan mengajar di kelas Acha.
 
“Cha, PR udah lo kerjain? Mampus gue gak kerjain ...,” bisik Dea.
“Eh? Aku? Udah kerjain kok. Kamu mau lihat, De?”tanya Acha. Dari tutur bahasa saja sudah keliatan Dea dan Acha sangatlah berbeda. Acha sendiri lebih terbiasa ngomong ‘Aku-kamu’ ke setiap orang, sedangkan Dea dan anak-anak lain lebih suka ngomong ‘lo-gue’.
 
“Duh, gimana ya? Mau lihat juga pastinya pengen banget tapi gue takut ketahuan. Kalo nggak kerjain ... gue pastinya dapet hukuman dari Bu Okky. Duhhh poin gue nambah deh.” Cetus Dea menyesal.
 
“Udahlah De. Kamu jujur aja. Bukannya aku gak mau lihatin, but ... she loves honesty.” Acha mengulum senyum. Dea pun mengangguk.
 
Suara hak sepatu yang berbenturan dengan lantai mulai terdengar. Suara deheman yang keras membuat seisi anak kelas Acha menyadari siapa yang akan masuk. Pastinya, Bu Okky dengan rambutnya yang disanggul dan wajahnya yang penuh make up. Antara lipstik, blush on, maskara, dan yang lainnya entah apa Acha tidak tahu. Karena Acha, kalau memakai make  up hanya sekedarnya saja, dan Acha sangat jarang make up-an.
 
Yang ditunggu beneran datang. Perempuan berumur 35 tahunan lebih dengan sorot matanya yang sayu. Eh, kenapa?  Omong-omong soal penampilannya, tata rambutnya masih disanggul, dan hari ini ia memakai rok ketat dibawah lutut berwarna merah. Tatapan mata Bu Okky yang tidak memancarkan keseriusan membuat keanehan tersendiri. Apalagi make  up yang dipakai beliau tidak terlalu menor dan tebal sekarang. Hanya lipstik dan sedikit blush on merona di pipinya.
 
Eh, tapi disebelah Bu Okky ada seorang gadis memakai seragam SMA ini juga.
“Pagi.” Sapa Bu Okky, lalu beliau terbatuk. Oh mungkin beliau sedang flu, itu penyebab sorot matanya tidak bersemangat.
“Pagi.” Jawab beberapa anak. Sisanya tanpa tak bersemangat dan kehilangan mood pagi ketika melihat bu Okky.  Tapi mereka bingung dengan gadis disebelah bu Okky.
 
“Kalian pasti bertanya-tanya ya? Ini murid baru di kelas ini. namanya, Keke Angeline pindahan dari Bali.” Kata Bu Okky.  “Dia baru pindah kesini 1 minggu lalu, dan baru sekolah hari ini. kalian bisa kenalan di jam istirahat, dan mohon bantuannya untuk berteman dengan Keke.”
 
Semua anak hanya mengiyakan saja. Sebagian anak laki-laki mulai tersenyum-senyum sendiri dan saling berbisik “Manis woi. Gue gebet ye” dan lain-lain. Yang dipanggil Keke hanya tersenyum, mungkin masih bingung dengan suasana kelas barunya.
 
Acha sendiri ikut tersenyum, ia juga menganggap Keke sangatlah cantik dan manis. Pastinya hatinya juga.
 
“Oh iya. Kayaknya kalau Keke duduk sama Ozy gimana? Kalau di belakang kasian Keke nya, ntar gak kelihatan.”
~
Bersambung :p
Gaje ya? Iya sudah aku dugaL
Cuma mau numpahin segudang ide ke dalam bentuk tulisan. Insya Allah di next malam ini/besok deh. Insya Allah.
 

Senin, 29 Juni 2015

.....

Hai.
Sori ya.
*pasangmukamenyesal*
 aku gabisa repost Ballerina's Bride dulu._. Tadi itu udah bisa tapi tiba-tiba ..... hh, sudahlah.
Maaf ya._.
Ntar aku repost lagi cerbung yang lain:3

Minggu, 28 Juni 2015

~ !!!

Haii ._.
Aku cuma repost dari FP Makcit ya, sama beberapa FP lain.
No bully yaa'-'
Rencananya nanti aku mau repost Ballerina's Bride.
Wait .... ~

Eyes Voice [Citra Novy] Part 10

Pengarang: Novy Citra
@CitraNovy
FP: Citra's Slide
.
No bully just repost.

~

“Eyes Voice”
Part 10
_______

'Kamu mencintai aku? Apa kamu benar-benar mencintai aku? Ketika aku lihat (namakamu) hampir saja mati, aku merasakan aku benar-benar akan ikut mati. Jika aku bisa, aku akan menggantikannya untuk mati. Itu yang aku rasakan ketika aku benar-benar mencintai (namakamu). Dan sekarang, kamu meminta aku ikut mati, dengan alasan kamu mencintai aku? Apa itu yang namanya cinta?' ucap Iqbaal. Membuat Bella terdiam, menatap Iqbaal dengan rahang yang bergetar.
'Aku mencintai (namakamu), aku mohon. Aku benar-benar mencintai (namakamu).'
'Kamu udah janji sama aku. Kamu gak akan pernah sentuh gadis lain selain aku. Kamu bohong! Tapi aku masih bisa maafin kamu.'
Bella menghentak-hentakan setiap kata yang ia suarakan. 'Kamu pernah bilang sekalipun ajal gak akan pernah bisa memisahkan kita! Kamu bohong! Aku tetap tetap masih ada disini itu karena janji kamu!'

 Bella berteriak kencang, seolah berusaha mengeluarkan seluruh isi yang menjejali dadanya.
Iqbaal tertegun. Laki-laki itu hanya mampu terdiam, 'maaf,' gumam Iqbaal.

'Maaf? Dan sekarang?'

'Sekarang... Aku mencintai (namakamu).'

 Iqbaal menatap (namakamu) yang masih terisak di samping tubuhnya, 'aku benar-benar ingin memeluk dia sekarang.'

Bella meringis, terlihat dari wajahnya. Sepertinya Bella terlihat tengah merasakan kesakitan mendengar Iqbaal mengucapkan kalimat itu. 'Bilang kalau kamu cinta sama aku!' bentak Bella di sela ringisannya.

'Kamu kenapa?' tanya Iqbaal, menatap Bella yang kini terpejam dengan wajah kesakitan.

'BILANG KALAU KAMU CINTA SAMA AKU!!!'

 Bella berteriak seolah ingin seisi dunia mendengarnya.
Iqbaal menggeleng, 'aku mencintai (namakamu).'

'Eghhh.'

 Bella melenguh kencang. 'Jangan biarin aku pergi tanpa kamu.'
Bella melangkah mendekati Iqbaal, namun Iqbaal menjauh.
'Maaf,' gumam Iqbaal lagi. Lagi-lagi kata maaf keluar dari mulutnya.

'Aku akan hilang kalau kamu kembali ke dunia itu, aku akan benar-benar lenyap dari kehidupan
kamu jika kamu sungguh-sungguh memilih gadis lain. Aku mohon! Aku mohon sama kamu, Iqbaal!'
Bella bersimpuh dengan wajah menahan sakit.

'Bella... Aku mohon jangan siksa diri kamu seperti ini.'
Iqbaal menatap iba, Bella melakukan hal yang menyakiti dirinya sendiri demi meminta Iqbaal untuk bersamanya lagi. Karena janji konyol itu, janji Iqbaal yang keluar disaat malam itu.

