Pengarang: Novy Citra
@CitraNovy
FP: Citra's Slide
.
No bully just repost.
~
“Eyes Voice”
Part 10
_______
'Kamu mencintai aku? Apa kamu benar-benar mencintai aku? Ketika aku lihat (namakamu) hampir saja mati, aku merasakan aku benar-benar akan ikut mati. Jika aku bisa, aku akan menggantikannya untuk mati. Itu yang aku rasakan ketika aku benar-benar mencintai (namakamu). Dan sekarang, kamu meminta aku ikut mati, dengan alasan kamu mencintai aku? Apa itu yang namanya cinta?' ucap Iqbaal. Membuat Bella terdiam, menatap Iqbaal dengan rahang yang bergetar.
'Aku mencintai (namakamu), aku mohon. Aku benar-benar mencintai (namakamu).'
'Kamu udah janji sama aku. Kamu gak akan pernah sentuh gadis lain selain aku. Kamu bohong! Tapi aku masih bisa maafin kamu.'
Bella menghentak-hentakan setiap kata yang ia suarakan. 'Kamu pernah bilang sekalipun ajal gak akan pernah bisa memisahkan kita! Kamu bohong! Aku tetap tetap masih ada disini itu karena janji kamu!'
Bella berteriak kencang, seolah berusaha mengeluarkan seluruh isi yang menjejali dadanya.
Iqbaal tertegun. Laki-laki itu hanya mampu terdiam, 'maaf,' gumam Iqbaal.
'Maaf? Dan sekarang?'
'Sekarang... Aku mencintai (namakamu).'
Iqbaal menatap (namakamu) yang masih terisak di samping tubuhnya, 'aku benar-benar ingin memeluk dia sekarang.'
Bella meringis, terlihat dari wajahnya. Sepertinya Bella terlihat tengah merasakan kesakitan mendengar Iqbaal mengucapkan kalimat itu. 'Bilang kalau kamu cinta sama aku!' bentak Bella di sela ringisannya.
'Kamu kenapa?' tanya Iqbaal, menatap Bella yang kini terpejam dengan wajah kesakitan.
'BILANG KALAU KAMU CINTA SAMA AKU!!!'
Bella berteriak seolah ingin seisi dunia mendengarnya.
Iqbaal menggeleng, 'aku mencintai (namakamu).'
'Eghhh.'
Bella melenguh kencang. 'Jangan biarin aku pergi tanpa kamu.'
Bella melangkah mendekati Iqbaal, namun Iqbaal menjauh.
'Maaf,' gumam Iqbaal lagi. Lagi-lagi kata maaf keluar dari mulutnya.
'Aku akan hilang kalau kamu kembali ke dunia itu, aku akan benar-benar lenyap dari kehidupan
kamu jika kamu sungguh-sungguh memilih gadis lain. Aku mohon! Aku mohon sama kamu, Iqbaal!'
Bella bersimpuh dengan wajah menahan sakit.
'Bella... Aku mohon jangan siksa diri kamu seperti ini.'
Iqbaal menatap iba, Bella melakukan hal yang menyakiti dirinya sendiri demi meminta Iqbaal untuk bersamanya lagi. Karena janji konyol itu, janji Iqbaal yang keluar disaat malam itu.
'Iqbaal!!!'
________
Aku menatap seperti ada lubang-lubang cahaya yang terus menerobos masuk ke dalam kelopak mata ku. Aku merasakan kelopak mataku mampu untuk terangkat dan terbuka. Telingaku mulai menerima suara-suara pelan di sekelilingku. Suara tangisan itu. Tangisan yang semalaman ini aku dengar dalam ketidaksadaranku. Aku bisa mendengarnya dengan jelas saat ini.
Aku bisa kembali membuka mata ku, aku bisa kembali membuka telingaku. Namun... Aku masih takut. Aku takut melihat sesuatu yang tidak ingin aku lihat, aku takut mendengar lagi segala sesuatu yang tidak ingin aku dengar. Aku takut menerima semua keganjilan itu. Aku berharap ketika aku bangun, aku menjadi seorang biasa tanpa embel-embel kemampuan yang sama sekali tidak aku inginkan.