'Iqbaal!!!'
________
Aku menatap seperti ada lubang-lubang cahaya yang terus menerobos masuk ke dalam kelopak mata ku. Aku merasakan kelopak mataku mampu untuk terangkat dan terbuka. Telingaku mulai menerima suara-suara pelan di sekelilingku. Suara tangisan itu. Tangisan yang semalaman ini aku dengar dalam ketidaksadaranku. Aku bisa mendengarnya dengan jelas saat ini.
Aku bisa kembali membuka mata ku, aku bisa kembali membuka telingaku. Namun... Aku masih takut. Aku takut melihat sesuatu yang tidak ingin aku lihat, aku takut mendengar lagi segala sesuatu yang tidak ingin aku dengar. Aku takut menerima semua keganjilan itu. Aku berharap ketika aku bangun, aku menjadi seorang biasa tanpa embel-embel kemampuan yang sama sekali tidak aku inginkan.
Hanya satu yang ingin aku lihat. Hanya satu yang ingin aku dengar. (namakamu)... Gadis itu. Aku berharap ketika aku membuka mataku, gadis itu adalah orang pertama yang aku lihat, dan suara gadis itu yang pertama memekik menyaksikan aku terbangun. Aku mohon Tuhan... Aku tidak menginginkan hal lain... Selain gadis itu.
Aku mohon...
_______
“Baal?”
(namakamu) merasakan jemari Iqbaal yang berada dalam genggamannya bergerak. “Baal? Kamu bangun?”
(namakamu) berharap gerakan tadi bukan halusinasi (namakamu), atau hanya gerakan hypnic jerk Iqbaal ketika masih dalam keadaan tidak sadarkan diri saat ini.
“Baal? Gerakin lagi tangan kamu,” pinta (namakamu) dengan suara lirih. (namakamu) menatap lekat-lekat jemari Iqbaal. Tidak, tidak ada gerakan lagi. Apakah (namakamu) berhalusinasi? Karena (namakamu) sangat mengharapkan Iqbaal untuk bangun saat ini.
“Nghhh.”
Suara lenguhan pelan. Suara itu! (namakamu) tersentak, kali ini (namakamu) benar-benar merasakan dirinya dalam keadaan sadar. Iqbaal, ya! Iqbaal tadi melenguh pelan.
“Baal?”
Senyum (namakamu) mengembang, memencet tombol darurat agar perawat segera datang untuk melihat keadaan Iqbaal saat ini.
***
“Iqbaal beneran sadar?” tanya Bastian dengan wajah antusias.
Bastian, Aldi, dan Salsha kembali datang untuk melihat keadaan Iqbaal. Menerima kabar dari (namakamu), ketiga sahabatnya itu bergegas untuk kembali datang ke rumah sakit. Mereka saat ini masih berkumpul di luar kamar pasien, karena saat ini Iqbaal tengah diperiksa oleh dokter dan 2 perawat lain di dalam sana.
“Syukur kalau gitu.”
Salsha memasang wajah lega. Mendekap (namakamu) dari samping. Salsha bisa merasakan perasaan lega (namakamu) saat ini.
“Gue berharap, ketika dia sadar. Dia...”
(namakamu) menggantungkan kalimatnya. Lalu menggeleng. Harapannya terlalu muluk. (namakamu) tidak mau berharap berlebihan, berharap Iqbaal menerima (namakamu) dengan baik. (namakamu) takut ketika kembali masuk kedalam ruangan, Iqbaal sama sekali tidak mau dihampiri. Jangankan untuk dihampiri, menatap (namakamu) saja Iqbaal tidak mau.
“Jangan mikir yang enggak-enggak.”
Salsha mengeratkan dekapannya. (namakamu) mengangguk, tersenyum tipis.
“Silahkan, pasien sudah boleh dikunjungi sekarang.”
Seorang pria berbaju putih keluar dari kamar Iqbaal, disertai dengan dua perawat lain yang menghambur keluar.
“Terimakasih, dok.”
Mereka berucap bersamaan. Setelah mendapat seutas senyum dan anggukan, keempatnya menghambur, berjejal pada pintu kamar.
“Baal?”
(namakamu) berhasil menyelipkan tubuhnya dan masuk terlebih dulu. Iqbaal menoleh, menatap (namakamu) dengan wajah datar, tanpa menggambarkan ekspresi apapun.
“Lo udah bangun?”
Sapaan lembut dengan suara lirih. (namakamu) menghampiri Iqbaal yang masih terbaring, namun kali ini mata Iqbaal sudah terbuka. Perban di kepala dan collar neck masih ia kenakan. Hanya mask oksigen yang kini sudah ditanggalkan dari wajahnya.
“Gimana gue gak bangun? Lo nangis terus di samping gue, berisik tahu gak?! Bikin gue gak bisa istirahat. Bikin gue terpaksa bangun.”
Iqbaal mendelik kesal ke arah (namakamu). Aldi, Salsha, dan Bastian masih bergeming. Menatap dua makhluk yang tengah berbincang dengan canggung, itu membuat mereka terpaksa membungkam mulutnya.
“Maaf,” lirih (namakamu) dengan suara bergetar. Air matanya sudah berderai hebat. Menatap Iqbaal yang kini terbangun, dapat berbicara lagi, mengomel lagi. Tidak ada yang bisa menggambarkan perasaan (namakamu) saat ini.
“Maaf? Buat apa?” tanya Iqbaal dengan wajah dingin.
“Maaf bikin lo berisik.”
“Jangan nangis, gue gak suka,” ucap Iqbaal masih dengan sikap dinginnya.
“Maaf,” lirih (namakamu) lagi. Gadis itu menyeka air matanya yang sudah mengalir deras, nyaris membentuk aliran sungai pada pipinya.
“Chhh. Maaf lagi. Tangisan lo yang bikin gue berusaha bangun. Gue berusaha bangun untuk berhentiin tangisan lo. Gue bangun biar gue bisa meluk lo, biar lo gak nangis lagi. Gue benci denger lo nangis. Gue gak mau liat lo nangis.”
“Baal?”
Tangis (namakamu) yang sengaja ia bendung kini kembali membludak. (namakamu) merasakan lututnya lemas, gadis itu jatuh terduduk. Ucapan Iqbaal tadi membuat (namakamu) tidak mampu menopang berat badannya lagi. Gadis itu kembali menangis sejadi-jadinya.
“(namakamu)? Lo ngapain di situ? Gue gak mungkin nyamperin lo dalam keadaan kayak gini, kan? Peluk gue, cepet!”
(namakamu) mengangkat wajahnya. Dengan sisa tenaganya ia kembali berdiri, melangkahkan kakinya menuju tempat Iqbaal kini berbaring. (namakamu) menghantamkan tubuhnya pada dada Iqbaal, membuat laki-laki itu sedikit meringis kesakitan karena gerakan (namakamu) menekan--bahkan menghantam luka-lukanya.
(namakamu) menumpahkan semua tangisnya pada dada Iqbaal. Rasa khawatir, rasa takut, rasa sakit, semuanya tumpah, menghilang, menguap bersama air matanya yang kini keluar dengan deras menyertai erangan-erangan pelannya.
“Lo tahu? Ketika lo nangis, gue seperti bisa ngerasain sakit yang lo rasain, bahkan gue ngerasa lebih sakit liat lo nangis. Janji sama gue jangan nangis lagi.”
Dengan selang infus yang masih menempel di lengan kanannya, Iqbaal mencoba mendekap (namakamu). Melingkarkan lengannya untuk merengkuh tubuh gadis yang ia rindukan. Sungguh Iqbaal sangat merindukan (namakamu) saat ini. Iqbaal sudah mengira bahwa dirinya tidak mampu mendekap (namakamu) seperti ini lagi. Namun ternyata Tuhan masih memberikan Iqbaal satu kesempatan.
Bodoh jika ia terus melakukan hal untuk menepati janjinya pada Bella. Bodoh jika ia melakukan hal yang akan membunuh dirinya sendiri. Jika itu terjadi, ia akan meninggalkan (namakamu), selamanya. Tidak bisa meraih tubuh gadis itu lagi dalam dekapannya. Janji bodoh itu. Bella...
Iqbaal mengedarkan tatapannya. Bella? Mana makhluk itu? Apa ia sudah menghilang? Apa Iqbaal tidak akan melihat Bella beserta makhluk-makhluk lain yang mengerikan? Iqbaal memejamkan matanya, telinganya terdengar hening. Tidak ada teriakan ataupun suara-suara yang selalu mengganggu telinganya saat ini. Apa kemampuannya itu sudah benar-benar menghilang? Iqbaal sangat berharap seperti itu.
“(namakamu)?” panggil Iqbaal dengan suara pelan. (namakamu) hanya menjawabnya dengan gumaman tidak jelas bercampur tangisnya yang masih berlanjut.
“Kenapa kayaknya gue nyium bau-bau gak enak? Lo belum mandi ya? Rambut lo bau.”
Iqbaal berusaha menutup hidung dengan mengangkat bibir atasnya.
“Masa sih?”
(namakamu) meraih rambutnya, mencium bau rambutnya sendiri. “Iya, gue belum mandi,” jawab (namakamu) dengan wajah cemberut.
“Gak apa-apa. Cinta gue sama lo mengalahkan segalanya.”
Ucapan Iqbaal membuat (namakamu) sedikit terkekeh.
Iqbaal kembali mengeratkan lingkaran lengannya, memejamkan matanya, seolah ingin menikmati waktu ini berdua, hanya berdua. Sama sekali tidak menghiraukan tiga makhluk--Salsha, Bastian, dan Aldi-- yang bergeming menatap tingkah mereka berdua. Dunia serasa milik berdua? Ungkapan jadul yang norak itu ternyata memang benar adanya. Ketika sedang jatuh cinta, dunia serasa milik berdua. Itu benar, tidak pernah salah.
***
Iqbaal duduk dengan bersandar. Ranjang pasien sudah di bentuk agak tegak, dibantu oleh bastian agar Iqbaal bisa duduk bersandar. Salsha kini duduk pada kursi yang berada di samping ranjang. Sedangkan Bastian tengah selonjoran, ehmmm.. Bukan, bukan. Bastian tengah terbaring di atas sofa yang terletak di belakang samping Salsha, dengan sebelah kaki yang terangkat ke atas sandaran sofa.
(namakamu)? Aldi? Aldi tengah mengantar (namakamu) pulang, mengantar gadis itu untuk mandi, makan, dan berganti pakaian di rumahnya. Nanti Aldi akan membawa (namakamu) kembali untuk menemani Iqbaal.
Tiga orang itu kini tengah menatap layar televisi yang sedari tadi mengoceh. Televisi yang merupakan sarana yang diberikan diruang rawat inap yang Iqbaal tempati saat ini.
“Aldi nganter (namakamu) pulang. Lo gak takut, Baal?”
Bastian melirik ke arah Iqbaal. Duh... Entah mengapa jika Iqbaal menatap wajah Bastian, emosi di dalam dadanya seketika bangkit.
“Maksud lo?”
Malah Salsha yang kini lebih tertarik menanggapi ucapan Bastian.
“Ya... Kan Aldi sempet suka sama (namakamu)-”
“Apa?”
Mata Salsha membulat, mulutnya juga ikut membulat membentuk lingkaran kekagetan. “Aldi?”
“Iya, Aldi sempet suka sama (namakamu). Ya kan, Baal?”
Lagi-lagi Bastian ingin Iqbaal yang berkomentar tentang celetukannya yang menyebalkan.
“Mmmm...”
Iqbaal bergumam malas.
“Kok gue bisa gak tahu?” desis Salsha seraya mencopot kacamata minusnya. Aldi begitu rapi menyembunyikan bahwa dirinya menyukai (namakamu). Ia baru ingat, kutipan yang pernah ia baca dalam sebuah buku, 'tidak pernah ada persahabatan yang murni antara seorang laki-laki dan perempuan.' Seperti yang sempat Salsha rasakan pada Aldi, tidak tulus sebagai sahabat. Tapi...
“Bisa aja Aldi sekarang nembak (namakamu), ya kan? Terus (namakamu) terima Aldi, karena (namakamu) gak mau punya pacar yang lehernya cacat.”
Bastian mendelik menatap collar neck yang masih Iqbaal kenakan.
“Sialan ya lo!” bentak Iqbaal dengan volume tinggi, membuat Salsha menutup kedua daun telinganya. “Siapa bilang leher gue cacat?! Ini tuh cuma sebagai penyangga doang! Gue gak pake ini juga bisa!”
Kali ini Iqbaal terlihat sangat mengerikan. Tangannya bergerak melepas bahan keras yang melingkar di lehernya itu.
Bruk... Benda itu Iqbaal hempaskan pada wajah Bastian. Walaupun Bastian sempat meringis menerima timpukan collar neck itu, namun kini Bastian malah terkekeh nyaring, mendekati tawa terbahak.
Duh... Jika saja Iqbaal bisa bergerak bebas saat ini. Iqbaal ingin sekali mencekik leher Bastian. “Ssshhhh.”
Iqbaal meringis memegangi lehernya yang masih terasa berat.
“Tuh kan leher lo cacat,” celetuk Bastian lagi.
“Bass!”
Salsha yang juga merasakan kekesalan yang sama, kini memelototi bastian.
Pukh... Pukh...
Iqbaal meraih buah-buah yang berada di atas meja di samping kirinya. Menimpuki Bastian dengan buah-buahan itu. Membuat Bastian sesekali meringis, namun tawa menyebalkannya tetap terdengar.
“Sha?”
Iqbaal menghentikan tingkahnya ketika tatapannya sempat melihat Salsha mengusap pipinya. Salsha menangis? “Lo-lo kenapa Sha?” tanya Iqbaal, sedikit mencondongkan tubuhnya untuk menatap wajah Salsha.
Salsha menggeleng. “Gak apa-apa. Bau obat-obatan di sini bikib mata gue perih.”
Dan Iqbaal tahu jika itu bohong. Aldi? Apakah Salsha menyukai Aldi? Iqbaal menatap mata Salsha dalam-dalam. Akankah ada suara yang ia dengar? Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Hingga... Sepuluh detik kemudian. Hhhh... Iqbaal tidak mampu mendengar apapun memalui mata Salsha saat ini.
Drt... Drt...
Getaran ponsel Iqbaal yang berada di atas meja--disamping keranjang buah, tiba-tiba membuat fokusnya kabur.
Salsha meraih ponsel itu dan menyerahkannya pada Iqbaal. “Makasih, Sha,” ucap Iqbaal.
Gerakan menggeser telunjuk Iqbaal membuat sambungan telepon terhubung, “Hallo?”
'Hallo, Baal? Lo udah baikan?'
“Udah, Bang.”
'Syukur kalau gitu. Maaf gue belum bisa nengok, masih banyak kerjaan. Gue gak usah nengok aja apa ya? Gue langsung ketemu sama lo di kantor aja? Gimana?'
Iqbaal berdecak, “serah lo lah, Bang!” jawab Iqbaal malas.
Terdengar kekehan Kiky dari seberang sana, 'berkat lo, Varo akhirnya ditangkap. Dan sekarang Vero bebas.'
“Berkat gue?”
Iqbaal bertanya, linglung. Apa yang sudah ia lakukan memangnya sehingga Varo menggantikan posisi Vero saat ini?
'Iya, berkat lo. Karena Varo mukulin lo, dan polisi bisa mengungkap motif dia mukulin lo karena apa. Ternyata pengorbanan babak belur lo gak sia-sia, Baal. Selamat!'
Sialan, sialan. Jika saja kiki tahu, Iqbaal hampir saja mati. Hampir saja tidak bisa membuka lagi matanya. Hampir saja meninggalkan gadis yang ia cintai untuk selamanya. Saat ini Kiki malah memberikan selamat? Keterlaluan.
'Oh iya. Vero minta maaf atas nama Varo katanya.'
“Gue udah maafin kok, bang. Gue udah bisa bangun lagi juga gue udah bersyukur.”
'Lo cepet sembuh ya! Gue tunggu lo di kantor! Kerjaan lo numpuk nih!'
“Bang! Gue lagi sakit! Lo gak bisa prihatin sedikit sama gue? Lo malah ngomongin kerjaan sama orang yang baru bangun dari sekarat!”
Perkataan Iqbaal yang meledak-ledak malah membuat Kiky terkekeh kencang di seberang sana. Adakah hal yang lucu? Iqbaal berpikir keras. Seniornya itu memang sedikit aneh, mungkin karena terlalu banyak meliput kasus.
***
“Kita langsung ke rumahsakit?” tanya Aldi ketika melihat (namakamu) keluar dari dalam pagar rumahnya dengan sweater tersampir di bahu kanannya.
(namakamu) mengangguk. Menghampiri Aldi, hendak naik pada jok motor Aldi, namun gerakannya terhenti ketika Aldi menarik pelan lengannya.
“Gue sayang sama lo,” ucap laki-laki itu tanpa pendahuluan sama sekali. Ucapannya membuat (namakamu) tersentak.
Selama beberapa waktu ke belakang, (namakamu) mengetahui bahwa Aldi menyukainya, namun Aldi sama sekali tidak pernah memberanikan dirinya untuk mengatakan hal itu. Tapi ternyata... Untuk saat ini, ketika Iqbaal sudah melakukannya terlebih dahulu, Aldi mengungkapkan kalimat itu?
“Gue gak ada maksud apa-apa, sama sekali. Gak pernah ada niat gue buat rebut lo dari Iqbaal untuk saat ini. Gue cuma mau, lo tahu perasaan gue. Itu aja,” ucap Aldi lagi. Senyumnya tersungging tipis. Setelah itu Aldi kembali memasukan kunci motornya.
“Lo baik. Pasti ada gadis baik yang bisa tulus sayang sama lo. Percaya sama gue.”
(namakamu) melingkarkan lengannya pada pundak Aldi, memeluk laki-laki itu dari arah samping. (namakamu) bisa merasakan bagaimana perasaan Aldi saat ini. (namakamu) tahu persis apa yang tengah Aldi rasakan, karena ia juga pernah mengalaminya. Dulu. Dulu ketika menatap Iqbaal mendapatkan cinta Bella.
“Jangan takut kalau lo merasakan sakit yang luar biasa, suatu saat lo bakal ngerasain kebahagiaan yang luar biasa. Karena kebahagiaan akan datang sebanyak kesakitan yang kita rasakan,” ujar (namakamu). Ia memperoleh kata-kata itu dari seorang laki-laki yang ternyata perkataannya terbukti.
Aldi mengangguk. “Semoga,” ucapnya pelan.
***
“Aldi ngomong apa sama kamu tadi?” tanya Iqbaal tiba-tiba.
“Hm?”
(namakamu) yang tengah duduk di samping Iqbaa, bersandar pada pangkal lengan Iqbaal, kini mengangkat wajahnya untuk menatap Iqbaal, tidak mengerti.
“Aldi ngomong apa selama di perjalanan nganter kamu tadi?” ulang Iqbaal.
Iqbaal berani untuk bertanya seperti itu karena kini Aldi tengah keluar mencari makanan bersama Salsha, meninggalkan satu makhluk lagi yang tengah tergeletak di sofa. Bastian. Laki-laki itu tidak ikut, lebih memilih menjadi obat nyamuk bakar yang menemani Iqbaal dan (namakamu).