Hanya satu yang ingin aku lihat. Hanya satu yang ingin aku dengar. (namakamu)... Gadis itu. Aku berharap ketika aku membuka mataku, gadis itu adalah orang pertama yang aku lihat, dan suara gadis itu yang pertama memekik menyaksikan aku terbangun. Aku mohon Tuhan... Aku tidak menginginkan hal lain... Selain gadis itu.
Aku mohon...
_______
“Baal?”
(namakamu) merasakan jemari Iqbaal yang berada dalam genggamannya bergerak. “Baal? Kamu bangun?”
(namakamu) berharap gerakan tadi bukan halusinasi (namakamu), atau hanya gerakan hypnic jerk Iqbaal ketika masih dalam keadaan tidak sadarkan diri saat ini.
“Baal? Gerakin lagi tangan kamu,” pinta (namakamu) dengan suara lirih. (namakamu) menatap lekat-lekat jemari Iqbaal. Tidak, tidak ada gerakan lagi. Apakah (namakamu) berhalusinasi? Karena (namakamu) sangat mengharapkan Iqbaal untuk bangun saat ini.
“Nghhh.”
Suara lenguhan pelan. Suara itu! (namakamu) tersentak, kali ini (namakamu) benar-benar merasakan dirinya dalam keadaan sadar. Iqbaal, ya! Iqbaal tadi melenguh pelan.
“Baal?”
Senyum (namakamu) mengembang, memencet tombol darurat agar perawat segera datang untuk melihat keadaan Iqbaal saat ini.
***
“Iqbaal beneran sadar?” tanya Bastian dengan wajah antusias.
Bastian, Aldi, dan Salsha kembali datang untuk melihat keadaan Iqbaal. Menerima kabar dari (namakamu), ketiga sahabatnya itu bergegas untuk kembali datang ke rumah sakit. Mereka saat ini masih berkumpul di luar kamar pasien, karena saat ini Iqbaal tengah diperiksa oleh dokter dan 2 perawat lain di dalam sana.
“Syukur kalau gitu.”
Salsha memasang wajah lega. Mendekap (namakamu) dari samping. Salsha bisa merasakan perasaan lega (namakamu) saat ini.
“Gue berharap, ketika dia sadar. Dia...”
(namakamu) menggantungkan kalimatnya. Lalu menggeleng. Harapannya terlalu muluk. (namakamu) tidak mau berharap berlebihan, berharap Iqbaal menerima (namakamu) dengan baik. (namakamu) takut ketika kembali masuk kedalam ruangan, Iqbaal sama sekali tidak mau dihampiri. Jangankan untuk dihampiri, menatap (namakamu) saja Iqbaal tidak mau.
“Jangan mikir yang enggak-enggak.”
Salsha mengeratkan dekapannya. (namakamu) mengangguk, tersenyum tipis.
“Silahkan, pasien sudah boleh dikunjungi sekarang.”
Seorang pria berbaju putih keluar dari kamar Iqbaal, disertai dengan dua perawat lain yang menghambur keluar.
“Terimakasih, dok.”
Mereka berucap bersamaan. Setelah mendapat seutas senyum dan anggukan, keempatnya menghambur, berjejal pada pintu kamar.
“Baal?”
(namakamu) berhasil menyelipkan tubuhnya dan masuk terlebih dulu. Iqbaal menoleh, menatap (namakamu) dengan wajah datar, tanpa menggambarkan ekspresi apapun.
“Lo udah bangun?”
Sapaan lembut dengan suara lirih. (namakamu) menghampiri Iqbaal yang masih terbaring, namun kali ini mata Iqbaal sudah terbuka. Perban di kepala dan collar neck masih ia kenakan. Hanya mask oksigen yang kini sudah ditanggalkan dari wajahnya.
“Gimana gue gak bangun? Lo nangis terus di samping gue, berisik tahu gak?! Bikin gue gak bisa istirahat. Bikin gue terpaksa bangun.”
Iqbaal mendelik kesal ke arah (namakamu). Aldi, Salsha, dan Bastian masih bergeming. Menatap dua makhluk yang tengah berbincang dengan canggung, itu membuat mereka terpaksa membungkam mulutnya.