(namakamu) menggeleng. Lalu kembali menyandarkan kepalanya pada lengan Iqbaal.
Iqbaal menarik dagu (namakamu). Mengharuskan mata gadis itu menatap matanya, lagi. “Kamu lupa kalau aku bisa baca apa yang ada di sini.”
Iqbaal menunjuk-nunjuk kening (namakamu), memebuat (namakamu) mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali.
“Aldi cuma bilang kalau dia sayang sama aku. Gak lebih. Dia cuma pengen aku tahu. Cuma itu,” jawab (namakamu), setelah itu kembali menenggelamkan kepalanya pada lengan Iqbaal.
“Salsha kayaknya suka sama Aldi.”
Tiba-tiba Iqbaal menarik Salsha dalam kalimatnya. Masalah Salsha yang terlihat sedih tadi siang. Iqbaal masih memikirkan hal itu.
“Aku tahu. Itu juga salah satu alasan aku pura-pura gak tahu kalau Aldi suka sama aku.”
“Tahu? Kamu tahu?”
Oh Tuhan, makhluk yang bernama wanita itu, mengapa selalu peka? Selalu mengerti dan paham atas situasi di sekitarnya? Sehingga ia tahu bagaimana cara untuk menghadapi situasi sekitarnya. Itu salah satu kelebihan wanita yang tidak dimiliki pria, sepertinya. Itu kah alasan mengapa banyak pria yang kerap membuat kesalahan pada wanita tanpa disadari? Karena pria bukan makhluk peka. Sepertinya.
***
“Hhhh...”
(namakamu) menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur yang berada di dalam ruangan 6x6 itu. Iqbaal sudah diperbolehkan pulang dari rumahsakit. Maka hari ini Iqbaal sudah bisa kembali menempati kamar kosnya. Namun sebelum itu, (namakamu) harus membantu membersihkan kamarnya terlebih dahulu dan menyemprotkan pewangi ruangan karena ruangan yang sudah 3 hari tidak di tempati ini mulai tercium bau apek. Bagaimana tidak? Pakaian kotor yang harusnya dicuci dari berhari-hari yang lalu, Iqbaal biarkan menggantung di belakang pintu dan sisanya menumpuk di pojok kamar. Laki-laki.
“Capek ya?”
Iqbaal ikut membaringkan tubuhnya di samping (namakamu). (namakamu) menggeleng. Dan mendekatkan jaraknya dengan Iqbaal, menaruh kepalanya di atas lengan Iqbaal, menjadikan lengan Iqbaal sebagai alas kepalanya.
“Oh iya.”
Lengan kiri Iqbaal bergerak, meraih lipatan surat kabar di samping tempat tidurnya. “Baca ini deh,” ujar Iqbaal. Dalam posisi yang masih berbaring, Iqbaal membentangkan surat kabar itu, membuka halaman surat kabar yang ia maksud.
“Ini bukan karena aku mencintai kamu, tapi karena aku 'hanya' mencintai kamu. Jika bukan kamu, aku tidak akan punya siapa-siapa yang aku cintai. Karena ternyata aku hanya mencintai kamu.
Aku tidak tahu kenapa aku berbuat seperti ini. Aku juga tidak tahu kenapa aku bersikap seperti orang bodoh saat ini. Meskipun kamu menghindar, tapi aku ternyata tetap mencintai kamu. Tidak peduli apa yang kamu lakukan, aku akan tetap menyukai kamu. Tidak peduli apa yang kamu perbuat, aku tetap mencintai kamu.
Andai kamu tahu...”
“Apa-apaan nih?”
(namakamu) menolehkan wajahnya, menatap Iqbaal. Tulisan asal yang sempat (namakamu) coret-coretkan di atas kertasnya iseng pada saat di kantor Iqbaal--waktu itu, berjejal dengan artikel lainnya di dalam kolom surat kabar yang tidak seharusnya.
“Bang Kiky sempet protes kenapa ada artikel cinta di dalam surat kabar. Tapi setelah gue muat tulisan itu, jadi banyak yang kirim artikel yang berunsur cinta ke kantor. Jadi sekarang dibuka kolom khusus buat orang yang lagi pengen galau,” jelas Iqbaal diakhiri dengan kekehannya.
“Itu buat aku kan?” tanya Iqbaal yakin, seolah (namakamu) akan menjawab ya.
(namakamu) terdiam.
“Jawab (namakamu)!”
Iqbaal mencubit pelan pinggang (namakamu), membuat (namakamu) sedikit berjengit.
“Iya, iya. Itu buat kamu,” jawab (namakamu), kembali membenarkan posisi tubuhnya.
“Maafin aku, (namakamu).”
Iqbaal mendekap (namakamu), mengecup puncak kepala (namakamu) dengan lembut.
“Gak ada yang perlu dimaafin. Yang penting sekarang aku sayang sama kamu,” ujar (namakamu) dengan mata terpejam, menikmati dekapan Iqbaal, kecupan lembut Iqbaal. Membuat tubuhnya melemas dan tidak berdaya. -,-
“Harusnya aku tambahin satu paragraf lagi di tulisan itu.”
Iqbaal kembali menjauhkan jaraknya dengan (namakamu), agar dapat menatap gadis itu lagi.
“Apa?” tanya (namakamu) balas menatap Iqbaal.
“Seekor angsa akan mengikuti hal pertama yang mereka lihat semenjak mereka lahir sampai mereka mati. Dan saat pertama kali aku lihat kamu, aku merasa berubah menjadi seekor angsa. Mulai saat itu, aku memutuskan untuk gak perduli, apapun yang kau perbuat, aku masih akan menyukainya. Aku gak perduli siapapun yang kamu suka... Aku masih tetap suka sama kamu. Sampai aku mati...”
“Kamu?”
(namakamu) menggeserkan kepalanya, menjauhkan jaraknya dari Iqbaal saat ini, agar dapat menatap lebih jelas wajah Iqbaal.
“Aku hafal kata-kata itu. Aku selalu ingat di sini,” ucap Iqbaal memegangi dadanya. “Dalam keadaan gak sadar, aku bisa mendengar kamu mengucapkan kata-kata itu. Itu salah satu alasan aku untuk berusaha bangun. Alasan aku untuk tetap hidup. Aku ingin menjalani semuanya berdua sama kamu. Melakukan semuanya bareng kamu. Jalan bareng, ngobrol bareng, makan bareng, tidur bareng-”
Bugh... Satu kepalan kencang mendarat pada dada Iqbaal.
“(namakamu)! Sakit!”
Iqbaal meringis mengelus-elus dadanya sendiri.
“Tidur bareng?!”
(namakamu) melotot. Memasang wajah mengerikan.
“Ya itu nanti! Bukan sekarang. Nanti kalau kita... Uda nikah,” ucap Iqbaal sesekali meringis memegangi dadanya. Tanpa ia sadari ucapannya tadi membuat wajah (namakamu) terlukis noda merah. (namakamu) merasakan kedua pipinya memerah terpoles blush on alami.
“Kamu mau kan nikah sama aku?” tanya Iqbaal lagi, membuat wajah (namakamu) semakin tidak karuan.
“Kamu kan bisa baca pikiran aku? Tatap mata aku kalau kamu mau tahu jawabannya.”
“Hhhh... Ok.”
Iqbaal manggut-manggut. Mulai memfokuskan tatapannya pada satu titik. Mata (namakamu). Iqbaal menatap mata indah itu lekat-lekat. Menatapnya dalam-dalam.
Satu detik... Dua detik... Tiga detik... Hingga 10 detik berlalu, ternyata Iqbaal sama sekali tidak mendengar suara apapun. Mungkin doa Iqbaal terkabul, Iqbaal tidak lagi bisa melihat hal lain, tidak lagi bisa mendengar suara-suara itu lagi. Kali ini, Iqbaal malah merasakan perasaan aneh menyeruak ketika menatap (namakamu) dalam waktu selama ini dan dalam jarak sedekat ini.
“Kamu udah gak bisa baca pikiran aku kan? Sejak kepala kamu bocor karena dipukulin, kemampuan kamu hilang. Berarti kamu bohong dong sama aku kemarin. Tentang perasaan Aldi yang aku bilang sama kamu-”
Perkataan (namakamu) terhenti ketika tangan kanan Iqbaal kini menarik pinggang (namakamu) untuk menggeser mendekat, dengan tangan kirinya yang menahan tengkuk (namakamu), mengunci (namakamu) agar tidak bergerak. Menutup bibir (namakamu) dengan sentuhan lembut bibirnya. Iqbaal melakukan gerakan lembut itu dengan gerakan perlahan, membiarkan (namakamu) menikmati gerakannya tanpa paksaan. Membiarkan (namakamu) menikmati perasaan menggelitik yang saat ini juga Iqbaal rasakan.
Iqbaal melepaskan pagutannya, menatap sejenak (namakamu). Lalu bergerak perlahan, Iqbaal mengubah posisinya, tubuh laki-laki itu kini berada di atas (namakamu), dengan kedua sikut dan lutut yang menopang tubuhnya. Menatap (namakamu) lekat-lekat. Jika saja Iqbaal tahu saat ini bagaimana degupan jantung (namakamu) bertalu dengan cepat.
“Tanpa kamu jawab, tanpa aku bisa baca pikiran kamu. Aku tahu jawaban kamu.”
Iqbaal tersenyum nakal. Lalu kembali menundukan wajahnya agar bibirnya bisa kembali menyentuh bibir (namakamu) yang berada di hadapannya. Menumpahkan semua rasa yang ingin ia tumpahkan.
Kali ini, tidak ada suara hempasan barang yang terjatuh. Pecahan barang pecah belah. Lemparan benda yang membuat bising. Kini... hanya ada mereka berdua.