“Maaf,” lirih (namakamu) dengan suara bergetar. Air matanya sudah berderai hebat. Menatap Iqbaal yang kini terbangun, dapat berbicara lagi, mengomel lagi. Tidak ada yang bisa menggambarkan perasaan (namakamu) saat ini.
“Maaf? Buat apa?” tanya Iqbaal dengan wajah dingin.
“Maaf bikin lo berisik.”
“Jangan nangis, gue gak suka,” ucap Iqbaal masih dengan sikap dinginnya.
“Maaf,” lirih (namakamu) lagi. Gadis itu menyeka air matanya yang sudah mengalir deras, nyaris membentuk aliran sungai pada pipinya.
“Chhh. Maaf lagi. Tangisan lo yang bikin gue berusaha bangun. Gue berusaha bangun untuk berhentiin tangisan lo. Gue bangun biar gue bisa meluk lo, biar lo gak nangis lagi. Gue benci denger lo nangis. Gue gak mau liat lo nangis.”
“Baal?”
Tangis (namakamu) yang sengaja ia bendung kini kembali membludak. (namakamu) merasakan lututnya lemas, gadis itu jatuh terduduk. Ucapan Iqbaal tadi membuat (namakamu) tidak mampu menopang berat badannya lagi. Gadis itu kembali menangis sejadi-jadinya.
“(namakamu)? Lo ngapain di situ? Gue gak mungkin nyamperin lo dalam keadaan kayak gini, kan? Peluk gue, cepet!”
(namakamu) mengangkat wajahnya. Dengan sisa tenaganya ia kembali berdiri, melangkahkan kakinya menuju tempat Iqbaal kini berbaring. (namakamu) menghantamkan tubuhnya pada dada Iqbaal, membuat laki-laki itu sedikit meringis kesakitan karena gerakan (namakamu) menekan--bahkan menghantam luka-lukanya.
(namakamu) menumpahkan semua tangisnya pada dada Iqbaal. Rasa khawatir, rasa takut, rasa sakit, semuanya tumpah, menghilang, menguap bersama air matanya yang kini keluar dengan deras menyertai erangan-erangan pelannya.
“Lo tahu? Ketika lo nangis, gue seperti bisa ngerasain sakit yang lo rasain, bahkan gue ngerasa lebih sakit liat lo nangis. Janji sama gue jangan nangis lagi.”
Dengan selang infus yang masih menempel di lengan kanannya, Iqbaal mencoba mendekap (namakamu). Melingkarkan lengannya untuk merengkuh tubuh gadis yang ia rindukan. Sungguh Iqbaal sangat merindukan (namakamu) saat ini. Iqbaal sudah mengira bahwa dirinya tidak mampu mendekap (namakamu) seperti ini lagi. Namun ternyata Tuhan masih memberikan Iqbaal satu kesempatan.
Bodoh jika ia terus melakukan hal untuk menepati janjinya pada Bella. Bodoh jika ia melakukan hal yang akan membunuh dirinya sendiri. Jika itu terjadi, ia akan meninggalkan (namakamu), selamanya. Tidak bisa meraih tubuh gadis itu lagi dalam dekapannya. Janji bodoh itu. Bella...
Iqbaal mengedarkan tatapannya. Bella? Mana makhluk itu? Apa ia sudah menghilang? Apa Iqbaal tidak akan melihat Bella beserta makhluk-makhluk lain yang mengerikan? Iqbaal memejamkan matanya, telinganya terdengar hening. Tidak ada teriakan ataupun suara-suara yang selalu mengganggu telinganya saat ini. Apa kemampuannya itu sudah benar-benar menghilang? Iqbaal sangat berharap seperti itu.
“(namakamu)?” panggil Iqbaal dengan suara pelan. (namakamu) hanya menjawabnya dengan gumaman tidak jelas bercampur tangisnya yang masih berlanjut.
“Kenapa kayaknya gue nyium bau-bau gak enak? Lo belum mandi ya? Rambut lo bau.”
Iqbaal berusaha menutup hidung dengan mengangkat bibir atasnya.
“Masa sih?”