~TAMAT~

Jika jarak antara kita dengan orang yang kita cinta terlampau jauh, maka coba untuk berlari. Karena di dunia ini hanya ada satu jenis cinta, jika kita tidak bisa memilikinya, maka tidak seorangpun boleh memilikinya. Itu cinta sebenarnya^^~ Eyes Voice

Eyes Voice [Citra Novy] Part 9

Pengarang: Novy Citra Pratiwi
@CitraNovy
FP:Citra's Slide.

No bully:) just repost!

~

“Eyes Voice”
Part 9
_______

“Lo dapet ide dari mana gantungin tali disini, Baal? Lo punya cucian basah juga? Sini sekalian gue jemurin.”
Tali yang sudah Iqbaal gantung dengan rapi melingkar di atas langit-langit kamarnya, kini Bastian bentangkan dan Bastian ikat pada teralis jendela kamar Iqbaal, membentuk sebuah segmen tali. Dan Bastian menggunakan tali panjang itu untuk menjemur cuciannya yang belum kering, cucian-cucian lembab itu telah berbaris tersusun rapi pada tali yang akan Iqbaal gunakan untuk... Hhhh... Iqbaal menjatuhkan tubuhnya di lantai. Duduk bersila. Apakah ada yang bersedia untuk menyodorkan pisau daging di hadapan Iqbaal saat ini? Maka dengan senang hati Iqbaal akan menggunakan sisa tenaganya untuk mencabik habis Bastian.
“Misi, Mas.”
Dengan perasaan yang masih menahan kesal, Iqbaal kini menoleh. Aldi tengah berdiri di ambang pintu, membawa dua kantung kresek berisi... Entahlah. Sepertinya berisi makanan. Apa lagi ini?
Iqbaal masih duduk bersila di ambang pintu. Melihat Iqbaal yang masih bergeming, tanpa permisi lagi Aldi melangkahi Iqbaal seenaknya. Masuk ke dalam kamar Iqbaal, menghampiri Bastian yang baru saja menggantungkan baju pada hanger terakhir.
“Nanti malem pertandingan Bola. Megang mana?” tanya Aldi pada Bastian. Aldi menyalakan televisi di hadapan sofa putih itu, memuntahkan isi kantung kresek, mengeluarkan semua yang berada di dalamnya. Benar kan? Dua kantung besar itu berisi bungkusan-bungkusan makanan.
Bastian memasukan sedikit kepalanya ke dalam lemari es, meraih 2 minuman kaleng. “Gue pegang MU, lah!” ujar Bastian menghampiri Aldi, duduk bersila di atas karpet--di samping Aldi. Mereka sengaja tidak duduk di sofa agar bisa bergerak bebas meraih makanan yang mereka hamburkan di hadapannya, itu kebiasaan mereka.
“Gue Madrid ya?”
Aldi nyengir. Meraih minuman kaleng yang Bastian berikan.
Iqbaal? Laki-laki itu masih duduk bersila di ambang pintu. Menatap kedua makhluk autis di hadapannya. Bertingkah seolah kamar ini adalah milik mereka berdua. Tidak melirik Iqbaal sama sekali yang kini masih memajang wajah patah hati. Sahabat macam apa itu? Sama sekali tidak bertanya tentang tingkah aneh Iqbaal saat ini.
Dengan langkah lunglai Iqbaal bangkit, menutup pintu lalu menghampiri Aldi dan Bastian. Apa yang mereka lakukan disini sebenarnya? Menyabotase tempat Iqbaal untuk dijadikan tempat menonton pertandingan bola dengan baju, celana, serta pakaian dalam Bastian yang kini terjembreng pada tali di dalam kamarnya dengan manis.
Iqbaal kali ini tidak membutuhkan pisau daging. Tidak! tapi... Samurai. Ya, Iqbaal membutuhkan samurai untuk menebas leher kedua makhluk menyebalkan itu.
***
“Ck! Apa-apaan sih?!”
Iqbaal menyingkir-nyingkirkan Aldi dan Bastian yang mengapit langkahnya. Aldi di sisi kanan sementara Bastian di sisi kiri. Setelah memarkirkan motor mereka di pelataran dan ketika saat ini memasuki area kampus. Dua makhluk menyebalkan itu tidak pernah lepas dari jarak 30 cm di samping Iqbaal.
Semalam keduanya menginap di kamar Iqbaal. 'Lagi!' Sekali lagi ditegaskan. 'Lagi!'. Setelah hari kemarin Bastian mengganggu rencana Iqbaal, kali ini... Ditambah Aldi yang ikut menghancurkan semuanya. Sampai kapan Iqbaal akan hidup terkatung-katung seperti ini. Hidup enggan, mati tak bisa. *lah*
“Lo berdua kenapa sih!” bentak Iqbaal, seketika menghentikan langkahnya. Iqbaal benar-benar risih ditempeli oleh Aldi dan Bastian, dimulai ketika berangkat hingga saat ini.
“Apaan sih? Lo ribet banget.”
Bastian menatap Iqbaal dengan terheran. Kali ini Iqbaal terlihat lebih sensitif.
“Biasanya juga kita kan jalan bareng. Iya kan?” tanya Aldi, menatap Iqbaal yang kini masih memasang wajah kesal.
Ya. Biasanya Iqbaal, Aldi, dan Bastian berjalan beriringan ketika memasuki kelas. Tapi, entah apa yang Iqbaal rasakan saat ini. Iqbaal merasa sikap Bastian dan Aldi tidak seperti biasanya. Ada yang ganjil di antara keduanya.
“Ayo ah!”
Bastian menarik lengan Iqbaal, menyebabkan langkah Iqbaal terseret mengikuti arah gerakan Bastian.
“Lepas! Lepas!”
Iqbaal menghentak-hentakan lengannya yang kini ditarik oleh Bastian, “gue mau ke toilet,” ujarnya. Seketika Iqbaal memutar langkahnya untuk berbelok di tikungan koridor. Langkahnya terayun ke arah sudut koridor sepi, tempat toilet pria.
Iqbaal berdecak ketika ia merasakan langkah-langkah menyebalkan itu mengikutinya, “Lo berdua mau ngikut juga?”
Iqbaal membalikan tubuhnya. Dan benar saja, ternyata Aldi dan Bastian melangkah cuek di belakang Iqbaal.
“Kita mau ke toilet juga,” jawab Aldi dengan tampang cuek. Disambut dengan anggukan refleks dari Bastian. Benar-benar, dua makhluk itu hari ini terlihat kompak.
Iqbaal lagi-lagi berdecak kesal. Lalu kembali memutar tubuhnya untuk melangkahkan kaki ke sudut koridor. Tempat sepi yang hanya ada laki-laki keluar masuk. Ketiganya masuk berbarengan. Iqbaal memilih satu dari 6 jajaran pintu toilet yang terbuka.
“Ngapain dia ke dalem? Kalau mau buang air kecil kan bisa di sini?” tanya Bastian, langkahnya menuju urinoir. Aldi mengangkat bahunya mengekor Bastian menuju urinoir juga.
Selang 7 menit Iqbaal di dalam. Laki-laki itu tidak kunjung keluar dari balik pintu toilet. “Menurut lo, Iqbaal gak akan macem-macem kan di dalam?”
Bastian dan Aldi saling berhadapan, mengapit pintu toilet yang Iqbaal masuki tadi.
Clek... Pintu terbuka. “Duh!” geram Iqbaal, mendapati Bastian dan Aldi yang berdiri di depan pintu. “Lo berdua apa-apaan sih, ha?!”
“Kita nungguin lo, buat ke kelas bareng,” jawab Aldi, lengan kanannya melingkar santai pada pundak Iqbaal.
“Gue bukan mahasiswa tingkat satu yang harus ditunjukin jalan. Gue bisa jalan ke kelas sendiri.”