(namakamu) meraih rambutnya, mencium bau rambutnya sendiri. “Iya, gue belum mandi,” jawab (namakamu) dengan wajah cemberut.
“Gak apa-apa. Cinta gue sama lo mengalahkan segalanya.”
Ucapan Iqbaal membuat (namakamu) sedikit terkekeh.
Iqbaal kembali mengeratkan lingkaran lengannya, memejamkan matanya, seolah ingin menikmati waktu ini berdua, hanya berdua. Sama sekali tidak menghiraukan tiga makhluk--Salsha, Bastian, dan Aldi-- yang bergeming menatap tingkah mereka berdua. Dunia serasa milik berdua? Ungkapan jadul yang norak itu ternyata memang benar adanya. Ketika sedang jatuh cinta, dunia serasa milik berdua. Itu benar, tidak pernah salah.
***
Iqbaal duduk dengan bersandar. Ranjang pasien sudah di bentuk agak tegak, dibantu oleh bastian agar Iqbaal bisa duduk bersandar. Salsha kini duduk pada kursi yang berada di samping ranjang. Sedangkan Bastian tengah selonjoran, ehmmm.. Bukan, bukan. Bastian tengah terbaring di atas sofa yang terletak di belakang samping Salsha, dengan sebelah kaki yang terangkat ke atas sandaran sofa.
(namakamu)? Aldi? Aldi tengah mengantar (namakamu) pulang, mengantar gadis itu untuk mandi, makan, dan berganti pakaian di rumahnya. Nanti Aldi akan membawa (namakamu) kembali untuk menemani Iqbaal.
Tiga orang itu kini tengah menatap layar televisi yang sedari tadi mengoceh. Televisi yang merupakan sarana yang diberikan diruang rawat inap yang Iqbaal tempati saat ini.
“Aldi nganter (namakamu) pulang. Lo gak takut, Baal?”
Bastian melirik ke arah Iqbaal. Duh... Entah mengapa jika Iqbaal menatap wajah Bastian, emosi di dalam dadanya seketika bangkit.
“Maksud lo?”
Malah Salsha yang kini lebih tertarik menanggapi ucapan Bastian.
“Ya... Kan Aldi sempet suka sama (namakamu)-”
“Apa?”
Mata Salsha membulat, mulutnya juga ikut membulat membentuk lingkaran kekagetan. “Aldi?”
“Iya, Aldi sempet suka sama (namakamu). Ya kan, Baal?”
Lagi-lagi Bastian ingin Iqbaal yang berkomentar tentang celetukannya yang menyebalkan.
“Mmmm...”
Iqbaal bergumam malas.
“Kok gue bisa gak tahu?” desis Salsha seraya mencopot kacamata minusnya. Aldi begitu rapi menyembunyikan bahwa dirinya menyukai (namakamu). Ia baru ingat, kutipan yang pernah ia baca dalam sebuah buku, 'tidak pernah ada persahabatan yang murni antara seorang laki-laki dan perempuan.' Seperti yang sempat Salsha rasakan pada Aldi, tidak tulus sebagai sahabat. Tapi...
“Bisa aja Aldi sekarang nembak (namakamu), ya kan? Terus (namakamu) terima Aldi, karena (namakamu) gak mau punya pacar yang lehernya cacat.”
Bastian mendelik menatap collar neck yang masih Iqbaal kenakan.
“Sialan ya lo!” bentak Iqbaal dengan volume tinggi, membuat Salsha menutup kedua daun telinganya. “Siapa bilang leher gue cacat?! Ini tuh cuma sebagai penyangga doang! Gue gak pake ini juga bisa!”
Kali ini Iqbaal terlihat sangat mengerikan. Tangannya bergerak melepas bahan keras yang melingkar di lehernya itu.
Bruk... Benda itu Iqbaal hempaskan pada wajah Bastian. Walaupun Bastian sempat meringis menerima timpukan collar neck itu, namun kini Bastian malah terkekeh nyaring, mendekati tawa terbahak.
Duh... Jika saja Iqbaal bisa bergerak bebas saat ini. Iqbaal ingin sekali mencekik leher Bastian. “Ssshhhh.”
Iqbaal meringis memegangi lehernya yang masih terasa berat.
“Tuh kan leher lo cacat,” celetuk Bastian lagi.
“Bass!”
Salsha yang juga merasakan kekesalan yang sama, kini memelototi bastian.
Pukh... Pukh...
Iqbaal meraih buah-buah yang berada di atas meja di samping kirinya. Menimpuki Bastian dengan buah-buahan itu. Membuat Bastian sesekali meringis, namun tawa menyebalkannya tetap terdengar.
“Sha?”
Iqbaal menghentikan tingkahnya ketika tatapannya sempat melihat Salsha mengusap pipinya. Salsha menangis? “Lo-lo kenapa Sha?” tanya Iqbaal, sedikit mencondongkan tubuhnya untuk menatap wajah Salsha.
Salsha menggeleng. “Gak apa-apa. Bau obat-obatan di sini bikib mata gue perih.”
Dan Iqbaal tahu jika itu bohong. Aldi? Apakah Salsha menyukai Aldi? Iqbaal menatap mata Salsha dalam-dalam. Akankah ada suara yang ia dengar? Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Hingga... Sepuluh detik kemudian. Hhhh... Iqbaal tidak mampu mendengar apapun memalui mata Salsha saat ini.
Drt... Drt...
Getaran ponsel Iqbaal yang berada di atas meja--disamping keranjang buah, tiba-tiba membuat fokusnya kabur.
Salsha meraih ponsel itu dan menyerahkannya pada Iqbaal. “Makasih, Sha,” ucap Iqbaal.
Gerakan menggeser telunjuk Iqbaal membuat sambungan telepon terhubung, “Hallo?”
'Hallo, Baal? Lo udah baikan?'
“Udah, Bang.”
'Syukur kalau gitu. Maaf gue belum bisa nengok, masih banyak kerjaan. Gue gak usah nengok aja apa ya? Gue langsung ketemu sama lo di kantor aja? Gimana?'
Iqbaal berdecak, “serah lo lah, Bang!” jawab Iqbaal malas.
Terdengar kekehan Kiky dari seberang sana, 'berkat lo, Varo akhirnya ditangkap. Dan sekarang Vero bebas.'
“Berkat gue?”
Iqbaal bertanya, linglung. Apa yang sudah ia lakukan memangnya sehingga Varo menggantikan posisi Vero saat ini?
'Iya, berkat lo. Karena Varo mukulin lo, dan polisi bisa mengungkap motif dia mukulin lo karena apa. Ternyata pengorbanan babak belur lo gak sia-sia, Baal. Selamat!'
Sialan, sialan. Jika saja kiki tahu, Iqbaal hampir saja mati. Hampir saja tidak bisa membuka lagi matanya. Hampir saja meninggalkan gadis yang ia cintai untuk selamanya. Saat ini Kiki malah memberikan selamat? Keterlaluan.
'Oh iya. Vero minta maaf atas nama Varo katanya.'
“Gue udah maafin kok, bang. Gue udah bisa bangun lagi juga gue udah bersyukur.”
'Lo cepet sembuh ya! Gue tunggu lo di kantor! Kerjaan lo numpuk nih!'
“Bang! Gue lagi sakit! Lo gak bisa prihatin sedikit sama gue? Lo malah ngomongin kerjaan sama orang yang baru bangun dari sekarat!”
Perkataan Iqbaal yang meledak-ledak malah membuat Kiky terkekeh kencang di seberang sana. Adakah hal yang lucu? Iqbaal berpikir keras. Seniornya itu memang sedikit aneh, mungkin karena terlalu banyak meliput kasus.
***
“Kita langsung ke rumahsakit?” tanya Aldi ketika melihat (namakamu) keluar dari dalam pagar rumahnya dengan sweater tersampir di bahu kanannya.
(namakamu) mengangguk. Menghampiri Aldi, hendak naik pada jok motor Aldi, namun gerakannya terhenti ketika Aldi menarik pelan lengannya.
“Gue sayang sama lo,” ucap laki-laki itu tanpa pendahuluan sama sekali. Ucapannya membuat (namakamu) tersentak.