Iqbaal menepis lengan Aldi, mempercepat langkahnya untuk meninggalkan Aldi dan Bastian.
“Kita gak boleh nyerah,” ujar Bastian menepuk-nepuk pundak Aldi.
“Apaan sih lo!”
Aldi memelototi Bastian.
“Ya, kita gak boleh nyerah. Ayo kita ikuti dia terus.”
Bastian berucap serius, tatapannya menajam menatap punggung Iqbaal. Seakan Iqbaal adalah buronan yang harus ia tangkap dan ia penjarakan.
“Hallo? Apa, Bang?”
Iqbaal mengangkat teleponnya yang sedari tadi bergetar, bahkan ketika ia masih di dalam toilet ponselnya tidak berhenti bergetar.
“Sekarang gue kuliah, Bang.”
“Kapan?”
“Nanti siang?”
“Kasus itu lagi? Duh, gue sekarang kuliah.”
“Lagian kenapa sih lo gak terima Karrel aja. Dia pinter, aktif-”
Ucapan Iqbaal terhenti ketika ia melihat (namakamu) berjalan dari arah berlawanan. Gadis berkemeja peach strip vertikal disambung dengan rok cokelat selutut. mendekap dua buah buku tebal--sempat menunduk, sebelum akhirnya,
“Hai? Baal?” sapa (namakamu) dengan senyum lebarnya. Iqbaal masih tertegun. Hanya senyum bodohnya yang terlihat tanpa mengeluarkan suara apapun. Ia pikir, setelah kejadian kemarin (namakamu) sama sekali tidak akan pernah sudi melihat batang hidungnya, apalagi menyapanya seperti ini lagi.
Iqbaal memberanikan diri menatap wajah (namakamu), menatap mata gadis itu. Sekali ini. Satu kali ini saja Iqbaal ingin menatap mata gadis itu. Untuk mendengar apa yang gadis itu rasakan, untuk mengetahui bagaimana perasaan gadis itu saat ini. Sekali.
“Lo bener. Ketika ketika kejadian kemarin terlalu sakit. Gue harus berusaha meyakinkan diri gue bahwa itu semua cuma mimpi. Dan terbukti, ketika gue bangun gue kembali baik-baik aja.”
(namakamu) terkekeh, “makasih ya, Baal,” ucap (namakamu).
Iqbaal tersenyum tipis, wajahnya mengangguk pelan.
'Kejadian kemarin sama sekali udah gue lupain.'
Suara itu Iqbaal dengar. Ternyata gadis itu tidak berbohong, (namakamu) saat ini memang sudah baik-baik saja dan melupakan kejadian kemarin.
“Lo gak usah takut. Sekarang gue gak akan berharap lagi sama lo.”
'Gue berusaha lupain lo dan gak akan berharap lagi sama lo.'
“Gue tahu, bukan lo orang yang seharusnya gue sayang.”
'Gue udah nemu orang yang tulus sayang sama gue. Gue seneng deh.'
“Lo masih inget gak sama BD?” tanya (namakamu), membuat Iqbaal kembali mengangguk.
“Mantan lo dulu?” tanya Iqbaal memastikan ingatannya.
(namakamu) mengangguk, “dia ada ngehubungi gue lagi.”
'Gue harap, gue bisa lupain lo, dan mulai sayang lagi sama dia.^^'
“Oh ya? Gue ikut seneng dengernya.”
Iqbaal berucap tanpa berpikir, kata-kata itu terlontar diluar kesadarannya. Karena saat ini Iqbaal tidak mampu untuk berpikir apapun. Mengenai hal apapun. Pikirannya seolah buntu. Organ di kepalanya seakan berhenti bekerja.
“Iya, gue juga seneng dia ada hubungi gue lagi.”
'Gue lagi seneng hari ini.'
“Nanti ngobrolnya di sambung lagi. Gue ke kelas duluan ya?”
“Oh iya. Lo masih mau kan jadi sahabat gue?” tanya (namakamu) sebelum mengakhiri perbincangannya.
Lagi-lagi Iqbaal mengangguk dengan senyum yang masih belum lepas.
“Ok. Makasih.”
(namakamu) mempercepat langkahnya, menempelkan ponsel pada telinga kanannya. “Hallo? Yaya.” Terdengar suara renyah (namakamu) meninggalkan Iqbaal yang masih bergeming saat ini.
'Kejadian kemarin sama sekali udah gue lupain.'
'Gue berusaha lupain lo dan gak akan berharap lagi sama lo.'
'Gue udah nemu orang yang tulus sayang sama gue. Gue seneng deh.'
'Gue harap, gue bisa lupain lo, dan mulai sayang lagi sama dia.^^'
'Gue lagi seneng hari ini.'
Suara-suara yang Iqbaal dengar tadi, ketika menatap mata (namakamu). Suara itu terdengar begitu tulus, (namakamu) benar-benar mengungkapkan apa yang tengah ia rasakan. (namakamu) tidak berbohong, ia benar-benar terlihat begitu senang hari ini. Dan pengakuannya itu, sangat sesuai dengan isi dalam pikiran (namakamu) saat ini.
Apakah (namakamu) benar-benar sudah melupakan Iqbaal saat ini? (namakamu) benar-benar sudah tidak mengharapkan Iqbaal lagi? Kejadian kemarin benar-benar tidak berarti apa-apa. Itu kabar bagus bukan? Harusnya Iqbaal ikut merasa bahagia ketika (namakamu) bisa bersikap seperti itu. Tapi ternyata... Kenyataannya tidak seperti itu.
Iqbaal masih bergeming di tempatnya berdiri saat ini. Merasakan lehernya berdenyut-denyut menahan desakan di dalam dadanya yang memaksa naik. Memaksa dirinya untuk merasakan perasaan sakit ini.
Prak... Ponsel yang berada dalam genggaman Iqbaal menghantam lantai. Terlepas begitu saja, kemampuan telapak tangannya unruk menggenggam tiba-tiba menghilang.
“Baal?”
Bastian membungkuk, meraih ponsel Iqbaal yang tergeletak di samping kakinya.
“Lo baik-baik aja kan, Baal?”
Aldi menatap Iqbaal dengan pikiran tidak karuan. Saat ini Iqbaal seperti benda mati yang terpajang di etalase. Masih bergeming dengan tatapan kosongnya.
Bastian meniup-niup ponsel Iqbaal yang berdebu karena terjatuh tadi. Mengusap-usap ujung case ponsel yang sedikit lecet. “Nih.”
Bastian mengulurkan tangannya, berharap Iqbaal menggerakan tangan untuk meraih ponsel itu. Namun ternyata tidak, Iqbaal masih belum bisa menyadarkan dirinya sendiri.
***
Iqbaal melangkah cepat. Menyelip-nyelipkan tubuh kurusnya diantara hamburan mahasiswa di koridor. Berusaha menghilangkan jejak dari kejaran Aldi dan Bastian. Mata kuliah hari ini sudah selesai. Tiga mata kuliah Iqbaal jalani dengan tidak henti di apit oleh Aldi dan Bastian. Kemana pun ia beranjak, kedua makhluk itu selalu mendempetnya. Menyebalkan! Dan kali ini, ketika mata kuliah terakhir tadi berakhir, dengan bergegas Iqbaal meninggalkan kelas dan berusaha meninggalkan Aldi dan Bastian.
Brum... Iqbaal menarik-narik gas motornya dalam keadaan normal. Sebelum memasukan gigi pertama untuk melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.
“Baal!!!”
Teriakan itu terdengar ketika Iqbaal melintasi jalanan kampus sebelum keluar dari pelataran. Suara itu adalah milik Bastian dan Aldi yang berteriak bersamaan. Apakah mereka pikir Iqbaal akan memberhentikan kendaraannya ketika mereka memanggilnya seperti itu? Justru teriakan Bastian dan Aldi membuat Iqbaal semakin menaikan kecepatan laju motornya, hingga akhirnya keluar dari area kampus dan berbaur dengan kendaraan lain di jalan raya.