Selama beberapa waktu ke belakang, (namakamu) mengetahui bahwa Aldi menyukainya, namun Aldi sama sekali tidak pernah memberanikan dirinya untuk mengatakan hal itu. Tapi ternyata... Untuk saat ini, ketika Iqbaal sudah melakukannya terlebih dahulu, Aldi mengungkapkan kalimat itu?
“Gue gak ada maksud apa-apa, sama sekali. Gak pernah ada niat gue buat rebut lo dari Iqbaal untuk saat ini. Gue cuma mau, lo tahu perasaan gue. Itu aja,” ucap Aldi lagi. Senyumnya tersungging tipis. Setelah itu Aldi kembali memasukan kunci motornya.
“Lo baik. Pasti ada gadis baik yang bisa tulus sayang sama lo. Percaya sama gue.”
(namakamu) melingkarkan lengannya pada pundak Aldi, memeluk laki-laki itu dari arah samping. (namakamu) bisa merasakan bagaimana perasaan Aldi saat ini. (namakamu) tahu persis apa yang tengah Aldi rasakan, karena ia juga pernah mengalaminya. Dulu. Dulu ketika menatap Iqbaal mendapatkan cinta Bella.
“Jangan takut kalau lo merasakan sakit yang luar biasa, suatu saat lo bakal ngerasain kebahagiaan yang luar biasa. Karena kebahagiaan akan datang sebanyak kesakitan yang kita rasakan,” ujar (namakamu). Ia memperoleh kata-kata itu dari seorang laki-laki yang ternyata perkataannya terbukti.
Aldi mengangguk. “Semoga,” ucapnya pelan.
***
“Aldi ngomong apa sama kamu tadi?” tanya Iqbaal tiba-tiba.
“Hm?”
(namakamu) yang tengah duduk di samping Iqbaa, bersandar pada pangkal lengan Iqbaal, kini mengangkat wajahnya untuk menatap Iqbaal, tidak mengerti.
“Aldi ngomong apa selama di perjalanan nganter kamu tadi?” ulang Iqbaal.
Iqbaal berani untuk bertanya seperti itu karena kini Aldi tengah keluar mencari makanan bersama Salsha, meninggalkan satu makhluk lagi yang tengah tergeletak di sofa. Bastian. Laki-laki itu tidak ikut, lebih memilih menjadi obat nyamuk bakar yang menemani Iqbaal dan (namakamu).
(namakamu) menggeleng. Lalu kembali menyandarkan kepalanya pada lengan Iqbaal.
Iqbaal menarik dagu (namakamu). Mengharuskan mata gadis itu menatap matanya, lagi. “Kamu lupa kalau aku bisa baca apa yang ada di sini.”
Iqbaal menunjuk-nunjuk kening (namakamu), memebuat (namakamu) mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali.
“Aldi cuma bilang kalau dia sayang sama aku. Gak lebih. Dia cuma pengen aku tahu. Cuma itu,” jawab (namakamu), setelah itu kembali menenggelamkan kepalanya pada lengan Iqbaal.
“Salsha kayaknya suka sama Aldi.”
Tiba-tiba Iqbaal menarik Salsha dalam kalimatnya. Masalah Salsha yang terlihat sedih tadi siang. Iqbaal masih memikirkan hal itu.
“Aku tahu. Itu juga salah satu alasan aku pura-pura gak tahu kalau Aldi suka sama aku.”
“Tahu? Kamu tahu?”
Oh Tuhan, makhluk yang bernama wanita itu, mengapa selalu peka? Selalu mengerti dan paham atas situasi di sekitarnya? Sehingga ia tahu bagaimana cara untuk menghadapi situasi sekitarnya. Itu salah satu kelebihan wanita yang tidak dimiliki pria, sepertinya. Itu kah alasan mengapa banyak pria yang kerap membuat kesalahan pada wanita tanpa disadari? Karena pria bukan makhluk peka. Sepertinya.
***
“Hhhh...”
(namakamu) menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur yang berada di dalam ruangan 6x6 itu. Iqbaal sudah diperbolehkan pulang dari rumahsakit. Maka hari ini Iqbaal sudah bisa kembali menempati kamar kosnya. Namun sebelum itu, (namakamu) harus membantu membersihkan kamarnya terlebih dahulu dan menyemprotkan pewangi ruangan karena ruangan yang sudah 3 hari tidak di tempati ini mulai tercium bau apek. Bagaimana tidak? Pakaian kotor yang harusnya dicuci dari berhari-hari yang lalu, Iqbaal biarkan menggantung di belakang pintu dan sisanya menumpuk di pojok kamar. Laki-laki.
“Capek ya?”
Iqbaal ikut membaringkan tubuhnya di samping (namakamu). (namakamu) menggeleng. Dan mendekatkan jaraknya dengan Iqbaal, menaruh kepalanya di atas lengan Iqbaal, menjadikan lengan Iqbaal sebagai alas kepalanya.
“Oh iya.”
Lengan kiri Iqbaal bergerak, meraih lipatan surat kabar di samping tempat tidurnya. “Baca ini deh,” ujar Iqbaal. Dalam posisi yang masih berbaring, Iqbaal membentangkan surat kabar itu, membuka halaman surat kabar yang ia maksud.
“Ini bukan karena aku mencintai kamu, tapi karena aku 'hanya' mencintai kamu. Jika bukan kamu, aku tidak akan punya siapa-siapa yang aku cintai. Karena ternyata aku hanya mencintai kamu.
Aku tidak tahu kenapa aku berbuat seperti ini. Aku juga tidak tahu kenapa aku bersikap seperti orang bodoh saat ini. Meskipun kamu menghindar, tapi aku ternyata tetap mencintai kamu. Tidak peduli apa yang kamu lakukan, aku akan tetap menyukai kamu. Tidak peduli apa yang kamu perbuat, aku tetap mencintai kamu.
Andai kamu tahu...”
“Apa-apaan nih?”
(namakamu) menolehkan wajahnya, menatap Iqbaal. Tulisan asal yang sempat (namakamu) coret-coretkan di atas kertasnya iseng pada saat di kantor Iqbaal--waktu itu, berjejal dengan artikel lainnya di dalam kolom surat kabar yang tidak seharusnya.
“Bang Kiky sempet protes kenapa ada artikel cinta di dalam surat kabar. Tapi setelah gue muat tulisan itu, jadi banyak yang kirim artikel yang berunsur cinta ke kantor. Jadi sekarang dibuka kolom khusus buat orang yang lagi pengen galau,” jelas Iqbaal diakhiri dengan kekehannya.
“Itu buat aku kan?” tanya Iqbaal yakin, seolah (namakamu) akan menjawab ya.
(namakamu) terdiam.
“Jawab (namakamu)!”
Iqbaal mencubit pelan pinggang (namakamu), membuat (namakamu) sedikit berjengit.
“Iya, iya. Itu buat kamu,” jawab (namakamu), kembali membenarkan posisi tubuhnya.
“Maafin aku, (namakamu).”
Iqbaal mendekap (namakamu), mengecup puncak kepala (namakamu) dengan lembut.
“Gak ada yang perlu dimaafin. Yang penting sekarang aku sayang sama kamu,” ujar (namakamu) dengan mata terpejam, menikmati dekapan Iqbaal, kecupan lembut Iqbaal. Membuat tubuhnya melemas dan tidak berdaya. -,-
“Harusnya aku tambahin satu paragraf lagi di tulisan itu.”
Iqbaal kembali menjauhkan jaraknya dengan (namakamu), agar dapat menatap gadis itu lagi.
“Apa?” tanya (namakamu) balas menatap Iqbaal.
“Seekor angsa akan mengikuti hal pertama yang mereka lihat semenjak mereka lahir sampai mereka mati. Dan saat pertama kali aku lihat kamu, aku merasa berubah menjadi seekor angsa. Mulai saat itu, aku memutuskan untuk gak perduli, apapun yang kau perbuat, aku masih akan menyukainya. Aku gak perduli siapapun yang kamu suka... Aku masih tetap suka sama kamu. Sampai aku mati...”
“Kamu?”
(namakamu) menggeserkan kepalanya, menjauhkan jaraknya dari Iqbaal saat ini, agar dapat menatap lebih jelas wajah Iqbaal.