Hari ini, pasca melarikan diri dari apitan Aldi dan Bastian, Iqbaal akan melakukan bagaimanapun caranya agar ia bisa menepati janjinya pada Bella. Tapi, sebelum itu Iqbaal harus membereskan dulu masalahnya dengan Kiky. Kasus tersangka pembunuhan saudara kembar itu ternyata belum selesai. Pasca pernyataan Iqbaal pada Kiky bahwa pelaku sebenarnya adalah Varo, bukan Vero. Membuat Kiki mencari informasi lebih lanjut. Dan ternyata, dari semua informasi yang Kiky dapatkan, kejadian itu lebih condong berhubungan dengan Varo. Sementara, yang berada di dalam jeruji besi saat ini adalah Vero.
Kiky ingin mengupas semua hingga tuntas. Walaupun itu bukan tugas mereka, tapi setidaknya mereka memberikan petunjuk pada pihak yang lebih bertanggung jawab untuk menyelidiki semuanya, dan menangkap pelaku sebenarnya.
Iqbaal keluar dari jalan raya yang padat. Menikung ke arah kiri, mengambil jalan sepi yang mungkin memudahkan Iqbaal untuk lebih cepat sampai di kantornya. Suara bising kendaraan yang saling meraung di tengah perjalanan tadi sudah tidak terdengar lagi 'seharusnya', karena kini Iqbaal sudah melaju tunggal dijalanan sepi. Namun, sepertinya kali ini Iqbaal mendengar raungan-raungan motor, bahkan beberapa motor mengejarnya dari arah belakang.
Apakah itu Aldi dan Bastian yang kini kembali mengikutinya? Oh Tuhan... Ini sungguh menyebalkan. Tidak kah mereka memiliki pekerjaan yang lebih berguna ketimbang mengikuti Iqbaal seperti ini? Iqbaal semakin menaikan kecepatan laju motornya. Jalanan sepi, lagi pula tidak ada kendaraan dari arah berlawanan, maka tingkahnya ini tidak akan membahayakan orang lain kan?
Namun ternyata, semakin Iqbaal meraung-raungkan suara motornya untuk berlari, suara motor di belakangnya juga semakin terdengar meraung.
Brak...
Seorang pengendara bermotor yang berhasil menyejajarkan posisi motornya dengan Iqbaal, menghentakan kakinya ketika ia berada tepat di sisi kanan Iqbaal, menendang bagian kanan motor Iqbaal dengan kencang.
Motor Iqbaal yang tengah melaju kencang tiba-tiba terhempas ke samping kiri setelah menerima tendangan itu, mengakibatkan Iqbaal terpental jauh dan berguling-guling dengan jarak sekitar 10 meter dari tempat terhempasnya motor.
“Eghhh.”
Terdengar lenguhan kesakitan dari mulut Iqbaal. Merasakan tubuhnya hancur pasca melakukan aksi berguling-guling tadi, sehingga jangankan untuk bangkit berdiri, untuk menggerakan jari-jarinya pun ia tidak sanggup.
Brum... Raungan-raungan motor itu terdengar mengerikan menghampiri Iqbaal. Tiga buah motor besar itu mengelilingi ketidakberdayaan Iqbaal saat ini. “Bangun lo, banci!”
Terdengar suara keras itu menghentak.
Ketiga motor yang mengelilingi Iqbaal tadi kini terhenti. Salah satu pemuda, yang sepertinya Iqbaal kenali menghampiri keberadaan Iqbaal yang masih terkapar. “Bangun jagoan!”
Laki-laki itu menarik kencang leher jaket yang Iqbaal kenakan, membuat tubuh lemah Iqbaal kini tertarik untuk duduk.
“Gue udah bilang sama lo, kan? Jaga mulut lo!”
Bugh... Bugh...
Kepalan tangan bak sarung tinju itu menghantam wajah Iqbaal berkali-kali. Membuat setetes darah mulai melumer keluar dari sudut bibir Iqbaal. Dengan tubuh yang seakan rontok belum tersusun seutuhnya, jelas Iqbaal tidak bisa melakukan gerakan apapun. Jangankan untuk melawan, untuk menghindarpun tidak mampu.
“Jangan ikut campur masalah gue.”
Laki-laki itu berbisik di samping telinga Iqbaal, “lo cuma wartawan abal-abal yang dibayar untuk nulis berita. Jadi jangan pernah lo ganggu masalah gue. Apa ruginya buat lo kalau yang masuk penjara itu kakak gue, bukan gue? Kakak gue aja nerima, bahkan dia bersedia. Kenapa lo yang repot, ha?!” lanjutnya lagi.
Bugh... Bugh...
Entah untuk ke berapa kalinya laki-laki itu menghantamkan kepalan tangannya. Dan kali ini, dibantu dengan injakan dan tendangan dari kaki kedua temannya yang lain. Tubuh Iqbaal berbalik ke arah yang tidak karuan menerima hempasan-hempasan kasar. Menerima tendangan-tendangan penuh amarah dari ketiga laki-laki yang mengelilinginya di jalanan sepi itu.
Blass... Sebuah pisau tajam berukuran 15 cm berhasil masuk menelusup ke dalam perut laki-laki malang yang terkapar mengenaskan. Dengan wajah yang berlumuran darah, dan kali ini darah yang keluar dari dalam perutnya merayap menyebar membasahi kaos dan jaket yang ia kenakan.
Laki-laki itu sempat melenguh pelan. Lenguhan yang tidak terdengar karena terhapus oleh hembusan angin. Keadaan tidak berdayanya ditinggalkan begitu saja. Ketiga laki-laki biadab itu sudah meraih motornya masing-masing dan pergi berhamburan meninggalkan tempat Iqbaal saat ini.
***
Tit... Tit... Tit...
Bunyi-bunyi pendek yang keluar dari monitor di samping kanan ranjang pasien itu terdengar. Ruangan sepi, ini hanya dihuni oleh seorang pasien dan seorang gadis yang menunggunya di samping ranjang.
Senyap. Seakan suara cairan infus yang menetes bulir-demi bulir mampu terdengar. Sudah satu malam gadis itu menunggu laki-laki yang terbaring di hadapannya untuk bangun. Laki-laki dengan luka lebam di sekitar wajahnya, balutan perban di kepala, collar neck yang menyangga lehernya, perban yang menutupi luka pada perutnya, serta jarum yang menyambungkan selang infus pada tangan kanannya. Siapa saja yang melihatnya akan merasa khawatir, khawatir jika sosok ini akan pergi, menghilang.
Gadis itu berkali-kali mengusap air mata yang sudah membuat jalur pada pipinya. Mata sembapnya belum lelah mengeluarkan air mata. Menangisi laki-laki yang terakhir kali ia temui pagi hari kemarin.
Clek...
Knop pintu tertekan, pintu kamar terbuka. Seseorang melangkahkan kakinya ke dalam.
“Gue barusan baru nganter Salsha pulang. Dan sekarang lo, lo harus pulang dulu. Untuk malam ini, biarin gue sama Bastian yang jaga Iqbaal. Ok?”
Ucapan lembut itu mendapat jawaban gelengan kepala dari gadis di hadapannya.
“Lo harus istirahat. Nanti kalau lo kayak gini malah lo yang sakit.”
Gadis itu kembali menggeleng.
Dari pagi hari Aldi berusaha merayu (namakamu) untuk pulang. Untuk makan, tidur, istirahat di rumah. Karena gadis itu menjaga Iqbaal semalaman tadi, tidak tidur, bahkan tidak berhenti menangis.
Aldi mendesah. Usahanya untuk merayu (namakamu) kembali sia-sia. Gadis itu tetap duduk di samping ranjang pasien, menatap Iqbaal yang masih memejamkan matanya. Cara apa lagi yang harus Aldi lakukan agar (namakamu) pulang kerumah, agar (namakamu) memperhatikan kondisi dirinya sendiri. “(namakamu)?”
“Al,” lirih (namakamu), menatap Aldi dengan tatapan memohon. Memohon Aldi agar tidak terus-menerus merayunya untuk pulang, “gue pengen nemenin Iqbaal disini,” ucap (namakamu) dengan mata yang masih berair.
Aldi mengangguk. Mungkin ia harus memberhentikan usahanya untuk saat ini, karena semua usahanya itu sia-sia. Hanya membuahkan hasil penolakan terus-menerus dari (namakamu). “Ya udah, gue pulang dulu. Mandi dulu. Secepatnya gue balik lagi sama Bastian kesini,” ujar Aldi. Setelah mendapatkan anggukan dari (namakamu), laki-laki itu tersenyum lalu melangkahkan kakinya keluar ruangan.
Setelah menutup pintu ruangan, Aldi mendesah kencang. Menyandarkan tubuh bagian belakangnya pada pintu luar kamar. Adakah yang bisa mengerti perasaan Aldi saat ini? Andai saja ada orang yang mengerti. Melihat gadis yang ia sukai terus menerus menangisi laki-laki lain, tidak lainsahabatnya sendiri. Ternyata itu cukup membuat isi dadanya menggelembung, disesaki perasaan yang tak karuan. Andai ada yang mengerti. Langkah Aldi terayun lemas. Menelusuri koridor yang diapit oleh kamar pasien di sisi kanan dan kirinya. Menikmati perasaannya sendiri. Berusaha membuat perasaannya menguap dengan sendirinya, namun... Sulit.
“Baal.”
(namakamu) berucap pelan. Telapak tangannya masih menggenggam tangan Iqbaal, meremas jemari Iqbaal. Berharap Iqbaal merasakan keberadaan (namakamu) di sampingnya.
“BD kemarin ada hubungi aku, dia ngajak aku pulang bareng... Aku pikir dia mau deketin aku lagi. Ternyata, dia cuma mau minta maaf atas kesalahannya dulu, dan ngenalin aku sama cewek barunya,” ucap (namakamu), tatapannya menatap lingkaran kelopak mata Iqbaal yang masih tertutup.
“Tapi aku gak sedih kok. Masih ada kamu, kamu masih mau jadi sahabat aku kan? Sahabat baik aku.”
Perkataan (namakamu) terhenti ketika buliran air matanya kembali menelusuri jalur pipinya.
“Kemarin, aku berharap ini semua cuma mimpi. Dan ketika pagi aku buka mata, perasaan aku akan baik-baik aja. Tapi ternyata gak bisa, aku sakit lihat kamu kayak gini.”
'(namakamu)?'
Iqbaal tiba-tiba merasakan tubuhnya saat ini berada di samping (namakamu). Apakah roh Iqbaal terlepas dari perbaringannya?
“Aku gak perduli kamu gak sayang sama aku. Yang penting kamu ada di sini, aku masih bisa lihat kamu setiap harinya. Jangan pergi ke tempat yang gak bisa aku lihat, Baal.”
'Aku di sini. Aku sayang sama kamu. Sayang (namakamu).'
“Dari dulu. Aku tulus sayang sama kamu. Aku gak pernah berharap kamu balas perasaan aku. Ketika kamu menyatakan perasaan kamu sama Bella... Aku gunakan semua kemampuan yang aku punya untuk senyum di depan kamu. Walaupun ternyata itu gak mudah.”
“Tapi gak apa-apa, aku kan bisa nangis sepuasnya di rumah.”
Iqbaal berjongkok di samping (namakamu), menatap wajah (namakamu). Menatap (namakamu) yang tengah bercerita saat ini. 'Maaf (namakamu),' lirihnya pelan.
“Aku pernah dengar, seekor angsa akan mengikuti hal pertama yang mereka lihat semenjak mereka lahir sampai mereka mati. Dan saat pertama kali aku lihat kamu, aku merasa berubah menjadi seekor angsa. Mulai saat itu, aku memutuskan untuk gak perduli, apapun yang kau perbuat, aku masih akan menyukainya. Aku gak perduli siapapun yang kamu suka... Aku masih tetap suka sama kamu. Sampai aku mati.”
Iqbaal menundukan wajahnya. Gadis itu... Benar-benar membuat perasaan bersalah Iqbaal semakin hendak meledak.
Separtinya Iqbaal sadar saat ini, sangat sadar apa yang harus ia lakukan. Iqbaal bangkit, beranjak untuk mendekati tubuhnya yang masih tertidur. 'Bangun Iqbaal! Bangun!' Iqbaal berteriak membentak dirinya sendiri.
'Bangun! Lihat (namakamu)! Banguuun!'
'Gue mohon, bangun.'
Iqbaal mendesah ketika menatap tubuhnya yang masih terkulai.
“Dengan alasan kamu hidup, aku juga akan tetap hidup,” lirih (namakamu). Terdengar jelas di telinga Iqbaal.
'Aku akan tetap hidup (namakamu), aku janji.'
Iqbaal kembali melangkahkan kakinya menghampiri (namakamu). 'Aku akan hidup sama kamu. Untuk sisa hidup aku, kita akan lakuin semuanya berdua. Aku janji.'
Rahang Iqbaal bergetar, kedua bola matanya berair, mencoba berbicara di samping wajah (namakamu), walaupun (namakamu) tidak mendengarnya tetapi Iqbaal berjanji bahwa dirinya akan berusaha untuk bangun.
'Kamu bisa rasain apa yang aku rasain sekarang?'
Tiba-tiba suara itu terdengar.
Iqbaal menoleh, melihat Bella saat ini berjalan menghampirinya. 'Apa yang kamu rasain saat ini? Sakit?' tanya Bella.
'Aku ingin bangun,' ujar Iqbaal.
'Bangun? Bangun dan kamu hidup sama gadis itu?' tanya Bella seolah tidak percaya dengan pengakuan Iqbaal.
'Kamu bisa tahu perasaan aku sekarang? Gimana rasanya kesulitan menggapai tubuh seseorang yang kita cintai? Gimana rasanya ingin hidup bersama dengan seseorang yang kita cintai dalam keadaan seperti ini? Itu yang aku rasain,' ujar Bella. Matanya memerah, menatap Iqbaal yang saat ini balas menatapnya. 'Berhenti melakukan hal bodoh itu. Tepati janji kamu sama aku. Aku mohon. Aku mencintai kamu.'
Bella kembali berucap lirih.
'Kamu mencintai aku? Apa kamu benar-benar mencintai aku? Ketika aku lihat (namakamu) hampir saja mati, aku merasakan aku benar-benar akan ikut mati. Jika aku bisa, aku akan menggantikannya untuk mati. Itu yang aku rasakan ketika aku benar-benar mencintai (namakamu). Dan sekarang, kamu meminta aku ikut mati, dengan alasan kamu mencintai aku? Apa itu yang namanya cinta?' ucap Iqbaal. Membuat Bella terdiam, menatap Iqbaal dengan rahang yang bergetar.
'Aku mencintai (namakamu), aku mohon. Aku benar-benar mencintai (namakamu).'

Bersamboeng;*