“Aku hafal kata-kata itu. Aku selalu ingat di sini,” ucap Iqbaal memegangi dadanya. “Dalam keadaan gak sadar, aku bisa mendengar kamu mengucapkan kata-kata itu. Itu salah satu alasan aku untuk berusaha bangun. Alasan aku untuk tetap hidup. Aku ingin menjalani semuanya berdua sama kamu. Melakukan semuanya bareng kamu. Jalan bareng, ngobrol bareng, makan bareng, tidur bareng-”
Bugh... Satu kepalan kencang mendarat pada dada Iqbaal.
“(namakamu)! Sakit!”
Iqbaal meringis mengelus-elus dadanya sendiri.
“Tidur bareng?!”
(namakamu) melotot. Memasang wajah mengerikan.
“Ya itu nanti! Bukan sekarang. Nanti kalau kita... Uda nikah,” ucap Iqbaal sesekali meringis memegangi dadanya. Tanpa ia sadari ucapannya tadi membuat wajah (namakamu) terlukis noda merah. (namakamu) merasakan kedua pipinya memerah terpoles blush on alami.
“Kamu mau kan nikah sama aku?” tanya Iqbaal lagi, membuat wajah (namakamu) semakin tidak karuan.
“Kamu kan bisa baca pikiran aku? Tatap mata aku kalau kamu mau tahu jawabannya.”
“Hhhh... Ok.”
Iqbaal manggut-manggut. Mulai memfokuskan tatapannya pada satu titik. Mata (namakamu). Iqbaal menatap mata indah itu lekat-lekat. Menatapnya dalam-dalam.
Satu detik... Dua detik... Tiga detik... Hingga 10 detik berlalu, ternyata Iqbaal sama sekali tidak mendengar suara apapun. Mungkin doa Iqbaal terkabul, Iqbaal tidak lagi bisa melihat hal lain, tidak lagi bisa mendengar suara-suara itu lagi. Kali ini, Iqbaal malah merasakan perasaan aneh menyeruak ketika menatap (namakamu) dalam waktu selama ini dan dalam jarak sedekat ini.
“Kamu udah gak bisa baca pikiran aku kan? Sejak kepala kamu bocor karena dipukulin, kemampuan kamu hilang. Berarti kamu bohong dong sama aku kemarin. Tentang perasaan Aldi yang aku bilang sama kamu-”
Perkataan (namakamu) terhenti ketika tangan kanan Iqbaal kini menarik pinggang (namakamu) untuk menggeser mendekat, dengan tangan kirinya yang menahan tengkuk (namakamu), mengunci (namakamu) agar tidak bergerak. Menutup bibir (namakamu) dengan sentuhan lembut bibirnya. Iqbaal melakukan gerakan lembut itu dengan gerakan perlahan, membiarkan (namakamu) menikmati gerakannya tanpa paksaan. Membiarkan (namakamu) menikmati perasaan menggelitik yang saat ini juga Iqbaal rasakan.
Iqbaal melepaskan pagutannya, menatap sejenak (namakamu). Lalu bergerak perlahan, Iqbaal mengubah posisinya, tubuh laki-laki itu kini berada di atas (namakamu), dengan kedua sikut dan lutut yang menopang tubuhnya. Menatap (namakamu) lekat-lekat. Jika saja Iqbaal tahu saat ini bagaimana degupan jantung (namakamu) bertalu dengan cepat.
“Tanpa kamu jawab, tanpa aku bisa baca pikiran kamu. Aku tahu jawaban kamu.”
Iqbaal tersenyum nakal. Lalu kembali menundukan wajahnya agar bibirnya bisa kembali menyentuh bibir (namakamu) yang berada di hadapannya. Menumpahkan semua rasa yang ingin ia tumpahkan.
Kali ini, tidak ada suara hempasan barang yang terjatuh. Pecahan barang pecah belah. Lemparan benda yang membuat bising. Kini... hanya ada mereka berdua.
~TAMAT~
Jika jarak antara kita dengan orang yang kita cinta terlampau jauh, maka coba untuk berlari. Karena di dunia ini hanya ada satu jenis cinta, jika kita tidak bisa memilikinya, maka tidak seorangpun boleh memilikinya. Itu cinta sebenarnya^^~ Eyes Voice